3:48 PM -
Indonesia Pensiun
1 comment
Indonesia Pensiun
Ada satu penyakit kejiwaan yang amat ditakuti mereka yang akan dan telah pensiun: post power syndrome. Semacam kekecewaan terhadap hidup, diakibatkan karena yang bersangkutan tidak lagi dihormati dan dipuji seperti ketika masih berkuasa. Titik pensiun, demikian sejarah sejumlah orang bertutur, adalah mirip dengan titik percepatan kematian. Di usia ini, banyak orang mulai rajin melihat iklan duka cita. Sebuah kegiatan, kalau boleh jujur, yang sebenarnya juga mempercepat kematian. Sebab, sebagaimana diyakini oleh pendekatan magnetic power of thought, fikiran yang sering diisi oleh bayangan tentang kematian, akan membawa kita ke tempat yang sama.
Bila menggunakan ukuran umur pensiun orang Indonesia yang berjumlah 55, maka tahun ini Indonesia memasuki usia pensiun. Bila penyakit barometernya, sinyal-sinyal pensiun sudah mulai kelihatan. Timor Timur yang kisruh, Aceh yang tambah bergejolak, Ambon yang rusuh tiada henti, Riau dan Irian yang mulai berhitung tentang hasil buminya yang diboyong Jakarta, Bali yang pernah dilanda isu mau merdeka, ancaman bila calon presiden tertentu tidak terpilih maka Indonesia Timur akan menjadi negara sendiri, dan masih banyak lagi deretan sinyal sejenis.
Bagaimana dengan post power syndrome? Ini juga memiliki banyak bukti. Kalau boleh berterus terang, nasib republik ini yang sedang berantakan di sana-sini, sebenarnya amat diwarnai oleh perilaku sejumlah pensiunan dan calon pensiunan.
Suharto ketika mau turun tahta, berhadapan dengan pensiunan seperti Barisan Nasional. Habibie juga sama, nasibnya dibuat tidak mujur oleh sejumlah pensiunan yang bermain money politics. Sejumlah menteri yang sudah tahu umur kabinetnya tinggal beberapa hari - di zaman Habibie, segera memensiunkan diri dengan alasan-alasan yang patriotik namun tidak simpatik. Belum lagi bila ditambah dengan diskursus publik kita yang dibuat amat kisruh oleh banyak sekali pensiunan. Singkat cerita, Indonesia bukan tidak mungkin akan turut dibawa pensiun oleh sejumlah pensiunan.
Mengamati proses sidang MPR/DPR tahun 1999, yang diwarnai oleh demikian banyaknya lobi, sampai-sampai mengalahkan kekuatan representasi yang dihasilkan pemilihan umum, tampaknya lima tahun yang akan datang masih akan ditandai oleh banyak nightmares. Demikian juga tanya jawab ’seru’ di DPR yang memplonco Gus Dur melalui kasus pemecatan dua menteri, bukankah itu hanya hasil permainan kebanyakan orang yang ogah pensiun?
Siapapun yang jadi presiden, hamparan tugas berat sedang menunggu. Dari partai apapun ia berasal, tetap akan ditandai oleh goyangan-goyangan dari partai lain. Bagaimanapun besarnya legitimasi yang ia peroleh dari rakyat, diskursus orang-orang ogah pensiun akan tetap berlanjut.
Tampaknya teori yang mengatakan bahwa dunia modern ditandai oleh differentiation, dan dunia postmodern ditandai oleh de-differentiation, tampaknya akan dikoreksi oleh Indonesia lima tahun ke depan. Walaupun dunia sudah berubah judul dengan postmodern, namun Indonesia akan memasuki usia pensiun modern.
Dua hal yang amat berbeda tentunya. Dunia posmodern, meminjam argumen sejumlah postmodernis, ditandai oleh leburnya banyak sekali dikotomi. Barat-timur, kulit hitam-kulit putih, desa-kota, tradisional-modern, adalah sebagian dikotomi yang sudah dibuat lebur oleh kecenderungan postmodern. Sedangkan Indonesia yang memasuki usia pensiun modern, justru sedang membuat dikotomi-dikotomi baru.
Muslim-non muslim, Islam tradisionalis-Islam modernis, nasionalis-nonnasionalis, Jawa-luar jawa, reformasi-status quo, adalah sebagian dikotomi yang tercipta di pintu gerbang Indonesia pensiun.
Ketika berdialog dengan sejumlah warga Riau yang mulai muak tanah kelahirannya dikuras habis-habisan, lebih-lebih dimanfaatkan sebagai ladang korupsi orang Jakarta yang memuakkan, mulai ada orang yang mengharapkan bahwa Indonesia akan benar-benar pensiun.
Terlepas dari motif di belakang harapan agar Indonesia pensiun, bangunan Indonesia sejak awal memang amat rapuh. Melalui konsepsi ‘bekas jajahan Hindia Belanda’, Indonesia hanya direkat oleh lem historis, spiritual maupun kebudayaan yang amat mudah meleleh. Lebih-lebih di tambah dengan upaya sengaja oleh penguasa, untuk memperlemah lem melalui tindakan korup. Dengan modal lem selemah ini, bukan tidak mungkin Indonesia akan benar-benar pensiun.
Cirinya, sebagaimana dikemukakan di awal, ada dua. Pertama, mulai banyak yang melihat iklan duka cita (baca: melihat pengalaman negara-negara almarhum seperti Yugoslavia dan Soviet bersatu). Kedua, dipermainkan oleh perilaku post power syndrome.
Yang pertama saya kira sudah jelas. Diskursus publik kita sudah ditandai oleh banyak kutipan tentang Yugoslavia dan Soviet sebelum disintegrasi. Pengalaman kita juga sudah mirip-mirip. Ada pasukan internasional yang masuk ke Tim-tim, ada isolasi perekonomian dari lembaga keuangan multi lateral, ada dukung mendukung tersembunyi dari negara adi kuasa, ada tetangga yang demikian takut sampai-sampai menjadi sombong tidak ketulungan.
Tentang post power syndrome, intinya hanya satu: sudah tidak duduk di kursi kekuasaan namun meminta semua orang memperlakukan dirinya sama dengan tatkala masih berkuasa. Atau, masih duduk di kursi kekuasaan, tetapi berharap duduk di situ selamanya. Bukankah semua perseteruan manajemen publik kita hanya berkisar tidak jauh dari sini?
1 comments:
kasihan ibu .... pertiwi pak, kami semua sudah lupa. Karena itu jadi anak durhaka... jangan2 ibu sudah mengutuk, makanya banyak anak-anaknya yang berhati bagai batu.
Post a Comment