Sunday, August 31, 2008

Bebas Dari Belenggu Ketakutan


Untuk urusan menjadi pembicara publik bagi sejumlah perusahaan minyak terkemuka, saya menghabiskan banyak waktu di kota Bandung. Satu hal yang membedakan Bandung dengan Jakarta dan sejumlah kota besar lainnya, adalah wajah-wajah manusia yang kita temui di jalan raya. Begitu sampai di Bandung, langsung terasa ekspresi takut dan curiga manusianya amatlah berbeda.

Di Jakarta, kita bertemu jutaan manusia dengan tatapan mata kosong, memandang curiga ke orang lain, pelit sekali dengan senyum buat orang lain, dan diliputi rasa takut dan was-was setiap saat.

Hidup dan kehidupan - dalam keadaan demikian - adalah pengalaman yang diisi dengan rasa takut, curiga dan was-was. Membaca koran, sebagian isinya pembunuhan dan perampokan. Mendengar radio, tidak sedikit yang berisi cerita menakut-nakuti. Menonton televisi, ada gambar-gambar penuh darah dan kebencian. Di kantor, hampir semua bermain politik saling menjatuhkan. Di lingkungan tetangga, orang pamer dan berperilaku lebih kaya dibandingkan orang lain.

Di suatu kesempatan berjalan-jalan kaki bersama isteri di kota Bandung, saya amat merasakan suasana yang amat lain. Terutama, dalam hal ketakutan dan rasa curiga yang melingkupi wajah mahluk-mahluk ciptaan Tuhan yang ada di jalan raya.

Digabung menjadi satu, hidup di kota besar seperti Jakarta, sebenarnya mirip dengan memproduksi diri sendiri menjadi manusia yang dibelenggu ketakutan. Di lampu merah, kita harus awas dengan pencopet. Di mal, kita dipaksa waspada terhadap siapa saja yang tidak dikenal. Di rumah, begitu ada orang yang tidak pernah kelihatan sebelumnya, otomatis pintu dan jendela ditutup.

Jangan tanya saya tentang kesehatan jiwa dalam masyarakat seperti ini. Yang jelas, Irish Barrow pernah menulis : ‘Holding a grudge is a subtle form of suicide‘. Hidup dalam dendam - demikian juga dalam ketakutan - adalah bentuk halus dari bunuh diri.

Kadang, ada dorongan untuk lari dan keluar dari lingkungan seperti ini. Kerap, saya protes kenapa saya membunuh diri sendiri dan keluarga saya dengan mesin-mesin ketakutan yang tidak ada hentinya. Sering, saya berucap lirih ke diri sendiri, bagaimana saya bisa kerasan hidup di tengah lautan kecurigaan dan ketakutan.

Tadinya, saya fikir hanya sedikit manusia Jakarta yang protes seperti saya ini. Namun, belakangan setelah bertemu lebih dari seratus ribu orang di seminar pertahunnya, keluyuran di banyak tempat di Jakarta dari lapangan golf sampai pesta pernikahan, rupanya saya tidak kesepian. Ada banyak manusia lainnya yang juga membunuh dirinya dengan mesin ketakutan.

Lebih parah lagi, kalau saya masih menyimpan sedikit kewaspadaan dengan mesin terakhir. Ada ribuan manusia lain, yang diproduksi oleh mesin ketakutan, tetapi sedikitpun tidak menyadari akan bahaya di balik itu.


Saya tidak tahu apakah Anda menyimpan kekhawatiran terhadap semua ini. Tetapi saya sangat mengkahawatirkan akan akibat jangka panjang yang ditimbulkan dari belenggu ketakutan ini. Kreativitas, inovasi, imajinasi, ketulusuan, kecintaan pada orang lain, kesegaran berfikir, kepekaan kemanusiaan adalah sebagian anugerah Tuhan yang sedang kita basmi habis-habisan melalui mesin ketakutan ala Jakarta.

Tidak usah terlalu muluk bercerita tentang sumber daya manusia, daya saing manusia Indonesia, atau apalah namanya. David Mc. Clleland boleh saja berteori tentang achieving society. Max Weber bisa saja menjual idenya tentang The Protestan Ethics and The Spirit of Capitalism. Dimana keduanya sama-sama mengagungkan persaingan dan ketakutan sebagai motor kemajuan.

Akan tetapi, bisakah kejernihan, kepekaan dan imajinasi lahir dari kumpulan manusia yang sedang didorong habis-habisan oleh mesin ketakutan? Anda bisa saja punya bukti yang memungkinkan jawaban positif terhadap pertanyaan terakhir. Namun, saya meragukan bila kepekaan jiwa manusia bisa diasah dalam lingkungan sosial seperti ini.

Ada ratusan manusia yang pernah bertanya karena kehilangan kepekaan terakhir. Tidak sedikit manajer yang sudah menyadari bahwa dirinya kesepian di keramaian. Sejumlah pengusaha yang saya kenal, merasakan kekeringan di tengah basahnya kekayaan yang mereka miliki.

Kendati majalah Infobank pernah menyebut saya sebagai seorang ‘resi’, saya terus terang masih jauh dari kualitas seorang resi. Jangan-jangan menjadi guru saja belum buat orang lain. Namun, masih teramat sering saya bertemu dengan manusia yang mencari ketenangan dan kejernihan dari luar. Seolah-olah ada ilmu kejernihan, kepekaan dan imajinasi. Ada rumus dan jurus yang bisa siap pakai. Ada guru dan pelatih yang bisa menyulap Anda.

Setelah melalui berbagai proses belajar. Dari hidup dalam kemiskinan, sekolah drop out, miskin perhatian, dianggap bodoh oleh banyak orang, masuk rumah sakit karena kebanyakan belajar, sampai dengan dikagumi oleh sejumlah orang. Serta saya padukan dengan berbagai pengalaman meditatif. Saya sampai pada sebuah kesimpulan sederhana : ‘lihatlah ke dalam, di mana hanya ada kedamaian‘.

Percuma saja, Anda mencari pembebas ketakutan dari luar. Ia ada di sini : dalam diri kita sendiri. Di manapun, dalam keadaan apapun, serta dengan siapapun, kebebasan itu bisa kita temukan. Persoalannya cuma satu : maukah kita mencarinya ? Bukankah ketakutan hanyalah hasil rekayasa dari fikiran yang terikat? Sekali kita tidak lagi terikat dengan mobil, rumah, masa depan, anak, isteri, suami, bukankah kebebasan tadi otomatis rajin berkunjung?

1 comments:

Karl Marx sudah memprediksi bahwa kelak manusia akan merasakan keterasingan yang amat dalam. Manusia akan teralineasi dari kemajuan teknologi. Saat ini saya juga prihatin bahwa anak2 sudah hobby chatting via hp daripada ketemu dan bergaul.
Akan halnya jakarta, saya kira sudah menjadi "kesepakatan dan norma" bahwa hidup di jakarta adalah bersedia merobotkan diri. Orang yang sadar diri menjadi komunitas 5% di jakarta alias menjadi orang "aneh"

salam