Saturday, October 17, 2009

Melenggang Pulang


Mari pulang, marilah pulang, Pulanglah kita bersama-sama.

Ketika bencana menerjang Indonesia dengan jumlah korban ratusan ribu manusia, ada yang menulis Indonesia, Natural disaster or mass murder.

Dengan cara pandang ini, bencana tidak punya wajah lain terkecuali buruk.

Namun, ia yang merenung di tengah bentangan sejarah, bercakap-cakap dengan alam, melihat tidak ada satu pun putaran waktu di mana kehidupan hanya berisi kebahagiaan. Amerika Serikat sebagai contoh, sebelum menjadi kekuatan ekonomi nomor satu, dunia sempat mengalami sejarah yang berdarah-darah. Jepang sebagai kekuatan ekonomi nomor dua dunia bangkit justru setelah dua kotanya hangus oleh bom atom. China yang kini duduk sebagai kekuatan ekonomi nomor tiga juga serupa. Beberapa puluh tahun lalu, bahkan memakan nasi pun sudah terhitung mewah.

Becermin dari sini, mendengar ada korban manusia akibat gempa tentu mengundang keprihatinan sekaligus doa semoga semua berbahagia. Berbuat untuk meringankan beban korban tentu lebih mulia. Namun yang layak direnungkan, alam sebagai guru sedang berbicara apa?

Di Timur dikenal beberapa jenis guru. Dari guru hidup, guru buku suci, guru simbolik, sampai dengan guru rahasia di dalam diri. Menyangkut guru hidup dan guru buku suci, lebih mudah mencapai kesepakatan. Namun menyangkut guru simbolik, apa lagi guru rahasia di dalam diri, hanya mereka yang dibekali kepekaan yang bisa merasakan.

Bila boleh lari, semua mau lari dari bencana. Karena tidak bisa lari, para suci kemudian merenung dalam-dalam dan menemukan cahaya. Yesus bercahaya ribuan tahun karena disakiti. Mahatma Gandhi menerangi banyak jiwa karena ditembak mati. Jalalludin Rumi rangkaian katanya menggetarkan sukma juga karena mengalami kesedihan kehilangan guru.

Pelajarannya, bencana tidak saja hulunya air mata. Ia juga awal kehidupan yang bercahaya. Kehilangan orang dekat akibat bencana tentu menyedihkan. Cacat tubuh karena terkena reruntuhan bangunan, sungguh kejadian yang menyentuh hati.

Namun, kehidupan penuh guru simbolik. Di antara demikian banyak simbolik, kematian adalah yang teragung. Di tengah kebahagiaan, sedikit yang mau merenung dalam-dalam. Namun di depan kematian, kita terpaksa kita menggali dalam-dalam.



Wajah dukacita

Siapa saja yang pernah ”bercakap-cakap” dengan kematian akan dibukakan makna, dukacita memiliki dua wajah.

Pertama, ia membuat manusia menjadi semakin terhubung ke atas, samping, bawah. Terutama karena melalui dukacita, kita sadar ternyata manusia hanya makhluk tidak berdaya. Dalam ketidakberdayaan, kita hanya saling menyayangi yang menyembuhkan.

Kedua, dukacita berfungsi seperti mesin turbo yang mendorong manusia keluar dari alam derita ini. Andaikan kehidupan hanya berisi kebahagiaan, maka manusia akan terus berputar dalam lingkaran kelahiran, penderitaan, kematian.

Bila begini cara memandangnya, Indonesia bukanlah neraka yang hanya berisi hukuman dan kesalahan. Indonesia adalah lahan subur pertumbuhan jiwa. Perhatikan apa yang terjadi ketika Aceh diterjang tsunami, tidak saja sahabat Islam yang menyediakan tangan untuk membantu. Orang Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu ikut bersama-sama berdoa sekaligus mengulurkan bantuan. Dalam bahasa seorang guru, saat manusia membantu, sesungguhnya tidak saja sedang meringankan beban pihak lain, tetapi juga membangkitkan energi kasih sayang yang ada dalam dirinya.

Di Peru pernah ditulis oleh para tetua ribuan tahun lalu, tidak ada yang kebetulan, semuanya hanya rangkaian pesan. Di tempat di mana alam kerap menggoda manusia dengan dukacita, mungkin layak bertanya, seberapa banyak manusia yang sudah menemukan cahaya di balik dukacita kemudian mengizinkan cahaya itu membimbing dirinya?



Serupa rumah

Kehidupan serupa rumah. Bila rumahnya kotor penuh sampah, ia mengundang lalat dan nyamuk berdatangan. Jika taman penuh bunga bermekaran, ia mengundang kupu-kupu warna-warni berdatangan dari segala penjuru.

Di hadapan alam yang kerap berbicara dengan bahasa dukacita, memaki dan mencaci mungkin hanya akan menambah tumpukan sampah. Mencari cara bertumbuh di tengah lumpur dukacita mungkin lebih membuat Indonesia menjadi taman jiwa yang menawan.

Dalam perspektif ini, bisa dimaklumi bila Ezra Bayda memberi judul karyanya At Home In The Muddy Water. Di Timur, puncak perjalanan ke dalam kerap disimbolkan dengan bunga padma yang bertumbuh dan mekar di lumpur, tetapi tidak kotor oleh lumpur.

Ibarat lumpur

Bencana ibarat lumpur. Hanya mereka yang penuh cinta dan keikhlasan yang bisa mekar seperti bunga padma. Dikatakan demikian, karena kekuatan suci dari atas sedang memancing manusia dengan kasih sayang, dan siapa yang mengisi hidupnya dengan cinta dan keikhlasan, sedang mencoba memakan kail yang datang dari atas.

Bila ini terjadi, bencana bukan hukuman, ia hanya bimbingan untuk segera pulang. Persis seperti lirik lagu anak-anak yang dikutip di awal. Senang-sedih dan dualitas lainnya ada dalam pikiran. Belajar melampauinya dengan memeluk semua apa adanya. Inilah yang dilakukan para guru tercerahkan di Timur.

Bunga Tidak Pernah Bersuara


Riuh, ribut, demikianlah kira-kira suasana komunikasi antarmanusia di tahun 2009. Mantan presiden AS George W. Bush mengakhiri jabatannya dengan dilempar sepatu. Negeri ini juga riuh dan ribut urusan presiden dan pemilu.

Di tengah-tengah suhu komunikasi yang memanas ini, ada indahnya bila sekali-sekali sepi-sunyi yang mengemuka. Bukan sebagai lawan keributan. Hanya mengemuka seperti menarik nafas dalam-dalam sekali waktu setelah lama tidak merasakan segarnya bernafas.

Dalam menelusuri segarnya kehidupan, ada dua jalur yang tersedia. Ada yang berjalan dengan intelektualitas, ada yang melangkah di jalan-jalan bakti (devotion). Pada pendekatan pertama, semuanya dianalisis. Itu sebabnya para master meminta penekun meditasi di Barat (yang kebanyakan berjalan di jalan intelektualitas) segera merealisasikan kekosongan (emptiness). Begitu mengalami langsung kekosongan (bukan mengerti melalui intelek) baru bisa mengagumi sepi-sunyi.

Di jalan bakti, tidak diperlukan terlalu banyak perdebatan. Yang ada hanya bakti yang tulus, penuh sujud, rasa hormat yang mendalam. Dan ujung-ujungnya sama, mengalami kekosongan. Dalam bahasa seorang guru yang sudah sampai di puncak, lakukan terus menerus bakti. Sampai di sebuah titik sehingga yang memberi, yang diberi maupun pemberian sesungguhnya tidak ada. Itulah sepi-sunyi.


Sembah rasa


Di Timur dulunya kebanyakan manusia berjalan di jalan-jalan bakti. Itu sebabnya berdoa dipadankan dengan sembahyang. Ada kata sembah di sana. Awalnya memang dimulai dengan dualitas antara penyembah dan yang disembah, namun kemudian keduanya menjadi satu, serta ujungnya yang satu pun lenyap dalam keheningan.

Dan semua sembah mulai dengan sembah raga. Namun karena badan terbuat dari bahan-bahan yang bertentangan (air-api, tanah-udara), banyak manusia yang hanya menggunakan sembah raga kemudian mengalami guncangan-guncangan. Seberguncang bahan-bahan yang membentuk tubuh. Dari sinilah lahir kebutuhan melakukan sembah rasa. Di mana lebih dari sekadar menggunakan raga, badan mulai dibimbing oleh getaran-getaran rasa. Bukan rasa suka yang bertentangan dengan duka, bukan suci yang diseberangkan dengan kotor. Melainkan rasa yang memeluk mesra semuanya.

Seperti seorang Ibu yang merawat putera tunggalnya. Tatkala puteranya tersenyum, ia gendong. Manakala puteranya menangis sambil menyisakan kotoran di tempat tidur, lagi-lagi ia gendong puteranya dengan penuh kasih sayang. Sembah rasa juga serupa, belajar tersenyum pada apa saja yang datang dalam kehidupan. Sebagai hasilnya, hidup berputar lentur bersamaan dengan irama alam. Siang tersenyum pada cahaya terang dengan jalan bekerja. Malam berpelukan dengan kegelapan melalui istirahat di tempat tidur.

Di jalan ini, semuanya menjadi sembahyang. Tatkala makan maka makanlah dengan penuh rasa syukur. Di hari yang sama ada jutaan manusia kelaparan. Ketika menyapu, menyapulah sambil bersiul. Di menit yang sama ada jutaan manusia sakit di rumah sakit. Bila begini caranya, every act is a rite. Setiap langkah adalah sembah.

Puisi Jalalludin Rumi menjadi wakil dalam hal ini. Hidup serupa bawang merah. Di luar kotor kecoklatan. Tatkala dibuka jadi putih. Semakin dibuka semakin putih. Tambah dibuka tambah putih. Dan tatkala tidak ada lagi yang bisa dibuka, yang tersisa hanya air mata yang meleleh.


Sembah rahasia


Ia yang sudah berjalan jauh dengan sembah rasa, suatu waktu akan melihat bila alam menyimpan banyak rahasia. Di Timur, Tantra adalah salah satu jalan rahasia. Tidak banyak orang yang bisa membuka pintu Tantra. Di samping berat juga berbahaya. Ada yang mengandaikan Tantra dengan jalan tol yang cepat sampainya. Namun mengalami kecelakaan di jalan tol amat sangat berbahaya.

Itu sebabnya ada yang membagi perjalanan Tantra ke dalam tiga gerbang. Kehidupan diandaikan dengan pohon beracun karena banyak godaannya. Di tahap pertama, manusia disuruh menjauh dari pohon beracun. Makanya banyak imbauan melakukan puasa, pengendalian diri, hidup berkecukupan, penuh rasa syukur. Begitu lewat gerbang pertama yang ditandai oleh kemampuan menguasai diri (self mastery) yang baik, kemudian di langkah kedua murid akan diminta untuk menjadi penjaga pohon beracun. Mulailah seorang penekun menjadi “penggembala domba” bagi banyak kehidupan.

Ada yang jadi guru, penulis, pemimpin upacara, pemimpin yang jujur. Intinya satu, menjaga jangan sampai terlalu banyak kehidupan keracunan. Begitu jam terbang menjadi penggembala domba sudah cukup, baru boleh masuk ke inti sari Tantra: mengolah racun menjadi obat kehidupan. Makanya, bila di kebanyakan jalur hawa nafsu dilarang, di Tantra ada pendekatan menggunakan hawa nafsu (khususnya seks) sebagai kendaraan transformasi spiritual. Bukan untuk dibawa hanyut oleh nafsu, namun menghanguskan nafsu dengan nafsu.

Itu sebabnya di banyak tempat di Jawa, Sumatera, Kalimantan, India, Amerika Latin banyak peninggalan-peninggalan tua yang memamerkan hubungan seksual. Di Bali disebut lingga-yoni, nyegara-gunung. Siapa saja yang sudah membumihanguskan semua keinginan (termasuk keinginan menjadi suci atau tercerahkan), ia mulai belajar melihat rahasianya rahasia.

Persembahan di banyak tradisi (tidak saja di Bali) seringkali berisi bunga. Di sejumlah negara (seperti Jepang) bahkan menempatkan bunga secara amat istimewa. Seperti ada rahasia di sana. Bunga mekar mewakili keindahan. Namun seberapa indah pun bunga, beberapa waktu kemudian harus ikhlas menjadi sampah. Dan baik tatkala diberi sebutan indah maupun sebutan sampah, bunga tidak pernah bicara. Siapa yang hidupnya mengalir sempurna dari bunga (sukses, dipuja) menjadi sampah (gagal, dicerca), kemudian (bila bisa mengolahnya) menjadi bunga lagi, ia sudah membuka salah satu pintu rahasia.

Seorang guru yang sudah sampai di sini pernah menulis: Physical isolation is not the true solitude. Totally free from any grasping, that’s the true solitude. Lepas bebas dari segala kemelekatan (baik-buruk, benar-salah), itulah keheningan sesungguhnya.

Ada yang bertanya, bila sudah lepas-bebas, lantas apa pedoman bertindak? Seorang guru berbisik pada muridnya: memandanglah seperti langit, bertindaklah seperti ibu pertiwi. Langit memayungi semuanya, ibu pertiwi bertindak ketat mengikuti hukum alam. Bila menanam jagung, buahnya jagung. Kalau memelihara kelapa, buahnya kelapa.




Friday, September 4, 2009

Bunga Cinta untuk Teroris


Ada yang serupa dalam cara manusia berespons di muka bumi, yakni mencampakkan hal-hal yang menjengkelkan, berebut hal- hal yang menyenangkan.

Jangankan dalam perang dan perceraian, dalam spiritualitas juga serupa. Tuhan dipuja setan dicerca, orang suci dipuji orang jahat dimaki. Hasilnya dicatat rapi oleh sejarah, berbagai guncangan tidak kian menjauh, malah kian dekat dengan kadar yang semakin menakutkan. Bom teroris, nuklir Korea Utara hanya sebagian bukti.

Bahan pertumbuhan


Amerika Serikat dan George W Bush adalah salah satu guru. Kedigdayaan AS mau menghentikan teroris dengan kekerasan. Dalam usaha ini, terang-terangan menyebut segelintir negara sebagai ”poros setan”. Setelah sekian tahun berlalu, tidak saja teroris kian menyeramkan, Afganistan dan Irak menyedihkan, AS pun mengalami penurunan menakutkan.

Ini memberi pelajaran bermakna. Menyelesaikan kekerasan dengan kekerasan, menghentikan kekejaman dengan kekejaman, serupa dengan menambah bensin pada api membara, makin lama makin berkobar.

Bila boleh jujur, setiap putaran waktu selalu ada penggoda. Yesus digoda Judas, istri Rama dilarikan Rahwana, Shri Krishna terpaksa turun perang karena keserakahan Duryodana, Buddha berkali-kali dicoba dibunuh Devadatta. Rangkaian sejarah ini bercerita, mencoba melenyapkan penggoda tidak saja sia-sia, tetapi juga melanggar hukum alam. Lebih dari itu, tidak ada pertumbuhan tanpa godaan.

Pesan seorang papa kepada putranya, ”Semakin tua umurmu, semakin banyak masalah yang datang. Namun, tolong diingat, persoalan muncul tidak untuk menghancurkan, tetapi untuk membuatmu tambah dewasa.”

Semesta memang semakin tua, akibatnya masalah semakin menumpuk. Namun, hanya tangan kebijaksanaan yang bisa mengolah persoalan menjadi berkah pertumbuhan. When sorrow invades the mind, compassion arises. Saat kegelapan kesedihan mengguncang, ia tidak mengundang kegelapan kemarahan, tetapi memunculkan cahaya kasih sayang.

Di salah satu majelis taklim di Jakarta pernah terdengar pesan indah, ”Sahabat-sahabat yang keras dan ganas itu jangan dijauhi. Harus ada yang mendekati, menyayangi, mencintai mereka. Terutama agar mereka keluar dari lingkaran gelap kekerasan”.

Undangan kebijaksanaan itu sungguh menyejukkan, sekaligus memberi masukan, masih banyak tersisa wajah yang sejuk, teduh, dan memayungi.

Seorang kakek mengelus cucu yang sedang marah dan sedih sambil berucap lembut: ”Sesakit apa pun tubuhmu, seberat apa pun beban jiwamu, ingatlah manusia tidak pernah menjadi musuh kita. Musuh sesungguhnya adalah kesalahpahaman.”


Bermesraan

Coba perhatikan para teroris, mereka dibikin oleh sepasang orangtua yang berpelukan dan bermesraan. Didoakan orangtua agar menjadi manusia berguna. Bertumbuh di sekolah yang mengajarkan kebaikan. Berdoa di tempat ibadah yang mendoakan keselamatan. Namun, karena berbagai hal yang tak sepenuhnya dimengerti, mereka diselimuti sejumlah awan kesalahpahaman. Dan awan ini tak menjadi hasil kerja mereka seorang diri.

Ketidakadilan tatanan dunia, pemberitaan yang penuh kekerasan, pemerintah yang tidak sepenuhnya terkelola, sekolah yang menakutkan, keluarga yang mengalami keruntuhan, miskinnya keteladanan tokoh, iklan yang terus menggoda nafsu, hanyalah sebagian jejaring yang menggiring mereka masuk terowongan gelap kesalahpahaman. Mencaci mereka hanya akan mempertebal kesalahpahaman.

Dalam bingkai pemahaman seperti ini, tidak adil bila menempatkan teroris sebagai terdakwa yang hanya layak disalahkan. Menyadari pendidikan, pergaulan, dan pemahaman agama para teroris yang terbatas, mereka lebih layak disebut ”korban” kesalahpahaman dibandingkan menjadi ”penyebab” kesalahpahaman.

Serupa dengan seseorang yang amat marah kepada lalat yang masuk rumahnya, sementara rumahnya penuh kotoran menjijikkan. Sebenarnya dengan semua kekerasan dan kekisruhan yang ditimbulkan, umat manusialah yang mengundang kekerasan teroris. Padahal, bila rumahnya bersih dan wangi, otomatis lalatnya menghilang.

Untuk itulah, setelah kekerasan tak kunjung pergi dengan jalan memaki-maki teroris, mungkin ini saatnya membersihkan rumah keseharian. Meminjam bahasa tetua, orang baik terlihat baik, orang jahat pun terlihat baik, bila kita di dalamnya cukup baik.

Seorang pertapa berkali-kali menggigil menangis saat bom teroris meledak, mendengar suara guru di dalam, ”Bawa orang-orang pulang. Kebencian, kemarahan, apalagi kekejaman bukan rumah sebenarnya. Rumah jiwa adalah cinta dan keikhlasan”. Ini mengingatkan kisah Nabi Nuh. Kendati tempat tinggalnya padang pasir tak berair, ia ikuti suara saat diminta membuat perahu.

Diterangi cahaya spiritual seperti ini, mungkin layak dipertimbangkan mengirim bunga cinta bagi teroris. Bagi pemimpin dan tokoh, hati-hatilah karena menjadi teladan yang ditiru. Bagi para guru (terutama guru agama), ajarkan wajah agama yang indah di awal, di tengah, dan di akhir. Bagi orangtua, sayangi putra-putri di rumah. Bagi sahabat media, wartakan kelembutan. Pengelola televisi, tayangkan gambar-gambar yang bisa membangunkan energi kasih dalam diri manusia. Itulah sebagian contoh mengirim rangkaian bunga cinta untuk mereka yang berpotensi menjadi teroris pada masa depan.

Mengirim bunga cinta kepada pihak-pihak yang berpotensi menyakiti adalah bukti rumah batin sudah bersih sekaligus jernih. Dengan batin seperti inilah kita songsong masa depan yang lebih membahagiakan. Mistikus sufi Jalaludin Rumi menulis, hidup seperti tinggal di losmen, tiap hari ganti tamu. Siapa pun tamunya (senang-sedih, suka-duka), jangan lupa tersenyum.

Kompas, 05 September 2009
Gede Prama, Penulis Buku Sadness, Happiness, Blissfulness: Transforming Suffering Into The Ultimate Healing


Saturday, July 18, 2009

Kaya Rasa, Kaya Makna


”Cangkul, cangkul, cangkul yang dalam....”

Kemiskinan badan berjumpa kemiskinan batin, demikian seorang murid mendengar bisikan gurunya pada akhir meditasi.

Rumah sakit yang seyogianya menjadi tempat penyembuhan, tidak saja mahal, malah mengirim pasiennya ke penjara. Sekolah yang dulu menggembirakan, kini pada saat ujian dijaga polisi, Bahkan, terjadi berbagai penangkapan, menakutkan.

Sekolah yang indah

Di banyak tempat, ditemukan home schooling. Anak-anak takut ke sekolah karena dipukuli teman, guru galak, pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya. Ini memberi inspirasi, saatnya merekonstruksi sekolah agar indah.

Di sebuah pelatihan sopir taksi pernah dilakukan latihan memberi yang menarik. Pada hari pertama peserta diminta membawa nasi bungkus karena tidak disediakan makan siang. Peserta berlomba membawa makanan yang enak. Ketika makan, peserta diminta meletakkan nasinya di kelas sebelah untuk dimakan peserta sebelah. Sementara yang bersangkutan memakan makanan yang dibawa orang lain.

Pada hari kedua juga diminta membawa nasi bungkus. Setelah tahu kalau nasi yang dibawa untuk kelas sebelah, banyak yang membawa nasi seadanya. Tidak sedikit hanya membawa nasi putih saja. Ternyata aturannya berubah, peserta harus memakan nasi yang dibawa sendiri.

Yang ingin diilustrasikan di sini, menyangkut perut sendiri betapa borosnya manusia memberi, bahkan banyak yang stroke. Namun terkait perut orang, betapa sedikit yang diberikan. Tiba-tiba para sopir tersentak, betapa egoisnya hidup. Ego inilah yang menciptakan penderitaan. Maka ada guru yang berpesan: ”Memberi, memberi, memberi. Lihat bagaimana hidupmu menjadi sejuk dan lembut setelah rajin memberi”.

Di sekolah guru boleh meniru pola pelatihan sopir itu, bisa juga mengajak anak didik ke panti asuhan, bermain bola bersama anak kampung. Intinya, menyadarkan pentingnya memberi.

Dalam bahasa manusia jenis ini, saat memberi sebenarnya orang tidak saja mengurangi beban pihak lain, tetapi juga sedang membangun potensi kebajikan dalam diri. Ini yang kelak memancarkan kebahagiaan.


Tiga tangga pemberian

Pemberian terdiri tiga tangga. Pertama, semua makhluk sama dengan kita: ”mau bahagia, tidak mau menderita”. Karena itu, jangan pernah menyakiti.

Kedua, para makhluk lebih penting. Nasi, udara, pekerjaan, semua yang memungkinkan hidup berputar, dihasilkan makhluk lain. Binatang bahkan terbunuh agar manusia bisa makan daging. Untuk itu, banyaklah menyayangi. Dari menanam pohon, melepas burung, menyayangi keluarga, bekerja jujur, tulus, sampai memberi beasiswa anak-anak miskin.

Ketiga, karena semua makhluk lebih penting, belajarlah memberi kebahagiaan, mengambil sebagian penderitaannya. Perhatikan doa Santo Fransiskus dari Asisi. Beri saya kesempatan menjadi budak perdamaian. Di mana ada kegelapan kemarahan, biar saya hadir membawa cahaya kasih. Di mana ada bara api kebencian, biar batin ini muncul membawakan air suci memaafkan. Mistikus sufi Kabir berkata, ”Nur terlihat hanya beberapa detik, tetapi ia mengubah seorang penyembah menjadi pelayan.”

Dalai Lama kerap menitikkan air mata saat membacakan doa ini, ”Semasih ada ruang, semasih ada makhluk. Izinkan saya terus terlahir ke tempat ini agar ada yang membantu semua makhluk keluar dari penderitaan.”

Penggalan lagu di awal tulisan mengingatkan, dengan mencangkul yang dalam, akar-akar pohon membantu batang, daun, bunga, dan buah bertumbuh. Kehidupan manusia juga serupa. Hanya pemberian yang memungkinkan seseorang ”mencangkul hidupnya” secara mendalam. Hasilnya, bunga kehidupan mekar: kaya rasa, kaya makna. Sampai di sini, guru berbisik: bahkan kematian pun bisa berwajah menawan.

Pertama, bagi yang terbiasa memberi (melepaskan), tidak lagi tersisa kelekatan yang membuat kematian menakutkan. Kematian menakutkan karena manusia belum terbiasa melepaskan.

Kedua, melalui kematian manusia melaksanakan kesempurnaan pemberian. Jangankan uang, tubuh pun diikhlaskan.

Tubuh menyatu dengan tanah, ikut menghidupi makhluk di bumi karena menghasilkan padi, sayur, buah. Unsur air bergabung dengan air agar makhluk tidak kehausan. Unsur api menyatu dengan api agar makhluk bisa memasak. Unsur udara bersatu dengan udara agar makhluk bisa bernapas. Unsur jiwa (ada yang menyebut kesadaran) menyatu dengan semua jiwa (kesadaran) agar semua makhluk teduh. Inilah kematian yang menawan. Melalui kematian manusia bukan kehilangan, malah memberikan.

Guru, semoga ada pemimpin yang tertarik mencangkul hidupnya secara mendalam. Lalu tersentuh untuk meringankan beban mereka yang kerap menangis oleh biaya sekolah, biaya berobat, biaya menemukan keadilan yang serba mahal.


Thursday, July 16, 2009

Damai dalam Setiap Langkah


Di Bali ada cerita seorang anak yang pintar, cerdas, ganteng bernama Nyoman. Karena itu ia disayangi orang. Bosan dengan semua ini, ia datang ke hutan menemui penyihir. Dan diberilah Nyoman seruling waktu yang hanya bisa diputar ke depan. Dan mulailah ia bereksperimen.

Pertama-tama ia putar ke masa remaja. Tidak berapa lama ia bosan, diputar lagi seruling waktunya ke masa tua. Ia lihat seorang ayah dengan seorang istri yang menua. Ini lebih membosankan lagi, ia putar ke masa lebih tua lagi. Dan di sini baru timbul penyesalan. Ada banyak momen kekinian yang lupa dinikmati. Masa kanak-kanak yang penuh tawa, masa remaja yang penuh persahabatan, masa kuliah yang penuh perdebatan. Dan menangislah Nyoman pergi ke hutan minta penyihir untuk mengembalikan hidupnya.

Kalau boleh jujur, setengah lebih manusia berperilaku serupa Nyoman: buru-buru ke masa depan. Dan sesampai di sana, baru menyesal ada banyak masa kini yang sudah jadi masa lalu lupa dinikmati. Manusia cerdas dan keras sekali mempersiapkan diri menyongsong masa depan. Namun sering gagal menikmati dan mensyukurinya. Dalam bahasa kawan yang suka mengeluh, dulu tidak bisa makan enak karena tidak punya uang. Sekarang juga tidak bisa makan enak karena keburu stroke.

Bangsa ini serupa. Pengap dengan orde lama kemudian ia ditumbangkan, datanglah orde baru. Orde terakhir serupa, nikmatnya sebentar, lagi-lagi harus ditumbangkan diganti orde reformasi. Ada tanda-tanda kuat, inipun sudah membawa kebosanan banyak orang.

Peradaban manusia setali tiga uang. Bergerak dari satu kebosanan ke kebosanan lain: perang dunia pertama, perang dunia kedua, perang dingin antara dua negeri adi kuasa, hantaman bom teroris.

Hari ini sebagai hadiah

Mungkin karena lelah dengan kehidupan yang terus berkejaran ke masa depan, kemudian banyak guru meditasi mengajari muridnya berpelukan dengan masa kini. Dan tidak perlu menunggu dengan syarat yang berat dan sulit, dengan badan sekarang, umur sekarang, kekayaan materi sekarang belajarlah memeluk semuanya dengan senyuman dan persahabatan.

Sebagaimana telah dibuktikan, lebih mudah menemukan kesehatan dan kebahagiaan dengan senyuman dan persahabatan dibandingkan dengan kemarahan dan kebencian. Makanya, tidak sedikit penulis (sebagai contoh Spencer Johnson dalam bukunya berjudul The Present) menyimpulkan kalau hari ini sama dengan the present (hadiah).

Suami, istri, anak-anak, orang tua, rumah, pekerjaan, kesehatan sekarang, memang tidak sempurna, namun semuanya menunggu untuk disyukuri. Indonesia sebagai rumah banyak manusia juga tidak sempurna. Namun ia menyisakan berlimpah hal yang layak disyukuri. Dari matahari terbit dan terbenam membawa keindahan, dengan pendapatan sedang-sedang saja sudah bisa menggaji pembantu lebih dari seorang, godaan bencana sering kali membukakan bukti kalau manusia Indonesia masih peduli dan punya hati.

Ada sahabat yang berfantasi seperti ini. Andaikan kita tersesat di luar angkasa, mimpi terindah yang ingin segera terealisasi adalah melangkahkan kaki di planet indah bumi ini. Pakistan boleh bergelora dengan politiknya, Timur-Tengah dengan Israel boleh masih berseteru, namun di sini di bumi ini masih tersedia berlimpah hal yang layak disyukuri.


Pernafasan adalah keindahan


Ada yang bertanya, kalau demikian kenapa begitu susah menikmati masa kini? Bila diibaratkan rumah, tubuh manusia berisi demikian banyak jendela terbuka. Mata, telinga, mulut, hidung, pikiran, keinginan, perasaan terbuka setiap hari tanpa dijaga. Sudah terbuka tanpa penjaga, kita membiarkannya menonton acara-acara menakutkan di televisi, mendengarkan dialog penuh kekerasan di radio. Dan jadilah kehidupan seperti rumah berantakan.

Dengan pemahaman mendalam akan hal inilah kemudian banyak orang menjaga jendela-jendela kehidupannya dengan penjaga yang bernama kesadaran dan kewaspadaan. Dan mengaktifkan penjaga ini amat dan teramat sederhana, murah meriah. Hanya dengan memperhatikan nafas. Bagi siapa saja yang perjalanan meditasinya sudah jauh, akan tahu ketika manusia rajin memperhatikan nafas, tidak saja penjaga bernama kesadaran dan kewaspadaan mulai bekerja, namun juga menemukan ada yang indah dalam bernafas penuh kesadaran: berpelukan dengan masa kini yang abadi!.

Masa lalu telah berlalu, masa depan belum datang, kedua-duanya tidak dalam genggaman. Satu-satunya waktu kehidupan yang menyediakan dirinya untuk bisa dipeluk adalah masa kini. Dan untuk memeluknya, ia sesederhana tersenyum, lihat, nikmati, syukuri udara masuk dan keluar melalui lubang hidung.

Akan lebih mudah lagi melakukannya kalau seseorang sudah bisa semengagumkan Jalalludin Rumi: all are sent as guides from the beyond. Semua yang terjadi membawa bimbingan-bimbingan dan tuntunan-tuntunan.
Sukses indah, gagal juga indah. Bukankah kegagalan memberi tahu batas-batas kemampuan diri? Disebut suci baik, disebut munafik juga baik. Bukankah sebutan munafik membuat kita jadi rendah hati? Semuanya menyediakan tuntunan-tuntunan.

Bila begini cara memandangnya, maka menyatu dengan masa kini yang abadi, bisa dilakukan dengan lebih mudah sekaligus indah. Ketenangan membuat semuanya lebih menawan.

Dan ini tidak hanya bisa dilakukan di ruang meditasi. Dari membuka mata di pagi hari, menyatu dengan air yang mengucur dari wastafel, tersenyum pada kemacetan, memimpin rapat, pulang memeluk pipi orang rumah. Inilah yang disebut damai dalam setiap langkah.

Dalam bahasa Dalai Lama, transformasi kedamaian dunia melalui kedamaian diri memang sulit tapi itu satu-satunya cara. Untuk itulah perlu melengkapi keindahan pernafasan dengan kesadaran dalam setiap kontak. Tatkala mata mengalami kontak (misalnya melihat orang menjengkelkan), ia menimbulkan perasaan tertentu. Latihannya kemudian, perasaan ini bersahabat dengan kewaspadaan atau bersahabat dengan kebodohan.

Diterangi kesadaran dan kewaspadaan, setiap langkah menjadi langkah kedamaian sekaligus langkah kesucian. Thich Nhat Hanh tidak memiliki saingan dalam hal ini. Dalam sejumlah karyanya (dari Present moment wonderful moment sampai Peace is every step), ia senantiasa menggaris bawahi pentingnya kedamaian saat ini. Di mana pun penulis ini akan terdiam sebentar, menarik nafas, terhubung dengan kekinian setiap mendengar bunyi bel. Di ruangan meditasinya di desa Plum Perancis ia menulis: bernafaslah, engkau masih hidup!


Berjumpa Cinta Di Mana-Mana


Cerita manusia adalah cerita derita, demikian bisik seorang kawan. Di Pakistan, belum lama Bhenazir Bhutto menginjakkan kaki di tanah kelahirannya, lehernya sudah ditembus peluru sampai tewas. Di Kamboja, pendeta Buddha berkelahi dengan polisi. Amerika Serikat yang menjadi tauladan dunia menjadi penghalang kesepakatan untuk mengurangi dampak pemanasan global. Gempa, tsunami, kelaparan, mengunjungi semua pojokan bumi.

Di negeri ini serupa. Banyak pemilihan kepala daerah berakhir rusuh. Kekerasan di kalangan remaja amat mengkhawatirkan. Di Bali, kadang kekerasan muncul bahkan ketika upacara dilaksanakan.

Membaca tanda-tanda seperti ini, ada yang mengeluh, bila demikian bukankah hidup manusia sama dengan neraka? Entahlah, yang jelas wajah kehidupan yang terlihat tergantung pada siapa diri kita di dalam. Bila di dalamnya cinta, manusia berjumpa cinta di mana-mana. Jika di dalamnya kebencian, manusia menemukan kebencian di mana-mana.

Membangun rumah cinta

Dilihat dari segi bahan, manusia berbahankan cinta. 0rang tua berpelukan penuh cinta ketika manusia dibikin. Disusui Ibu penuh dengan pelukan cinta. Banyak ayah yang tidak jadi memasukkan makanan ke mulut, hanya karena mau berbagi cinta dengan anak. Makanan dan minuman manusia datang dari alam yang berlimpah cinta. Ada yang mengandaikan kehidupan sebagai hujan cinta yang tidak pernah berhenti. Cuman sebagian memayungi dirinya dengan keangkuhan, sehingga badannya kering dari hujan cinta. Dengah bahan seperti itu, bila outputnya kebencian, mungkin kita perlu merenungkan prosesnya.

Perilaku kehidupan serupa matahari. Bila sudah waktunya terbit, ia terbit. Jika saatnya terbenam, ia terbenam. Dan di dalam pikiran yang dipenuhi rasa cinta, matahari akan disebut menerangi, memberi energi. Dalam pikiran yang penuh keluhan, ia diberi judul panas, sumber kekeringan, awal paceklik.


Berdiri di atas kesadaran seperti inilah kemudian banyak guru sepakat, fondasi awal membangun rumah cinta adalah pikiran yang terawasi secara rapi. Ketika senang diawasi, tatkala sedih juga diawasi. Persoalan dengan banyak manusia, terlalu melekat dengan hal-hal yang menyenangkan, menolak yang menjengkelkan, bosan dengan hal-hal biasa. Karena yang menyenangkan berpasangan dengan hal-hal yang menjengkelkan (seperti malam berpasangan dengan siang), maka berputarlah kehidupan dalam siklus tanpa akhir: senang, sedih, bosan dan seterusnya. Inilah awal dari banyak kelelahan emosi.

Sadar dengan akibat kelelahan inilah, kemudian sejumlah orang mengakhiri siklus terakhir hanya dengan mengamatinya. Being a compassionate witness, demikian saran seorang penulis meditasi. Lihat emosi dan pikiran yang naik turun seperti seorang nenek penuh cinta sedang melihat cucu-cucunya berlari ke sana ke mari. Semuanya sudah, sedang dan akan baik-baik saja. Atau lihat keseharian yang digerakkan senang, sedih, bosan seperti melihat aliran air di sungai. Kesenangan mengalir berlalu, kesedihan mengalir berlalu.

Di atas siklus yang terawasi rapi ini, kemudian dibangun tiang-tiang keseharian yang banyak membantu. ‘Bila tidak bisa membantu cukup jangan menyakiti’, demikian pesan sejuk seorang Lama. Atap rumah cinta kemudian bernama kaya karena rasa berkecukupan. Dalam bahasa seorang bapak yang amat mencintai anaknya: ‘dalam rasa berkecukupanlah letak kekayaan teragung’. Sebagai hasilnya, terbangunlah rumah-rumah cinta yang sejuk dan teduh.

Agar rumahnya tidak pengap, ia memerlukan pintu dan jendela. Pintunya bernama deep listening. Jendelanya berupa loving speech. Sebagaimana sudah menjadi rahasia banyak terapis, kesediaan untuk mendengarkan adalah sebuah penyegar banyak kepengapan jiwa di zaman ini. Tidak sedikit pasien yang sudah mendapatkan sebagian penyembuhan hanya dengan didengarkan. Dan bila harus berbicara, berbicaralah dengan bahasa-bahasa cinta.

Seorang sahabat dengan kata-kata yang berkarisma, pernah ditanya kenapa kata-katanya demikian berkarisma. Dengan tangkas ia menjawab, gunakan kata-kata hanya untuk membantu bukan untuk menyakiti. Kombinasi antara kesediaan mendengar dengan kata-kata yang penuh cinta inilah yang membuat rumah cinta dipenuhi udara segar.

Meminjam hasil kontemplasi orang suci, bila ada waktu merenung renungkanlah kekurangan-kekurangan Anda. Jika ada waktu berbicara bicarakanlah kelebihan-kelebihan orang lain. Mendengar penjelasan seperti ini, ada yang bertanya, kalau demikian apa itu cinta?. The Book of Mirdad menulis: ‘cintamu adalah dirimu yang sesungguhnya’. Dengan kata lain, di luar cinta adalah kepalsuan-kepalsuan. Laksanakan cinta, kemudian lihat bagaimana ia membuka keindahan dirinya. Kata-kata hanya penghalang pemahaman.

Rumah cinta berjalan

Di pulau Okinawa Jepang, pernah ada guru karate yang disegani. Di suatu latihan, muridnya bertanya apakah karate itu?. Dengan tersenyum ia menjawab: ‘karate means keep smiling in all situations‘. Karate berarti tersenyum di semua keadaan. Dan tentu muridnya bingung. Hanya karena segan, kemudian ia diam.

Sepulang latihan, murid ini menemui tentara Amerika mabuk yang mau membuat keributan di jalan. Murid karate ini panas. Begitu siap berkelahi, tiba-tiba gurunya muncul dengan penuh senyuman menyambut tentara-tentara tadi: ’selamat datang di Okinawa, Anda pasti sudah menikmati keindahan Okinawa’. Dan selanjutnya tidak saja perkelahian bisa dihindarkan, persahabatan dengan tentara Amerika juga berjalan baik-baik saja.

Ini mungkin yang disebut dengan rumah cinta berjalan. Ia menjadi contoh nyata cerita di awal: ‘bila di dalamnya cinta, maka manusia berjumpa cinta di mana-mana’. Berkaitan dengan momentum pergantian tahun, kebanyakan orang bertanya seberapa tua umur sekarang. Jarang yang mau bertanya, seberapa indah rumah cinta sekarang.

Melalui tatapan mata suami, kesetiaan isteri, rasa hormat putera/puteri, perlakuan atasan, senyuman tetangga, jabat tangan bawahan, bantuan teman atau keluarga, senyuman orang-orang yang pernah menyakiti, kita sedang melihat rumah cinta kita. Adakah ia lebih baik atau lebih buruk dari tahun lalu?. Perhatikan apa yang ditulis Thich Nhat Hanh dalam The diamond that cuts through illusion: ‘If you die with compassion in mind, you are a torch lightening our path‘. Ia yang meninggal dengan cinta kasih, menjadi lilin penerang banyak perjalanan. Mungkin ini yang membuat Yesus Kristus tidak pernah berhenti menerangi banyak sekali perjalanan.

Sunday, June 21, 2009

Nyoman Mimpi Jadi Presiden


Oleh Gede Prama

Pada zaman Orde Baru pernah ada rencana membuat film Nyoman Jadi Presiden, ternyata tidak lolos sensor. Ketika itu, jangankan manusia beneran, judul film pun tidak boleh ada kata ”menjadi presiden”. Kini berubah terbalik. Siapa saja boleh jadi presiden.

Ini membawa implikasi ke mana-mana, termasuk membuat anak kecil di Bali bernama Nyoman berfantasi menjadi presiden. Begitu kuat fantasinya, sampai-sampai semua kegiatan dilakukan sambil membayangkan dirinya jadi presiden.

Hubungan antara fantasi dan mimpi memang belum seluruhnya terang. Namun, suatu malam, Nyoman bermimpi jadi presiden, dilantik dan berpidato. Sebagaimana tradisi Timur umumnya, Nyoman juga diajari tetua untuk berdoa pada saat-saat penting. Untuk itu, dalam mimpi menjadi presiden, Nyoman berdoa, ”Kapan saja berjumpa orang, akan kupandang diriku yang paling hina. Dan jauh di kedalaman batin, akan kutempatkan orang lain di tempat paling mulia”.

Setelah melantunkan doa ini, Nyoman merenung sejenak, heran, tak mengerti dari mana inspirasi doa datang. Rasanya ia muncul spontan, bukan hafalan. Dan, seperti doanya belum lengkap, lagi-lagi bibirnya bergerak di luar kesadaran, ”Bila ada yang datang dengan sikap bermusuhan, membawa pedang amarah, api dendam, biarlah ia hadir seperti permata yang sulit ditemukan. Karena hanya melalui bara api dendam dan pedang amarah, bisa lahir bayi-bayi kesabaran dan kebijaksanaan”.

Seusai berdoa, Nyoman teringat guru yoga. Melalui sujud dan bakti kepada guru, segala kegelapan keraguan berubah menjadi cahaya terang pengertian dan bimbingan. Ia pun melakukan guru yoga dalam mimpi.

Merendah itu indah
Di Barat, lengkap dengan sejarah budayanya yang panjang, manusia diajarkan untuk percaya diri. Kualitas seseorang amat ditentukan seberapa tinggi percaya dirinya. Perhatikan mereka yang berhasil menjadi presiden AS. Jangankan saat benar, saat kalah pun berbicara penuh percaya diri. Ini layak dihormati sebagai salah satu cara bertumbuh.

Di Timur lain lagi. Meski sudah mulai ditinggalkan, bahkan dicurigai menjadi biang banyak keterbelakangan, tetua mengajarkan, ”Merendahlah, dan engkau akan diagungkan”. Perlambang yang kerap dikutip adalah padi di sawah, semakin berisi ia semakin merunduk. Simbol lain adalah bambu. Saat muda bambu bertumbuh ke atas, begitu dewasa ia merunduk rendah hati.

Inilah junjungan tetua di Timur. Seorang siswa pernah masuk ke pedalaman Dieng, Jawa Tengah. Di tengah penelitian, tiba-tiba ia dipanggil seorang tetua di tempat itu yang berjanggut panjang, mengenakan peci. Tetua itu berpesan, ”0rang bijaksana seyogianya berada di atas dualitas. Bukan dipermainkan dualitas (bersahabat dengan yang memuji, bermusuhan dengan yang mencaci), namun dengan sabar merangkul semuanya”.

Dan tugas merangkul lebih mudah dilakukan bila merendah. Bagi sebagian anak muda, merendah itu musibah. Namun, bagi tetua yang kaya rasa dan kaya makna, merendah itu indah. Persahabatan, kebahagiaan, ketenangan, keheningan, itulah buah kehidupan yang suka merendah.

Selain itu, dalam batin yang sudah bertumbuh dewasa, ia melihat jika kita sebenarnya adalah daun-daun di pohon yang sama, bintang-bintang di langit yang sama. Setiap pelayanan yang diberikan kepada pihak lain akan balik ke diri ini sebagai pelayanan. Inilah yang melampaui dualitas.

Itu sebabnya semua manusia di jalan ini mengabdikan hidup untuk pelayanan. Ada yang melayani orang sekarat, seperti Ibu Theresa. Ada yang menyelamatkan korban perang, seperti Thich Nhat Hanh. Ada yang menghabiskan waktu dengan memerangi kemiskinan, seperti Mohammad Yunus. Tentu lebih indah lagi bila tugas-tugas pelayanan ini dilakukan saat seseorang masih duduk di kursi kekuasaan. Dalam bahasa tetua, kekuasaan adalah terbukanya gerbang pelayanan, bukan kesempatan untuk melakukan pembalasan.


Bayi kebijaksanaan


Tetua berpesan, kesulitan itu ada tidak untuk membuat kita tumbang, tetapi kesempatan untuk menunjukkan kekokohan. Seperti pepatah tua, bad weather makes good timber. Cuaca buruk menyisakan kayu-kayu kokoh. Begitulah pohon-pohon kebijaksanaan memperlihatkan dirinya. Dengan demikian memberi pelajaran, api amarah, pedang dendam lawan, memang bisa mematikan. Namun, dalam kelenturan air, api maupun pedang sama- sama tidak berdaya. Api tidak bisa membakar air, pedang tidak berdaya memotong air.

Kelenturan air kerap digunakan sebagai simbol kebijaksanaan. Air berjalan dari hulu yang jauh, tetapi sampai ke samudra. Dan, satu-satunya kekuatan yang membuat air bisa melewati semua penghalang karena sifatnya yang lentur. Berbicara kelenturan, lagi-lagi harus kembali ke ladang pelayanan. Karena itulah hakikat kepemimpinan.

Kesehatan, pendidikan, kemiskinan, dan keterbelakangan adalah ruang publik yang lapar pelayanan. Kesehatan bermakna lebih luas dari sekadar berobat gratis, tetapi juga melibatkan pendidikan. Dulu, sebagian penyakit disebabkan salah makan. Kini (sebagaimana dikemukakan banyak peneliti), sebagian besar penyakit bersumber pada salah pikiran.

Pikiran inilah yang lebih layak disehatkan. Menambah daftar larangan untuk menyehatkan pikiran masyarakat hanya akan memperpanjang guncangan. Namun, memulai langkah keteladanan yang lurus, jujur, bersih, dan jernih lebih membantu dalam hal ini. Lee Kuan Yew adalah seorang guru. Tahun pertama diteriaki, tahun kedua dimaki, tahun ketiga dilempari api, tetapi karena lurus, jujur, dan konsisten, semua teriakan kemudian berhenti.

Maka, ada yang menulis, the inner science of transformation: aspiration, habituation, commitment, consistency. Niat itu langkah awal. Membiasakan diri agar niat menjadi kenyataan, itu langkah kedua. Membuat komitmen agar tetap berjalan lurus tanpa bisa ditawar, itu hal berikut. Namun, konsistensi kemudian mengibarkan bendera perubahan.

Ah, maafkanlah mimpi. Meminjam istilah Sigmund Freud dalam The Interpretation of Dream, mimpi bagi kebanyakan orang memang bunga tidur. Namun, tidak sedikit para Sufi dan Yogi yang menggunakan mimpi sebagai medium penting untuk terhubung ke alam lebih tinggi. Maka, di Timur dikenal praktik dream yoga.

Sumber: Kompas, 20 Juni 2009

Monday, April 27, 2009

Kekalahan, Kemenangan, Keindahan


Oleh: Gede Prama
Kompas, Sabtu, 25 April 2009

Entah sejak kapan, sudah lama manusia hidup hanya dengan sebuah tema: memburu kemenangan, mencampakkan kekalahan.

Di Jepang dan berbagai belahan dunia, banyak orang mengakhiri hidupnya hanya karena kalah. Hal-hal yang melekat pada kekalahan dinilai serba negatif: jelek, hina.

Sekolah sebagai tempat untuk menyiapkan masa depan juga ikut-ikutan. Melalui program serba juara, sekolah menguatkan keyakinan ”kalah itu musibah”. Tempat kerja juga serupa, tak ada yang absen dari kegiatan sikut-sikutan. Semua mau naik pangkat, tak ada yang ingin turun. Terutama dunia politik, kekalahan hanyalah kesialan. Dan aroma seperti inilah yang mewarnai Indonesia pada awal April 2009, menjelang pemilu dan pilpres.

Kalah juga indah

Tidak ada yang melarang manusia mengejar kemenangan. Ia pembangkit energi yang membuat kehidupan berputar, pemberi semangat agar manusia tidak kelelahan. Tapi, seberapa besar energi dan semangat manusia, bila putaran waktunya kalah, tidak ada yang bisa menolaknya.

Karena itu, orang bijaksana melatih diri untuk tersenyum di depan kemenangan maupun kekalahan. Berjuang, berusaha, bekerja, berdoa tetap dilakukan. Namun, bila kalah, hanya senyuman yang memuliakan perjalanan.

Dihormati karena menang itu indah. Namun, tersenyum di depan kekalahan, hanya orang yang mendalam pandangannya yang bisa melakukan. Sebagian orang bijaksana malah bergumam, kekalahan lebih memuliakan perjalanan dibandingkan kemenangan. Di depan kekalahan, manusia sedang dilatih, dicoba, dihaluskan. Kekalahan di jalan ini berfungsi menghaluskan.

Kesabaran, kerendahhatian, ketulusan, keikhlasan, itulah kualitas-kualitas yang sedang dibuka oleh kekalahan. Ia yang sudah membuka pintu ini akan berbisik, kalah juga indah!

Jarang terjadi ada manusia mengukir makna mendalam di tengah gelimang kemenangan. Terutama karena kemenangan mudah membuat manusia lupa diri. Para pengukir makna yang mengagumkan, seperti Kahlil Gibran, Jalalludin Rumi, Rabindranath Tagore, Thich Nhat Hanh, semuanya melakukannya di tengah kesedihan. HH Dalai Lama bahkan menerima Hadiah Nobel Perdamaian sekaligus penghargaan sebagai warga negara kelas satu oleh Senat AS setelah melewati kesedihan dan kekalahan puluhan tahun di pengasingan.


Memaknai kekalahan


Mengukir makna memang berbeda dengan mengukir kayu. Dalam setiap konstruksi makna terjadi interaksi dinamis antara realitas sebagaimana apa adanya dan kebiasaan seseorang mengerti (habit of undestanding). Ia yang biasa mengerti dalam perspektif tidak puas, serba kurang, selalu menuntut lebih, akan melihat kehidupan tak menyenangkan ada di mana-mana. Sebaliknya, ia yang berhasil melatih diri untuk selalu bersyukur, ikhlas, tulus lebih banyak melihat wajah indah kehidupan.

Belajar dari sini, titik awal memaknai kekalahan adalah melihat kebiasaan dalam mengerti, the blueprint is found within our mind. Membiarkan kemarahan dan ketidakpuasan mendikte pengertian akan memperpanjang penderitaan yang sudah panjang.

Seorang guru mengambil gelas yang berisi air, meminta muridnya memasukkan sesendok garam dan diaduk. Saat dicicipi, asin rasanya. Setelah itu, guru ini membawa murid itu ke kolam luas dengan sesendok garam yang dicampurkan ke air kolam dan rasanya tidak lagi asin.

Itulah batin manusia. Bila batinnya sempit dan rumit (fanatik, picik, mudah menghakimi), kehidupan pun menjadi mudah asin rasanya (marah, tersinggung, sakit hati). Saat batinnya luas, tak satu hal pun bisa membuat kehidupan menjadi mudah asin.

Dengan modal ini, lebih mudah memaknai kekalahan bila manusia berhasil mendidik diri berpandangan luas sekaligus bebas. Berusaha, bekerja, belajar, berdoa adalah tugas kehidupan. Namun, seberapa pun kehidupan menghadiahkan hasil dari sini, peluklah hasilnya seperti kolam luas memeluk sesendok garam.

Apa yang kerap disebut menang-kalah, sukses-gagal, dan hidup-mati hanyalah wajah putaran waktu. Persis saat jam menunjukkan pukul 06.00, saat Matahari terbit. Pukul 18.00, putaran waktu Matahari tenggelam. Memaksa agar pukul 06.00 Matahari tenggelam tidak saja akan ditertawakan, tetapi juga korban karena kecewa.

Memang terdengar aneh. Pejalan kaki yang sudah jauh ke dalam diri bila ditanya mau kaya atau miskin, akan memilih miskin. Atas menang atau kalah, ia akan memilih kalah. Kaya adalah berkah, namun sedikit ruang latihan di sana. Meski ditakuti banyak orang, kemiskinan menghadirkan daya paksa tinggi untuk senantiasa rendah hati. Menang memang membanggakan, namun godaan ego dan kecongkakan besar sekali. Nyaris semua orang tak ingin kalah, tetapi kekalahan adalah ibu kesabaran.

Seorang guru meditasi yang sudah sampai di sini pernah berbisik, finally I realize there is no difference between mind and sky. Inilah buah meditasi. Batin menjadi seluas langit. Tidak ada satu awan (awan hitam kesedihan, awan putih kebahagiaan) pun yang bisa mengubah langit. Dan ini lebih mungkin terjadi dalam manusia yang sudah berhasil memaknai kekalahan.

Gede Prama Bekerja di Jakarta; Tinggal di Bali Utara

Monday, February 2, 2009

Menyingkap Keindahan Bencana


Lihat kebunku penuh dengan bunga. Ada yang putih dan ada yang merah. Setiap hari kusiram semua. Mawar melati semuanya indah.

Bencana, bencana, bencana, bencana, mungkin itu kabut-kabut kehidupan yang berganti menyelimuti Indonesia beberapa tahun terakhir. Belum sepenuhnya pulih dari banjir dahsyat Jakarta, tiba-tiba tanah longsor menggelegar, gempa bumi memakan nyawa, pesawat Garuda terbakar. Bencana seperti tidak bosan-bosannya menggoda jiwa Indonesia. Seorang sahabat asli Jawa, berulang-ulang menyebut kata miris. Seorang psikiater mengutip sebutan tua tentang zaman edan, tatkala menyaksikan seorang Ibu membakar diri dan sejumlah putera-puterinya karena terhimpit kesulitan kehidupan. Salah seorang penulis luar, bahkan memberi judul menyentuh di International Herald Tribune, Indonesia: Mass murder or natural disaster, terutama setelah menghitung ratusan ribu nyawa yang melayang akibat bencana.

Berduka, bersedih, tersentuh oleh penderitaan sesama tentu salah satu tanda pertumbuhan jiwa. Di Timur telah lama diajarkan, untuk memasuki wilayah-wilayah kesucian bahkan menginjak rumput pun dilarang. Terutama karena setiap rasa sakit yang kita timpakan ke ciptaan lain, akan kembali menyakiti diri ini. Sehingga sungguh layak disyukuri kalau Indonesia masih memiliki demikian banyak hati yang punya empati.

Cahaya bencana

Dengan tetap menghormati banyak hati yang punya empati, banyak guru setuju kalau jalan-jalan keindahan apa lagi kesucian tidak ada yang sepenuhnya lurus dan mulus. Semakin indah sebuah tujuan, semakin berat jalan-jalan yang harus dilalui. Bila ini cara memandangnya, mungkin Indonesia bisa menarik nafas dalam-dalam sebentar. Menghimpun energi untuk melewati banyak tanjakan serta kelokan di depan yang masih banyak menghadang.

Dalam jeda jiwa seperti ini, bisa jadi berguna kalau merenung sebentar tentang cahaya-cahaya bencana. Bagi banyak jiwa, bencana identik dengan kematian, perpisahan, kesedihan, duka cita. Dan tentu saja ini teramat manusiawi.


Sedikit jiwa yang mau menggali lebih dalam kalau di balik bencana, ada sejumlah langit kehidupan yang tersingkap rahasianya. Ketakutan, kesedihan adalah masukan berguna tentang keinginan yang demikian mencengkeram. Semakin mencengkeram keinginan, semakin menakutkan wajah bencana. Ada keinginan agar kehidupan hanya berwajah damai, keluarga yang hanya boleh bahagia, perpisahan yang identik dengan hukuman, kemiskinan sama dengan kutukan.
Dan melalui hentakan-kentakan bencana, manusia sedang diingatkan, seberapa kuat pun keinginan mencengkeram, kehidupan tetap harus berputar. Bila saatnya matahari tenggelam, tenggelamlah ia. Ketika putaran bumi harus ditandai oleh gempa, gempalah yang menjadi sahabat kehidupan. Bila kematian sudah waktunya berkunjung, berkunjunglah ia menjadi sahabat kehidupan. Makanya, seorang ayah berpesan kepada putera-puterinya, kematian datang bukan karena penyakit, bukan karena dikerjain orang, bukan juga akibat bencana, kematian datang memang karena putaran waktunya sudah tiba. Penyakit, bencana hanyalah pintu-pintu pembuka.

Bila ini cara meneropongnya, tidak saja keinginan mulai longgar cengkeramannya, namun cahaya-cahaya bencana juga terbuka. Ternyata bencana lebih dari sekedar hulunya kesedihan, ketakutan dan kutukan, ia juga membukakan pengertian tentang wajah kehidupan yang lebih utuh.

Serupa dengan lagu anak-anak yang dikutip di awal tulisan ini, hidup serupa dengan mengurus taman. Kendati yang ditanam rumput Jepang, ada rumput liar yang ikut tumbuh. Kendati sudah banyak berbuat baik, banyak berdoa, sering ke tempat ibadah, bila saatnya bencana menggoda, ia tetap menggoda. Bila rumput Jepang yang ditanam seratus meter, rumput liar hanya mengambil porsi sedikit sekali. Demikian juga dengan kehidupan, sehat berumur bertahun-tahun tapi kerap lupa disyukuri. Sakit hanya segelintir hari sudah penuh dengan caci maki. Indonesia sebentar lagi mau berumur 62 tahun, hanya seglintir hari yang digoda bencana.

Taman jadi indah karena penuh bunga dan warna. Kehidupan juga serupa. Kebahagiaan jadi lebih indah kalau pernah melewati kesedihan. Kehidupan bermakna amat dalam karena ada kematian. Kesuksesan berakarkan rasa syukur yang mendalam, kalau pernah dibanting kegagalan.

Taman bertumbuh terus bila disirami. Pertumbuhan jiwa juga sama. Tidak saja kebahagiaan yang menyirami kehidupan, kesedihan juga menyirami, terutama karena kesedihan adalah gurunya sikap rendah hati dan mawas diri. Tidak saja kedamaian yang memperkuat kehidupan, bencana juga memperkuat kemudian. Kedamaian memperkuat seperti air yang bertemu kerongkongan dahaga, bencana memperkuat seperti amplas keras dan kasar yang membuat berlian tambah bersinar. Sebagai catatan kontemplasi, Jepang dan Jerman yang kini menjadi salah satu pemimpin dunia, kalah perang secara amat menyedihkan puluhan tahun lalu.

Di puncak semua perjalanan ini, tersisa bait indah kehidupan: ”mawar melati semuanya indah!”. Mawar yang berduri indah, melati yang wangi juga indah. Siapa saja yang bisa melihat keindahan dalam setiap unsur dualitas (bahagia-bencana, untung-rugi, suci-kotor, dipuji-dicaci) dia berada di depan gerbang pencerahan, kemudian hatinya bernyanyi: ”semuanya indah!”.

Dalam bahasa indah sejumlah sahabat penyair, keuntungan adalah hasil pelajaran dari banyak kerugian, kekotoran adalah kesucian yang sedang siap-siap menunjukkan rahasianya, kekayaan adalah sisi lain dari kemiskinan dalam mata uang kehidupan. Pada jiwa yang sedang bertumbuh, dualitas terus bergerak dari satu ujung bandul ke ujung bandul lain. Habis bahagia derita, setelah untung rugi dan seterusnya. Dan lagu anak-anak ini mengajarkan, setelah semua segi kehidupan dicintai, disirami, diterima, kemudian dari dalam sini ada yang bernyanyi: ”semuanya indah!”.

Ini mungkin yang menyebabkan Robert Fulghum pernah menulis “Apa yang perlu dipelajari tentang kehidupan, sudah selengkapnya diajarkan di taman kanak-kanak“. Sebuah masa di mana semuanya terasa indah. Guru dzogchen Chogyal Namkai Norbu menyebutnya primordial state (titik awal sekaligus titik akhir perjalanan ke dalam). Cirinya sederhana, tidak ada hal positif yang perlu diterima, tidak ada hal negatif yang perlu ditolak.

Tahan terhadap Guncangan


Problematic society, itu sebutan sahabat yang memenuhi kepalanya dengan kejengkelan tentang Indonesia.

Lebih-lebih menjelang Pemilu 2009, di mana ruang publik dibikin riuh oleh banyak sekali iklan politik. Ada yang menyebutnya sebagai sampah virtual. Jujur harus diakui, setiap orang punya cara bertumbuh. Hanya ego yang buru-buru menyebutnya buruk.

Pepohonan bertumbuh secara tenang, tulus, ikhlas. Sedangkan anjing kampung berkelahi baik saat ada makanan maupun saat tidak ada makanan. Yang satu lembut, sejuk, teduh, apa pun godaannya, yang lain keras ganas di segala cuaca. Namun, keduanya sedang bertumbuh.

”The gift of listening”

Kerangka baik-buruk, suci-kotor, sukses-gagal, tinggi-rendah dan dualitas lainnya adalah cara pikiran manusia membuka pintu pengertian. Sayang, begitu pintunya terbuka, dualitasnya tidak ditinggalkan di belakang, bahkan digendong ke mana-mana. Ini serupa dengan cerita tentang seseorang yang hampir mati kelaparan di seberang sungai, kemudian diselamatkan oleh sebuah perahu.

Demikian tingginya utang budi dan kemelekatan orang ini pada perahu, kemudian ia menggendongnya ke mana-mana. Belakangan, orang ini mati karena kelelahan menggendong perahu.

Dalam wajah yang berbeda, mereka yang menggunakan pengetahuan, pengalamannya, tradisinya, dan agamanya untuk menghakimi dan menyakiti orang, sejujurnya bernasib serupa dengan penggendong perahu itu: berjalan kelelahan menggendong perahu keyakinan.

Untuk itulah, orang-orang bijaksana selalu menyediakan diri untuk belajar dan mendengar. Dengan belajar, manusia berhenti menjadi kura-kura yang menganggap rumah kecilnya adalah satu-satunya rumah yang layak huni. Dengan mendengar, manusia menyatu bersama samudra pengertian yang mahaluas.

Bila ada sesuatu yang terlihat aneh dan susah untuk dimengerti, kemungkinan terlalu tinggi atau terlalu rendah dibandingkan tingkat kemampuan pemahaman sekarang.

Mungkin itu sebabnya, kepala manusia memberikan pertanda bahwa telinga, mata, lubang hidung semuanya serba dua, tetapi mulut hanya ada satu.

Dengan kata lain, pemahaman lebih mungkin terbuka bila lebih banyak mendengar, melihat, dan merasakan segarnya kehidupan, sekaligus lebih sedikit berbicara.

Bagi yang sudah menyentuh batas-batas rasionalitas dan mengerti jika pengetahuan bisa menjadi penghalang pemahaman, akan tersenyum sambil berbisik: ternyata bisa mendengar adalah sebuah berkah!

Seorang guru di Perancis menulis: to say you don’t know is the beginning of knowing. Menyadari diri tidak tahu adalah awal pengetahuan sekaligus keagungan.


”The gift of understanding”


Dengan modal mendengar dan belajar inilah, para bijaksana menelusuri sisi-sisi kehidupan. Sesuatu yang awalnya terlihat baik, belakangan menjadi buruk. Hal lain yang semula terlihat suci menjadi sumber belenggu yang menakutkan kemudian.

Ujung-ujungnya satu, tidak ada yang kekal. Semua seperti air sungai: mengalir dan mengalir. Sehingga tidak saja sungai yang baru setiap detiknya (karena airnya berganti terus), pengertian juga senantiasa baru dan segar. Maka, di Timur tidak sedikit manusia yang terbebaskan dan tercerahkan hanya dengan memahami dalam-dalam makna ketidakkekalan.

Pengetahuan, filsafat, agama (terutama yang sangat mencengkeram sehingga membuat orang jadi fanatik) ibarat batu besar di sungai, mandek tidak bergerak. Kesediaan untuk belajar dan mendengar ibarat air mengalir di sungai, pada waktunya ia akan sampai di samudra.

Bila boleh berterus terang, kehidupan menyimpan tidak sedikit tokoh yang sudah menemukan indahnya belajar dan mendengar.

Ahmad Syafii Ma’arif (mantan Ketua Umum PP Muhamadiyah) mengakhiri renungannya tentang hari raya Idul Fitri tahun 2008 dengan mengutip pendapat Mahatma Gandhi yang beragama Hindu. Yudi Latief (salah satu murid almarhum Nurcholis Madjid) menutup refleksinya tentang hari raya Idul Fitri pada tahun 2008 dengan meminjam argumen pendeta Buddha Thich Nhat Hanh. Seorang pastor Katolik yang memimpin gereja di Puja Mandala Bali menghabiskan waktu tahunan di Mesir belajar filsafat Islam. Dari penuturannya mengalir wajah-wajah Islam yang indah.

HH Dalai Lama berkali-kali mengemukakan tidak tertarik untuk mengubah keyakinan orang menjadi pengikut Buddha. Satu-satunya ketertarikannya adalah bagaimana membangun hubungan harmonis di antara sesama manusia. Itu sebabnya banyak pihak menyebut beliau memiliki universal appeal.

Inilah ciri-ciri manusia yang di dalamnya kaya karena belajar dan mendengar. Tatkala ada pengertian yang berbeda (mengenai filsafat, agama, ideologi, tradisi) tidak buru-buru diberi judul salah. Mereka mulai dengan mendengar, kemudian belajar. Kesediaan untuk mengerti itu sebuah berkah (the gift of understanding), karena melalui pengertian terbuka pintu-pintu persahabatan, persaudaraan yang menjadi modal kebahagiaan kemudian.

Tahan guncangan

Ia yang sampai di puncak pemahaman akan berbisik, ”The best theologian is the one who never speaks about God”. Berbicara menunjukkan seseorang masih dua (subyek-obyek, Tuhan-manusia). Dalam pemahaman yang dibimbing persahabatan ini, ada yang menyebutkan bahwa yang dua sudah menjadi satu. Ada yang hanya senyum-senyum lembut tanpa suara. Raut mukanya memberi tanda tidak ada lagi yang perlu dibicarakan.

Dari sini muncul pertanyaan, bila demikian bingkai pengertiannya, lantas apa pedoman bertindak? Seorang guru yang amat menyentuh memberi pedoman sederhana. Membantu meringankan beban penderitaan para makhluk adalah yang paling baik. Bila tidak bisa, cukup jangan menyakiti. Inilah prinsip survival of the kindest. Kehidupan menjadi tahan guncangan karena kebajikan.

Semua kehidupan dimulai dengan kebaikan pihak lain. Tatkala lahir kita berutang pada kebaikan orangtua dan lain-lain. Nanti ketika meninggal lagi-lagi harus bergantung pada kebaikan orang lain. Kita didoakan, dibikinkan upacara oleh orang lain.

Dan, bila di antara kelahiran dan kematian lupa mengisinya dengan kebaikan, itu berarti gagal membayar utang kebaikan. Maka, ada yang menulis: compassion is the best protection. Welas asihlah penjaga kehidupan yang sesungguhnya. Tidak saja menjaga sekarang, tetapi juga menjaga sampai setelah kematian.

Perhatikan kehidupan Mohammad Yunus, Nelson Mandela, dan Dalai Lama yang tanpa senjata, tanpa agen rahasia, tetapi bercahaya ke mana-mana.

Boleh saja ada orang hidup penuh penghakiman (baik untuk diri, buruk untuk orang), di jalan kebajikan semuanya menghadirkan pelajaran.

Sebagai hasilnya, tidak saja orang baik terlihat indah. Iklan- iklan politik juga indah. Semuanya sedang bertumbuh, semuanya hanya cara guru membimbing.

Gede Prama Bekerja di Jakarta, Tinggal di Bali Utara
Kompas, 31 Januaru 2009