Sunday, August 31, 2008

Mendengarkan Bocah Dalam Diri


Anak-anak, bagi saya, adalah sebuah kekayaan yang amat berharga dalam kehidupan. Mereka tidak hanya penerus kehidupan, dalam dimensi kekinian juga sumber tawa dan canda. Bayangkan, sesuatu bila diucapkan orang dewasa menjadi biasa-biasa saja, namun bila terucap dari mulut bocah, tawa dan bangga mudah keluar.

Sayangnya, tidak demikian halnya dengan bocah di dalam diri kita. Sedikit saja timbul kesalahan, kita mudah sekali menyebut diri kekanak-kanakan. Kita menyebut semua bentuk perilaku kanak-kanak sebagai perilaku yang perlu disembunyikan.

Coba perhatikan pegolf dunia Tiger Wood tatkala baru memperoleh birdie, ia menampilkan perilaku kanak-kanaknya dengan menyatukan siku dengan lututnya. Amati pemain sepak bola yang berhasil merobohkan gawang lawan, ia berlari, berteriak, memeluk semua temannya persis seperti anak-anak. Iklan sebuah telepon seluler menunjukkan, bahkan pemimpin dunia sedingin Margareth Thatcher-pun bisa mempertontonkan perilaku anak-anak di depan umum.

Sebagaimana pernah dikerangkakan melalui analisis transaksional, anak-anak adalah bagian dari diri kita selama kita masih bernafas. Mau dimusnahkan sekalipun, ia akan senantiasa menjadi bagian integral dari tubuh kita.

Bila ditekan, disamping menjadi sumber daya tidak terpakai, ia juga bisa membuat hidup tidak seimbang. Sesuatu yang kerap menjadi awal kecelakaan hidup.

Lebih dari itu, energi kanak-kanak juga menjadi sumber dari kejernihan, kreatifitas, dan kepolosan-kepolosan alami. Coba perhatikan pertanyaan-pertanyaan polos anak-anak di rumah. Bukankah ia teramat jujur? Kendati naif, tidakkah ia menyimpan fundamentalisme hidup? Meskipun lucu, tidak jarang kita dibuat terperanjat oleh pertanyaan-pertanyaan anak-anak.

Setali tiga uang dengan anak-anak di rumah, bocah di dalam diri kita juga sama. Ia sering bertanya, bercanda, menimbulkan tawa, atau kadang sarkastis terhadap diri kita.

Saya sering mentertawai hidung saya yang dulu ditertawai orang. Rambut rontok saya, tidak hanya menjadi bahan tertawaan saya, tetapi juga konsumsi orang lain.

Sebagai hasilnya, lebih dari sekadar tertawa sendiri maupun bersama orang lain, kegiatan mentertawai diri sendiri ini sering menjadi sumber kedewasaan, dan kearifan hidup. Penyakit mudah tersinggung yang menghinggapi saya dulu, pelan-pelan berkurang secara meyakinkan. Kekakuan bergaul dengan orang lain, luntur bersamaan dengan semakin seringnya saya mentertawai diri sendiri. Tidak sedikit uang yang saya peroleh yang bersumber dari imajinasi ala anak-anak. Paradigma anak-anak yang polos dan lentur, tidak hanya mengurangi konflik dengan orang lain, tetapi juga membuat saya semakin kaya secara filsafat.

Karena demikian seringnya bocah dari dalam ini didengar, ia teramat sering menjadi rem etika yang mengagumkan. Di hotel tempat saya sering menginap, ada banyak godaan, namun kanan-kanak saya bertanya : “bukankah kamu menjadi guru buat orang lain?“. Di perusahaan tempat saya bekerja, sering ada peluang uang yang tidak sedikit, tetapi bocah dalam diri ini sering berucap lirih : “bukankah Anda sering berucap di seminar, bahwa etika adalah sesuatu yang Anda lakukan ketika orang lain tidak ada?“.


Bocah ini tidak saja berfungsi menjadi rem. Ia kerap menjadi penyeimbang kehidupan yang mengagumkan. Tatkala badan sudah diperkosa pekerjaan, kanak-kanak di dalam diri permisi untuk diajak teriak-teriak di karaoke, lapangan golf, atau malah di sungai belakang rumah. Ketika mood lagi jenuh, ia mulai merengek untuk diajak bertemu teman yang menimbulkan tawa. Di saat rasa marah muncul, ia meledek saya sebagai orang yang hanya bisa bicara di depan umum tanpa bisa melaksanakan.

Saya tidak tahu bagaimana pengalaman Anda, bagi saya energi kanak-kanak yang tersembunyi dalam diri kita amatlah luar biasa jika dimanfaatkan.

Ada beberapa ciri yang melekat dalam energi yang sering tidak diizinkan untuk muncul ini. Polos, naif, jujur, tidak masuk akal, lucu, egois, adalah sebagian dari ciri-ciri dorongan kekanak-kanakan.

Anda boleh punya cara lain untuk belajar mendengarkan bocah dalam diri Anda. Saya melakukannya dengan beberapa langkah berikut.

Pertama, miliki minimal setengah jam setiap hari untuk meledek atau mentertawakan diri sendiri. Waspadai jangan sampai membuat diri Anda minder.

Kedua, daftar kelucuan, kobodohan dan kekhilapan Anda selama hidup, dan temukan cara untuk mentertawakannya.

Ketiga, luangkan waktu untuk memuaskan anak-anak di dalam diri Anda. Saya melakukannya dengan berkaraoke, berteriak di lapangan golf, mencoret-coret foto orang yang saya tidak suka.

Keempat, setiap kali melihat persoalan - apa lagi saat kepala mampet - tanyalah diri Anda : “bagaimana saya melihat persoalan ini tatkala saya masih anak-anak?“.

Sebagaimana pernah ditulis fisikawan Fritjof Capra dalam The Uncommon Wisdom : “Krishnamurti told with all his charisma and persuasion to stop thinking, to liberate my self from all knowledge, to leave reasoning behind.“

Keberanian untuk berhenti berfikir, meletakkan reason di belakang, membebaskan diri dari semua pengetahuan - yang saya yakin menjadi titik awal dari kreatifitas dan kepekaan kemanusiaan, bisa dilakukan bila kita kembali ke posisi innocent sebagaimana anak-anak. Ini bisa dicapai, bila kita rajin mendengarkan bocah dalam diri.

1 comments:

Pak Gede yang baik,
saya suka sekali artikel ini. Saya baca dulu di buku tulisan Bapak. Saya minta izin untuk menshare tulisan ini kepada teman-teman saya. Tentu saja akan saya sertakan link ke tulisan bapak ini. Terima kasih :)