Sunday, August 31, 2008

Manufactured Uncertainty



Ketika umat manusia memasuki milimium baru, tidak sedikit mata dan perhatian yang menatap cemas dengan ancaman Y2K. Dari negara maju sampai negara paling tidak berkembangpun, perhatian terhadap persoalan ini tidak kecil. Banyak sekali orang yang mengambil antisipasi berlebihan. Ada yang membeli diesel - karena tidak yakin listrik akan terus menyala, ada yang melakukan print out terhadap saldo di bank, ada yang amat takut terbang di pergantian milinium, ada yang mengharamkan penggunaan kartu kredit , ada saran untuk tidak menggunakan lift, ada yang mengungsi dari jalur penerbangan, sampai dengan menimbun bahan bakar dan bahan makanan secukupnya. Namun, begitu milinium berganti tanpa gangguan terlalu berarti, banyak orang yang merasa tertipu.
Ini sebenarnya hanya salah satu contoh dari apa yang pernah disebut Anthony Giddens dengan manufactured uncertainty. Semacam ketidakpastian yang hadir sebagai akibat dari teknologi buatan manusia sendiri. Kalau boleh jujur, deretan ketidakpastian ini masih bisa ditambah secara amat panjang. Gejala pemanasan bumi, rusaknya lapisan ozon, polusi, hama dan virus yang muncul dari perkembangan teknologi pertanian dan kedokteran, ancaman musnahnya bumi oleh nuklir, dan sederetan bukti lainnya.
Krisis ekonomi Asia yang berawal di tahun 1997, sebenarnya bisa juga dimasukkan dalam hal ini. Dengan semakin majunya e-economy, negara manapun dengan cadangan devisa berapapun tidak berdaya dengan ancaman para spekulan. Hanya dengan beberapa hentakan transaksi di atas key board komputer, cadangan devisa negara manapun bisa tumbang.

Saya telah lama pernah menulis, kehadiran teknologi tidak saja bersifat enabling, namun juga constraining. Secara lebih khusus yang berkaitan dengan teknologi informasi, kita terlalu terpaku pada fungsi automating dan informating. Padahal, dalam dirinya juga terbawa fungsi reformatting. Atau, teknologi informasi bisa memformat ulang cara kita hidup dan bekerja. Tanpa persiapan memadai, kita akan “dibuat” oleh teknologi ciptaan kita sendiri. Teknolog memang tidak pernah mempersiapkan kita secara memadai, bagaimana menghindarkan diri agar tidak diformat ulang oleh teknologi. Yang jelas, setuju tidak setuju, suka tidak suka, teknologi telah dan sedang mengarahkan kita menuju manufactured uncertainty.

Makanya, dalam Beyond Left And Right Anthony Giddens pernah menulis : “the world we live in today is not one subject to tight human mastery“. Dalam karyanya yang lain (The Consequences of Modernity), Giddens bahkan mengibaratkan dunia tempat kita hidup ini seperti truk besar sarat muatan yang meluncur tanpa rem. Para penganut teori masyarakat industrial - di mana banyak pakar manajemen meminjam pijakan - memang sedang dibuat runtuh oleh Anthony Giddens. Oleh karena itulah, bisa dimaklumi kalau manajemen sudah mulai kehilangan kepercayaan dirinya dalam menjelaskan perkembangan mutahir.



Kalau ketidakpastian yang hadir dari alam, atau ketidakpastian akibat kesalahan dan kekhilafan manusia, sudah lama kita mempesiapkan diri. Namun, kalau alat dan teknologi yang kita rangkul dan manfaatkan setiap hari, ternyata sedang “membuat” kita tanpa kita sadari, bukankah kita yang menjadi “alat” dan teknologi menjadi pengendalinya? Tidakkah ini berarti, manajemen sedang dimanajemeni oleh teknologi? Adakah gunanya kalau kita belajar manajemen yang telah dimanajemeni?

Mau bukti? Ada orang yang belum bisa tidur nyenyak kalau belum berselancar di internet di hari itu. Ada orang yang merasa seperti masuk hutan lebat yang tidak terjangkau bila tidak membawa telepon genggam. Ada orang yang menggadaikan kepalanya pada komputer, terutama dengan menyebut tidak ada masa depan di luar internet nantinya. Ada banyak konsep manajemen yang tergagap-gagap menghadapi perkembangan teknologi. Dan masih banyak lagi yang lain.

Digabung menjadi satu, tanpa persiapan memadai, kepala manusia memang bisa “dibuat balik” oleh teknologi. Menghindar dan menakuti teknologi, tentu saja bukan sikap yang tepat dalam hal ini. Namun, membiarkan kepala digadai teknologi, lebih tidak tepat lagi.

Di titik inilah, kita memerlukan gerakan undigital mind. Sebentuk mind yang senantiasa berada di atas teknologi. Kekaguman - apa lagi pemujaan - yang berlebihan terhadap teknologi, atau penempatan teknologi di atas daya imajinasi dan inovasi manusia, adalah serangkaian hal yang perlu diwaspadai.

Di dunia ideas management, akan amat produktif kalau kita belajar berfikir tanpa teknologi, mencari ide yang menghujat teknologi, menemukan bentuk kemajuan tanpa kendaraan teknologi, atau masuk dalam belantara kehidupan tanpa kehadiran teknologi. Biarkan kepala bekerja optimal dengan bantuan teknologi secara amat minimal. Dan begitu memasuki dunia praktek yang nyata, tempat teknologi tidak lagi berdiri pongah sebagai tukang dikte. Melainkan, sebagai sahabat sejajar, yang bersifat bisa sebagai pembantu, bisa juga sebagai orang asing yang tidak perlu dihiraukan.

Tulisan ini dibuat atas bantuan teknologi, saya berpresentasi menggunakan teknologi, bekerja juga dibantu teknologi, namun saya menolak menempatkan teknologi di atas daya imajinasi dan inovasi. Boleh saja ada futurolog yang menganggap tidak ada masa depan tanpa teknologi, tetapi membiarkan diri diproduksi oleh teknologi, sama saja dengan bunuh diri tanpa kita sadari. Kalau ada orang yang amat concern dengan kegiatan digitalizing our mind, saya malah mengundang untuk undigitalizing our mind. Saya menolak untuk menjadi babunya teknologi. Sebab, hanya memperberat truk kehidupan yang sudah terlalu sarat beban, dan terlanjur tidak memiliki rem.


0 comments: