Friday, November 14, 2008

Lukisan Indah Kebijaksanaan


Kompas, Sabtu, 15 November 2008
Oleh: Gede Prama


Terowongan gelap tidak berujung, mungkin itu metafora kehidupan zaman ini. Kekayaan kehidupan anak-anak biasanya harapannya akan masa depan. Dan, saat tua tidak sedikit yang membanggakan masa lalu.

Keadaannya mirip kucing yang mengejar bayangannya sendiri. Pada pagi hari (masa muda) bayangannya ada di barat dikejar dan tidak ketemu. Pada sore hari (umur tua) bayangannya ada di timur, lagi-lagi dikejar juga tidak ketemu. Sadar bahaya ini, ada yang memotong lingkaran kegelapan dengan meyakini kehidupan berawal pada masa sekarang dan berakhir pada masa sekarang.

Masa lalu telah berlalu, masa depan belum datang. Namun, melalui tindakan pada masa kini, keduanya bisa dibuat kian terang atau gelap. Sebutlah Ibu yang sudah meninggal, tetapi belum sempat dibahagiakan. Masa lalu membuat kehidupan kian suram jika masa kini diisi penyesalan, rasa bersalah, tidak bisa memaafkan diri sendiri. Sebaliknya ini bisa menjadi awal terang jika pengalaman tidak mengenakkan ini dijadikan titik awal untuk banyak membahagiakan orang.

Di Tibet, makhluk hidup diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi mother being. Terutama karena diyakini jika semua makhluk pernah menjadi Ibu kita pada masa lalu. Dengan demikian, bila rajin membahagiakan orang atau makhluk lain, kita juga sudah membahagiakan ibu. Selain itu, membahagiakan orang adalah salah satu persiapan terbaik menyongsong masa depan. Inilah transformasi spiritual, rasa bersalah akan masa lalu dan takut akan masa depan, diolah sekaligus dinikmati hari ini.

Guru sebagai cahaya

Inilah tanda-tanda manusia yang mulai terbimbing. Dalam setiap kejadian (menyenangkan maupun menjengkelkan) ada cahaya bimbingan. Di Timur, ia disebut munculnya guru simbolik. Tidak ada kebetulan, semua hanya bimbingan. Cuma, sebagian bisa dimengerti kini, sebagian dimengerti nanti.

Sayang, amat sedikit manusia yang lahir di zaman ini memiliki berkah spiritual berjumpa guru. Untuk itu, bagi orang-orang mengagumkan, seperti Jalalludin Rumi, perjumpaan dengan guru adalah berkah spiritual yang amat disyukuri. Segelintir sahabat yang berjumpa guru menyebutkan, hanya dengan mendengar namanya sebagian ketakutan akan neraka langsung sirna.

Karena itu, tidak sedikit pencari yang menghabiskan waktu, tenaga, dan dana untuk mencari guru. Idealnya, pencarian dimulai dengan berjumpa guru hidup. Lalu perintah-perintah guru hidup ini diperkaya guru dalam bentuk buku suci. Ia yang sudah memadukan guru hidup dengan buku suci lalu berjumpa guru simbolik dalam keseharian. Puncaknya tercapai saat ketiga guru ini menjelma menjadi guru dalam diri. Orang jenis ini seperti membawa lentera ke mana-mana. Tidak ada lagi kegelapan yang tersisa.

Kematian

Bagi mereka yang belum diberkahi perjumpaan dengan guru hidup, disarankan menjaga diri dengan etika. Praktik serius etika ini mungkin membimbing seseorang menjumpai guru simbolik. Di antara banyak guru simbolik, kematian adalah guru simbolik paling agung.

Perhatikan pendapat Dzogchen Ponlop dalam Mind beyond death: ”in order to die well, one must live well”. Agar matinya indah, belajarlah hidup secara indah (baca: hidup penuh cinta).


Maka, tidak sedikit guru meditasi yang menggunakan kematian sebagai sumber air perenungan yang tidak habis-habis. Pertama-tama meditator membayangkan tubuhnya mati. Badan kaku, membiru, orang-orang dekat menangis dan seterusnya.

Diterangi cahaya keikhlasan, kematian terlihat sebagai kembalinya unsur badan ke rumah aslinya. Unsur tanah kembali ke tanah, unsur air kembali ke air, unsur api kembali ke api, unsur udara kembali ke udara, unsur ruang kembali ke ruang. Dalam bahasa tetua Bali, kematian disebut mulih ke desa wayah (pulang ke rumah sesungguhnya).

Ia yang merenungkan kematian menjadi lebih tenang, santun, baik, dan rendah hati. Bukankah ketenangan dan kebajikan adalah teman paling berguna dalam kematian? Selain itu, kematian juga berubah wajah menjadi guru simbolik yang membimbing menapaki tangga kemuliaan. Mungkin ini sebabnya Santo Paulus mengemukakan l die every day.

Bila boleh jujur, tiap hari kita mengalami kematian. Seusai sarapan, kita berpisah dengan rasa enak (matinya rasa enak di mulut). Berangkat ke kantor, manusia berpisah dengan rasa nyaman di rumah (matinya rasa nyaman tinggal di rumah). Mengakhiri meditasi, meditator berpisah dengan keindahan konsentrasi (matinya kedamaian meditasi). Dalam wajahnya yang mendasar, kematian menakutkan karena ada perpisahan. Bila terbiasa dengan perpisahan sehari-hari, perpisahan melalui kematian akan menjadi suatu yang biasa.

Meminjam ajaran Tibetan book of the dead, wajah kematian terindah bertemu saat semua tahapan antara kematian dan kehidupan berikutnya (bardo) terlewati secara tenang-seimbang. Maka, disarankan untuk memperlakukan semua kejadian dalam hidup (dipuji-dicaci, sukses-gagal, meditasi sampai mimpi) sebagai bardo. Tidak ada apa- apa, yang menyenangkan maupun menakutkan hanya pancaran kesadaran murni. Sebagaimana dinyanyikan berulang-ulang oleh pertapa Milarepa: ”death is not a death for a yogi; it is a little enlightenment”. Dalam kehidupan pertapa, kematian muncul tanpa ditemani ketakutan, ia hanya sebuah pengalaman kecil pencerahan.

Inilah ujung terowongan kegelapan. Lalu muncul cahaya bimbingan. Kegagalan, ketakutan, bahkan kematian pun memancarkan sinar terang pengertian. Karena ketakutan akan kematian adalah ibu semua ketakutan, maka begitu ia lenyap, ketakutan lain pun sirna. Sebagai hasilnya, batin menjadi bersih dan jernih sempurna. Cirinya cara memandang, niat, kata-kata, perbuatan, sumber penghasilan, daya upaya, perhatian dan konsentrasi semua menjadi serba bijaksana. Kehidupan lalu berubah wajah menjadi lukisan indah kebijaksanaan. Gambarnya cinta, bingkainya keikhlasan.

Di Ubud Bali ada wanita bule yang tidak lagi muda tekun memelihara anjing-anjing liar tak bertuan. Kendati pengertiannya akan cinta tidak mendalam, dengan tekun ia melakukannya dalam waktu lama. Pengertian yang disertai keraguan kadang menjadi penghalang keikhlasan. Kehidupan wanita bule ini sedang menggoreskan tinta keindahan: cinta dan keikhlasan melukis kebijaksanaan.

Gede Prama Bekerja di Jakarta, tinggal di Desa Tajun Bali Utara