Friday, September 12, 2008

Mengolah Kebakaran Menjadi Keteduhan


Oleh: Gede Prama
Kompas, Sabtu, 13 September 2008

Teriakan ”kebakaran, kebakaran” merupakan ekspresi panik tiap manusia yang rumahnya terbakar.

Hal serupa juga terjadi dalam peradaban manusia. Di mana- mana terjadi kebakaran. Jangankan pengusaha dan politisi yang dari asalnya sudah dibakar uang dan kekuasaan, para intelektual, seniman, bahkan dalam beragama pun banyak manusia terbakar. Jangankan negara berkembang yang baru mengenal pendidikan dan demokrasi, AS yang duduk lama sebagai guru dunia mengalami ribuan kasus pelecehan agama setiap tahun.

Akibatnya, sejarah seperti bergerak dari satu kebakaran ke kebakaran lain. Bunda Theresa punya pendapat menarik, The problem of the world is that we draw too narrow line on our concept of family. Tidak saja dalam konsep keluarga manusia mengalami penyempitan dan kepicikan, nyaris dalam segala hal terjadi penyempitan dan kepicikan. Dulu, hubungan sepupu itu dekat. Kini, banyak orang yang bersaudara kandung pun menjadi jauh. Dulu, begitu mudah membuat keputusan untuk kepentingan bersama. Kini, yang sederhana pun dibikin rumit. Akibatnya, terlalu banyak titik api dalam kehidupan manusia.

Api menjadi air

Salah satu perlambang alam yang membawa kesejukan adalah air yang secara kimiawi dirumuskan, H20. Hidrogen adalah bahan yang mudah terbakar. 0ksigen adalah yang memungkinkan kebakaran terjadi. Uniknya, ketika dua bahan sama-sama dekat api ini tepat diramu, ia menjadi air yang sejuk, teduh, dan lembut.

Ini memberi inspirasi, lingkungan boleh penuh kebakaran, zaman boleh berputar putaran yang banyak apinya, tetapi bila semua diolah secara tepat, manusia bisa mengalami hidup penuh keteduhan, kesejukan. Perhatikan banyak manusia yang tekun berlatih di jalan spiritual (zikir, kontemplasi, yoga, meditasi, dan lain-lain) sebelum berlatih banyak yang hidupnya terbakar. Namun, bahan-bahan kehidupan yang membakar itu diolah dengan latihan spiritual, banyak yang hidupnya menjadi teduh, sejuk, dan lembut.


Pema Chodron dalam When Things Fall Apart adalah contoh indah. Setelah 20 tahun lebih sebagai ibu rumah tangga, tiba-tiba hidupnya terbakar perceraian. Kebakaran ini membawanya berkenalan dengan meditasi. Di pusat-pusat meditasi umumnya, tangga pertama adalah etika dan tata susila. Ketekunan latihan yang dibimbing etika menghantar seseorang mengalami konsentrasi (semadi). Ia yang sering mengalami konsentrasi, suatu saat dibukakan pintu sejuk kebijaksanaan. Dalam pengalaman Pema Chodron, tak saja hidupnya menjadi sejuk dan lembut, bahkan diakui sebagai salah satu meditation master.

Thich Nhat Hanh dalam retretnya pernah cerita sampah dan bunga. Manusia yang terbakar punya ciri sama: serakah mau bunga, mencampakkan sampah. Menerima teman membuang musuh. Teman ibarat bunga, musuh ibarat sampah. Bunga yang tidak terawat baik besok jadi sampah. Sampah (asal bisa merawatnya) akan menjadi bunga.

Cara terbaik mengolah sampah kehidupan menjadi bunga indah kehidupan adalah dengan menerapkan etika dan tata susila. Hentikan kejahatan, perbanyak kebajikan, murnikan pikiran. Tidak kebetulan jika kemudian kata sila dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang membuat seseorang menjadi sejuk dan lembut.

Tidak sedikit guru yang menyebut ini sebagai jantung spiritualitas: bersihkan batin dari segala kekotoran (keserakahan, kemarahan, kebencian), lalu lihat dan rasakan sendiri bagaimana pintu keteduhan terbuka.

Memberi itu menyejukkan

Menyusul berita perampokan disertai pembunuhan di Jawa Tengah, seorang guru di Mendut ditanya muridnya apakah beliau mengenal korban perampokan. Guru ini menjawab dengan lembut, ”Sakit fisik (sebagaimana dialami korban perampokan) menimbulkan rasa kasihan. Sakit mental (sebagai sebab seseorang merampok) menimbulkan kebencian. Rasa kasihan maupun kebencian, keduanya kekotoran batin. Pancarkan sinar kasih pada keduanya.” Inilah ciri manusia yang sudah bisa mengolah kebakaran menjadi keteduhan: tidak serakah memilih baik di atas buruk, lalu memancarkan sinar kasih kepada siapa saja.

Dalam pemahaman seperti ini, masalah akan datang, godaan juga berkunjung, tetapi yang penting adalah bagaimana mengolahnya. Thich Nhat Hanh mengajarkan, saat hidup penuh bunga (baca: kaya, dipuja), jangan lupa semua bunga akan jadi sampah. Bila hidup penuh sampah (baca: cacian, hujatan), ingatlah untuk mengolahnya menjadi bunga.

Di tangan manusia yang cermat, sampah diolah menjadi bunga. Tak setitik debu pun tidak berguna. Larry Rosenberg memberi judul karyanya Living in the light of death. Dalam batin jenis ini, kematian pun menjadi cahaya penerang perjalanan. Perhatikan kesimpulan Larry Rosenberg: ”The awakened mind is the mind that is intimate with all things”. Batin tercerahkan adalah batin yang bersahabat dengan semua, termasuk dengan kematian.

Seorang wartawati AS yang bertugas ke Israel berjumpa dengan orang yang berdoa menghadap tembok pada pagi-sore tanpa henti setiap hari. Saat ditanya sudah berapa lama berdoa seperti ini, ia menjawab lebih dari 25 tahun. Saat ditanya hasilnya, ia bergumam: ”ada yang berdoa saja dunia seperti ini, tidak terbayang wajah kehidupan bila tidak ada yang berdoa”. Inilah wajah lain batin yang sejuk: berdoa untuk keselamatan semua.

Sejumlah sahabat bertanya, ada apa di Bali sehingga mudah menimbulkan kedamaian. Sebagaimana diajarkan tetua di Bali, hidup adalah persembahan. Untuk itu, mengerti tidak mengerti, berbuah tidak berbuah, ribuan orang Bali melakukan persembahan setiap hari. Tidak hanya sesajen sebagai persembahan, bertani, menari, memukul gamelan, semua adalah persembahan.

Dalam klasifikasi sederhana, persembahan luar (outer offering) adalah sesajen. Persembahan dalam (inner offering) adalah pikiran, kata-kata, dan tindakan yang teduh. Persembahan terdalam (innermost offering) hanya boleh diceritakan di antara para guru. Yang boleh dibuka hanya batin jadi teduh. Charlotte Joko Beck dalam Nothing Special menyimpulkan: practice is giving. Memberikan itu menyejukkan. Itu sebabnya manusia berlatih berbahagia dalam memberikan.

Gede Prama Bekerja di Jakarta, Tinggal di Desa Tajun Bali Utara