Bayangkan seorang pemuda bujangan yang bertemu gadis cantik nan menawan. Bila pemuda ini ingin tahu status gadis terakhir, pertanyaan apa yang harus diajukan, agar dua tujuan - tahu statusnya, dan ada simpati yang muncul - bisa dicapai melalui satu pertanyaan saja?
Saya sering mengajukan pertanyaan ini di depan ribuan pemimpin. Terutama, untuk mengetahui, seberapa cermat orang menggunakan pertanyaan sebagai sarana ampuh kepemimpinan.
Pemimpin yang belum terlalu biasa menggunakan pertanyaan sebagai sarana kepemimpinan, sering memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang bisa mengudang rasa tersinggung orang lain. Misalnya, ‘mbak, apa sudah punya pacar?’. Atau, ‘mbak, sudah menikah belum?’.
Kualitas pertanyaan, akan lain sekali jika seorang pemimpin sudah teramat cerdik menggunakan pertanyaan. Saya pernah bertemu seorang pemimpin yang pandai sekali menyiasati situasi di atas. Lengkap dengan ekspresi senyumnya yang bersahabat, ia melempar pertanyaan : ‘maaf mbak, suaminya lagi sibuk ya, koq jalan sendiri?’.
Apa yang mau saya ceritakan melalui ilustrasi di atas, melalui kecermatan bertanya, seseorang bisa memimpin, dan pada saat yang sama, pihak yang dipimpin tidak merasa dirinya sedang dipimpin. Lebih dari itu, sering terjadi, orang bahkan melaksanakan kehendak pemimpin dengan sepenunya, semata-mata karena sang pemimpin cermat sekali bertanya.
Lebih-lebih di zaman yang sudah sangat jenuh dengan segala bentuk pernyataan seperti pidato, pengarahan, petunjuk, dan perintah. Jangankan mereka yang berpendidikan tinggi. Kalangan bawahpun, tidak sedikit yang alergi terhadap pidato. Buktinya, begitu ada pidato di televisi, tidak sedikit yang langsung mematikan tv-nya.
Dunia penjualan pada umumnya, juga memiliki tuntutan yang tinggi akan kecermatan bertanya. Hampir tidak ada calon konsumen yang mau digurui. Namun, yang mau didengarkan ceritanya ada banyak sekali.
Untuk itulah, keberhasilan penjual sangat ditentukan oleh pertanyaan yang diajukan. Saya sering kali menilai kualitas calon pelamar dari pertanyaan yang ia ajukan. Pelamar yang bertanya ‘ceritakan ke saya, bagaimana prospek karir di tempat ini?’, akan lain sekali penilaiannya dengan mereka yang bertanya ‘kalau sudah diterima, mungkin tidak saya dipecat?’.
Seorang penjual polis asuransi jiwa, akan lain sekali ceritanya bila ia mengawali percakapan dengan pertanyaan : ‘pernahkah terfikir sebelumnya, tentang nasib sebuah keluarga yang ditinggal mati orang tuanya?’.
Digabung menjadi satu, pertanyaan, bagi saya, tidak sekadar alat pengumpul informasi. Jauh lebih penting dari itu, ia adalah cermin kualitas kepemimpinan seseorang. Dari segi tertentu, kepribadian seseorang bisa terlihat dari pertanyaan yang diajukan. Dan yang lebih penting lagi, peradaban dunia dirubah oleh kumpulan manusia yang berani bertanya.
Makanya, saya tidak heran bila Drucker pernah menulis : asking the right question is far more important than giving the dumb answer.
Sayangnya, saya tidak pernah bertemu satu sekolahpun, atau satu kursuspun yang khusus mendalami pertanyaan. Hampir semuanya sangat fasih menghafal pernyataan yang diberi judul teori, kiat, siasat, rumus, formula dan mahluk sejenis.
Belajar dari ini semua, saya mendidik diri untuk cermat bertanya. Dan sering diselamatkan oleh kecermatan terakhir.
Meminjam kerangka William Bethel dalam Questions That Make The Sales, ada beberapa jenis pertanyaan. Dari pertanyaan yang berakhir terbuka, pertanyaan reflektif, pertanyaan direktif, pertanyaan pilihan ganda dan pertanyaan tertutup. Masing-masing ada gunanya di tempat dan waktu yang berbeda.
Di tahap-tahap pengenalan persoalan, atau tahap memperkenalkan produk - menurut saya, pertanyaan terbuka akan sangat membantu. Coba bayangkan seorang calon pembeli yang menolak Anda. Pertanyaan dalam bentuk ‘bila uang bukan masalah bagi Anda, berminatkah Anda terhadap produk ini?’, tentu saja akan sangat membantu. Secara lebih khusus, untuk mengetahui secara lebih tajam alasan yang ada di balik penolakan pembelian.
Pertanyaan reflektif, sering saya gunakan untuk merubah orang lain. Atau, menginternalisasikan sejumlah ide. Sebagai konsultan manajemen SDM, saya sering bertanya begini. Berapa banyak uang yang dibuang percuma melalui manusia yang tidak tertata rapi?
Pertanyaan pilihan ganda lain lagi. Saya sering menggunakannya untuk kepentingan pembandingan yang kontras. Tatkala menemui orang yang enggan berubah, saya sering bertanya : ‘berubah sekarang, atau dipaksa berubah setelah keadaan sudah menyedihkan?’.
Pertanyaan tertutup yang membutuhkan jawaban ya atau tidak, digunakan untuk mempersempit pilihan. Yang paling menakutkan adalah jawaban tidak. Bethel memiliki sebuah contoh menarik berhadapan dengan pelanggan yang hanya menjawab tidak.
Di suatu kesempatan, seorang Ibu kaya yang biasa dengan jawaban tidak dipengaruhi dengan pertanyaan cermat seperti ini. Apakah kapal pesiar terlalu mahal bagi Anda? Apakah suami Anda keberatan jika Anda membeli satu? Apakah Anda ingin membayar melalui kartu kredit? Keberatankah Anda jika saya kirim hari ini? Jika semua jawabannya adalah ‘tidak’, tentu saja sukses sudah ada di tangan Anda.
Tentu saja semua ini harus dibungkus dengan bahasa tubuh yang memadai. Dan menyangkut bahasa terakhir, jam terbang sangat menentukan. Saya banyak belajar dari ribuan teriakan ‘goblok’ yang diarahkan ke saya.
Bagi penulis manapun, adalah sebuah kebahagiaan tersendiri jika mengetahui, bahwa tulisannya dibaca orang. Kebahagiaan ini juga yang menghinggapi saya, ketika Direktur Agensi BDNI Life - ketika mengundang saya sebagai nara sumber bagi para agennya -mengemukakan bahwa kumpulan tulisan saya di media ini, menjadi menu ‘wajib’ para agen di perusahaan asuransi ini.
Dengan tetap waspada akan bahayanya pujian, ketika mengawali presentasi di depan agen asuransi ini, saya sempat terpesona oleh sebuah kegiatan yang selalu dilakukan mengawali pertemuan.
Pembawa acara, ketika pertemuan baru dimulai, meminta seluruh peserta menyalami semua orang di dekat mereka, dan mengatakan ‘Andalah orang paling ganteng/cantik di dunia‘.
Sebagai sebuah pujian, ini sebenarnya biasa-biasa saja. Namun, ia mengingatkan saya pada sebuah buku menarik dengan judul The Ten Commandements of Business and How to Break Them. Salah satu hukum bisnis yang mesti dilanggar adalah hukum ‘pelanggan adalah raja’. Sebagai gantinya, sebelum meminta karyawan memperlakukan pelanggan sebagai raja, jauh lebih penting memperlakukan karyawan sebagai raja terlebih dahulu.
Nah, kegiatan menyalami karyawan dan menyebut mereka paling ganteng/cantik, mendatangkan mereka dari jauh untuk diberi pencerahan, dipersenjatai pengetahuan tentang produk dan cara menjualnya, diberi semangat dan motivasi, diperhatikan kesejahteraan dan masa depannya, adalah serangkaian kegiatan yang menempatkan karyawan sebagai raja.
Terus terang, di masa yang lebih parah dari sekadar krisis ini, saya terkejut mendengar ada perusahaan asuransi yang omsetnya meningkat melebihi angka tiga puluh persen. Masih bisa menyewa hotel berbintang sebagai tempat pertemuan dan menginap. Mampu membayar pembicara publik sebagai bahan pencerahan. Dan yang paling penting, di tengah maraknya gelombang PHK, masih bisa menciptakan ‘bintang-bintang’ pencetak penghasilan dengan delapan angka perbulannya !.
Dalam perspektif pengembangan organisasi, hanya organisasi perusahaan yang memiliki mata rantai kepuasan yang amat kuatlah yang bisa mencapai kinerja tinggi di zaman krisis.
Apa yang saya sebut dengan mata rantai kepuasan, adalah kepuasan karyawan sebagai syarat kepuasan pelanggan.
Sebagai konsultan manajemen yang pernah masuk ke berbagai perusahaan, banyak sekali perusahaan yang amat dan teramat lemah pada mata rantai kepuasan. Mau bukti? Masuklah ke kantor-kantor bank, perhatikan pelayanan publik dari telepon, air sampai dengan taksi, lihat bagaimana rakyat (baca : pelanggan) diperlakukan oleh penguasa. Semua ini memberi satu warna organisai yang sama : meminta karyawan memperlakukan pelanggan sebagai raja, tanpa pernah dihargai sedikit sekalipun.
Sebagai bagian dari upaya penataan SDM, saya pernah melakukan penghitungan terhadap indeks kepuasan karyawan. Hampir semuanya menunjukkan indeks angka yang memprihatinkan. Lebih-lebih di bagian belakang seperti operasi, keuangan, akuntansi, gudang, perpustakaan, dan sejenis.
Bila benar keyakinan sejumlah pakar di negara maju, bahwa modal intelektual - bukan modal uang, teknologi dan alam - yang menentukan kemajuan organisasi kini dan nanti, bisa dibayangkan bagaimana daya saing kita sebagai bangsa bila mata rantai kepuasannya masih hancur lebur.
Sebagaimana pernah ditulis Dennis G. McCarthy dalam The Loyalty Link, Xerox pernah meneliti 500.000 pelanggan di tahun 1991. Pada skala satu hingga lima, Xerox menemukan bahwa pelanggan yang benar-benar puas (skala lima), kemungkinan untuk membeli kembali enam kali lebih besar dibandingkan dengan pelanggan yang puas (skala empat). Sedangkan untuk pelanggan dengan skala empat, hanya sedikit lebih besar kemungkinan membelinya dibandingkan dengan pelanggan puas (skala tiga).
Anda bisa bayangkan, bagaimana perilaku pelanggan yang tidak puas, atau yang ditipu.
Sayang kita tidak memiliki angka indeks kepuasan konsumen sebagaimana di Amerika. Namun yang jelas, kalau Anda rajin membaca keluhan di surat pembaca media cetak, yang namanya konsumen di negeri ini masih menjadi mahluk mainan yang sering menderita.
Daftar konsumen yang kena tipu, kecewa, dikadalin, ditodong, atau malah ditelantarkan masih demikian panjang.
Kembali ke cerita awal tentang mata rantai kepuasan, sebab dari parahnya sektor pelayanan kita memang cukup banyak. Namun, bagaimana karyawan diperlakukan, memberi warna yang sangat dominan terhadap persoalan besar yang tidak selesai-selesai ini.
Anda bisa bayangkan, bagaimana pegawai negeri bisa memberikan pelayanan yang memadai jika gajinya di bawah UMR. Lebih-lebih menyaksikan gaya hidup pimpinannya yang jauh dari kapasitas gaji formalnya. Bagaimana seorang satpam bisa menghormati tamu, jika bossnya setiap lewat sangat pelit tersenyum dan mengucapkan selamat pagi. Bagaimana bagian customer service bisa memberikan pelayanan prima, jika belum apa-apa sudah dijegal bagian pendukung yang sarat akan kebutuhan untuk diperhatikan.
Dirangkum menjadi satu, kita memang memerlukan perbaikan mendasar dalam mata rantai kepuasan.
Mengingat kepuasan pelanggan bersifat eksternal, dan merupakan hasil ikutan dari kepuasan karyawan, tidak ada salahnya memulai perbaikan mendasar di sektor kepuasan karyawan.
Saya melakukannya dengan menghitung employee satisfaction index secara rutin. Membandingkannya antarbagian. Malakukan rotasi dalam rangka menjaga keseimbangan antara pusat kepuasan dan pusat ketidakpuasan. Bagaimana dengan Anda?
Membaca argumen Brian Arthur dari Institut Santa Fe - sebagaimana dikutip Thomas A Stewart dalam buku Intelectual Capital - yang dibangun di atas tumpukan data yang meyakinkan, mengingatkan saya kembali akan pentingnya organisasi dan juga ekonomi berbasiskan pengetahuan.
Coba cermati kesimpulan Arthur : ‘Economy that are resources based are still subject to diminishing return. The parts of the economy that are knowledge based are largely subject to increasing returns‘.
Kesimpulan terakhir ini sebenarnya tidak hanya berlaku di Amerika sana. Namun juga membumi di sini. Indikatornya sederhana saja. Coba perhatikan kecenderungan nilai tukar barang-barang hasil pertanian dari pedesaan, dibandingkan barang berbasiskan pengetahuan dari perkotaan. Angkanya semakin menyedihkan dan menyedihkan. Ketika saya masih remaja dulu, sebuah mobil Chevrolet Luv bisa dibeli hanya dengan beberapa karung cengkeh. Sekarang, berapa karung cengkeh yang dibutuhkan untuk membeli mobil yang sama?
Di dunia korporasi juga sama. Lihat perusahaan-perusahaan yang prestasinya menjulang. Sebut saja Microsoft, General Electric, IBM atau perusahaan sejenis. Hampir semuanya maju pesat bertumpu pada intensitas penggunaan pengetahuan.
Dalam persaingan antarnegara juga setali tiga uang. Amerika Serikat yang dikenal sebagai pelopor pembentuk masa depan, menghabiskan uang yang sangat besar untuk mendalami teknologi dan pengetahuan masa depan. Anggaran litbangnya melimpah. Sektor-sektor yang dijadikan konsentrasi hampir semuanya bersifat knowledge intensive.
Dalam persaingan antar pekerja juga tidak banyak berbeda. Semakin intensif sebuah profesi menggunakan pengetahuan, semakin besar kemungkinan diberi kompensasi yang lebih tinggi. Sebagai contoh, sebuah tabloid pernah membuka rahasia gaji konsultan asing yang membantu BPPN (badan penyehatan perbankan nasional). Awalnya, saya tidak hanya terkejut. Malah, tidak pernah membayangkan sebuah negara yang dililit krisis total bisa menggaji konsultan dengan gaji yang demikian besar.
Lebih dari itu, coba cermati lagi beberapa fenomena kehidupan. Perhatikan knowledge content dari barang dan jasa yang kita konsumsi. Bukankah knowledge content- nya semakin besar dari hari ke hari?. James Brian Quinn pernah menyebutkan, tiga perempat dari seluruh nilai tambah masyarakat bersumber dari pengetahuan.
Saya memang tidak sepenuhnya setuju dengan klasifikasi ala Alvin Toffler. Seolah-olah setelah pertanian, hanya ada industri. Setelah industri hanya ada informasi. Sejauh perut masih mau makan, pertanian akan tetap ada. Semasih kita hidup didukung peralatan, industrialisasi akan senantiasa eksis. Demikian juga dengan informasi dan pengetahuan yang semakin perlu di abad jaringan ini.
Akan tetapi, di bidang manapun, tuntutan akan penerapan pengetahuan tidak bisa ditunda. Dalam pasar buah-buahan, kita sudah lama tertinggal oleh tetangga kita yang kekayaan alamnya tidak senilai dengan sebuah pulau kita sekalipun. Dengan tanah persawahan yang demikian melimpah, telah lama kita mengimport beras. Di dunia industri, telah menjadi rahasia umum kalau Indonesia dijadikan ‘tong sampah’-nya Singapura. Banyak hal yang tidak laku di negeri pulau kecil ini, dibawa lari ke sini dan laku. Di sektor informasi dan pengetahuan apa lagi.
Digabung menjadi satu, menyongsong masa depan bagi siapapun - bangsa, perusahaan dan juga pekerja - tidak ada tawar menawar dalam intensitas penerapan pengetahuan.
Oleh karena itulah, membangun organisasi berbasiskan pengetahuan, menjadi kebutuhan semua pihak. Sayangnya, Thomas A. Stewart yang menjadi pionir di bidang intellectual capital tidak memberikan jawaban memuaskan dalam hal ini.
Klasifikasi Stewart tentang human capital, structural capital dan customer capital memang sedikit membantu, tetapi misteri organisasi berbasiskan pengetahuan tetap masih tersembunyi.
Dengan halaman yang terbatas, saya mencoba membuka sebagian kecil saja dari misteri di atas. Fundamennya sebenarnya sederhana saja. Mulailah mengklasifikasikan manusia dengan cara yang bisa memperlihatkan intensitas pengetahuannya.
Sebagai konsultan, saya mengembangkan klasifikasi dengan lima tingkatan : tidak tahu, tahu, trampil, sistimatis dan kreatif.
Bermodalkan lima tingkatan ini, kita perlu melakukan evaluasi ulang terhadap seluruh manusia yang ada, sekaligus memagari pintu depan recruitment dengan cara yang sama. Demikian juga dengan pengembangan, penggajian dan pemeliharaan manusia. Pengembangan sebagai contoh, difokuskan untuk mentransformasikan manusia dari sekadar trampil menuju kreatif. Siapa yang dipelihara, hanyalah manusia sistimatis dan kreatif. Atau mereka yang berpotensi ke arah itu. Demikian juga dengan penggajian.
Kriteria dan alat ukurnya memang teramat panjang untuk diungkapkan di sini. Namun, inilah saatnya untuk mulai meletakkan pilar-pilar organisasi hanya ke orang-orang yang sistimatis dan kreatif. Mereka yang sekadar trampil, apalagi hanya tahu, lebih-lebih tidak tahu, tidak punya pilihan lain selain segera merubah diri secepatnya. Kecuali, siap dibuat minggir oleh kecenderungan dan perkembangan.
Dalam setting organisasi seperti ini, organisasi tidak hanya menjadi a place of production, tetapi juga a place of thinking. Bila Anda setuju dengan saya akan faedah fantastis kreativitas, organisasi juga a place for fun.
Di sebuah seminar yang diadakan Asosiasi Manajer Indonesia cabang Bandung akhir Januari 1999, seorang peserta bertanya ke saya tentang feng Shui. ‘Adakah keyakinan ini benar, atau hanya sugesti belaka?’, demikianlah kira-kira bunyi pertanyaannya.
Terus terang, ini memang bukan bidang kajian saya. Namun, setelah mendengar dan membaca sejumlah cerita tentang feng shui, saya menemukan dua jenis penjelasan. Pertama, sebagian teori feng Shui memiliki akar rasionalitas. Contohnya, rumah tidak boleh tusuk sate tentu saja bisa dimaklumi. Sebab, kalau ada mobil yang remnya blong, maka celakalah akibatnya. Kedua, kendati sebagian teori feng Shui kelihatannya tidak masuk akal, namun karena dipercayai dan diyakini banyak orang maka ia menjadi collective beliefs. Apapun yang diyakini - apalagi secara berlebihan - bisa menjadi magnet yang bisa membuat wajah kehidupan persis seperti yang diyakini.
Digabung menjadi satu, berguna tidaknya feng shui bagi seseorang, amat tergantung pada kemampuan melihat rasionalitas yang ada di baliknya, serta sudah tentu keyakinan yang menyertainya.
Lepas dari soal feng shui, keberuntungan adalah sebuah bidang kajian yang menarik minat banyak sekali orang. Dari orang terkenal sampai orang biasa ingin mengetahui keberuntungan dirinya.
Lebih-lebih di zaman krisis yang super langka akan kemajuan. Bila saja ada orang yang bisa merubah keberuntungan - dengan garansi uang kembali - pasti akan laris manis dicari orang.
Di forum seminar, dalam proses konsultasi, maupun di lapangan golf, saya termasuk orang yang sering ditanya urusan seperti ini. Kendatipun sampai sekarang masih bingung, kenapa mereka bertanya ke saya. Mereka tahu, saya hanya seorang pembicara publik dan konsultan manajemen. Seorang pengusaha yang baru saja kenal beberapa menit, pernah mengajak saya berbisnis, hanya karena bentuk hidung dan telinga - yang menurut dia penuh keberuntungan.
Anda boleh percaya, boleh juga tidak. Namun, kalau ada ramalan positif tentang diri saya, saya akan mempercayainya. Sebaliknya, kalau negatif saya akan melupakannya. Sebab, saya tidak mau mensugesti diri dengan hal-hal negatif. Sebagai hasilnya, saya memang bukan orang kaya secara materi, tetapi saya yakin sudah mengucapkan terimakasih ke Tuhan dalam frekuensi yang lebih besar dibandingkan kebanyakan orang.
Memakan makanan apa saja, melihat ikan koi di depan rumah, mendengar suara gemercik air sungai di belakang rumah, melihat mimik putera-puteri saya ketika mengucapkan thanks a lot daddy, mendengar suara isteri di telepon kala di luar kota, luput dari kecelakaan, apa lagi diberi rezeki, lebih dari cukup bagi saya untuk berucap secara otomatis : thanks God !.
Sahabat saya Ignas G. Sidik dari Prasetiya Mulya pernah bertutur : ‘Tuhan hanya bisa mengangguk !’. Bila Anda bilang uang masih kurang, mobilnya kurang mewah, isteri terlalu cerewet, atau rumah sudah cukup layak, Tuhan-pun mengiyakannya.
Dibandingkan diiyakan untuk urusan yang bikin susah, saya memilih diiyakan untuk persoalan yang menimbulkan rasa senang. Makanya, ke banyak rekan saya sering berucap : the only certain thing in life is only fun. Dan, kita bisa merekayasa fun tadi dalam kehidupan. Persoalannya hanya satu : di mana kita meletakkan sudut pandang kita. Itu saja, tidak lebih tidak kurang.
Saya pernah bertemu dengan seorang yang berumur 70 tahun lebih. Namun, masih tampak sehat, awet muda dan mukanya sering berseri-seri. Di suatu pagi menjelang sarapan, saya tanya resep hidupnya. Ternyata amat sederhana : katakan cukup pada Tuhan !. ‘Lihat saja‘, demikian tuturnya sambil mengambil makanan, ’setiap pagi saya hanya butuh semangkok bubur dan segelas air putih, menjelang tidur malam makan dua buah pisang serta segelas jus, untuk itu tidak diperlukan uang dalam jumlah yang teramat banyak’. Luar biasa !
Di kesempatan lain, saya pernah bertemu seorang ibu dengan umur menjelang 70, yang menurut ukuran saya, hidupnya banyak kalah dan dikalahkan suaminya. Ketika saya tanya, kenapa justru suaminya yang lebih banyak ke dokter dan masuk rumah sakit, ia hanya berucap sederhana : ‘saat kita memberi, kita justru menerima dalam jumlah yang jauh lebih banyak‘. Mengagumkan sekali !
Apa yang mau saya ceritakan melalui pengalaman dua tokoh pujaan ini, ditambah dengan cerita awal tentang feng shui, beserta teori Tuhan yang hanya bisa mengangguk, rupanya rekayasa tidak menjadi monopoli kaum insinyur. Pakar-pakar kehidupan seperti Andapun bisa melakukan rekayasa keberuntungan hidup.
Feng shui merekayasa keberuntungan melaui peningkatan keyakinan dengan cara penataan rumah. Ignas G. Sidik sahabat saya merekayasa keberuntungannya dengan meyakini Tuhan selalu mengangguk. Bapak Tua tadi merekayasanya dengan mengatakan cukup kepada Tuhan. Ibu berbahagia di atas merekayasanya dengan kegiatan memberi.
Seorang rekan secara bercanda pernah menyebutkan bahwa wanita yang memiliki tahi lalat di mukanya pasti beruntung. Ketika saya tanya balik kenapa, ia menjawab sambil tertawa : ‘untung tahi lalat, kalau tahi kebo habis mukanya tertutup‘.
Terlepas dari semua ini, saya menghormati teori feng shui, keyakinan cukup, Tuhan mengangguk dan teori memberi. Melengkapi perbendaharaan Anda akan ilmu rekayasa keberuntungan hidup, sebuah pepatah Zen pernah mengatakan : ‘berhasil mengatasi baik dan buruk, kalah dan menang, adalah keberuntungan sejati‘.
Di sejumlah daerah, ada orang yang mencari hari terbaik untuk melakukan berbagai kegiatan. Ada hari baik untuk menikah. Hari baik untuk bercocok tanam, membangun rumah dan masih banyak lagi yang lain. Sayangnya, saya tidak pernah bertemu - kendati sudah tanya sana sini - ada hari terbaik untuk menjalani hidup dan kehidupan.
Saya punya seorang rekan yang teramat jarang memiliki rasa senang. Ketika di Jakarta, dia fikir di Bali lebih enak. Setiap kali bangun di pagi hari, ia selalu berharap ada mukjizat di hari itu. Hampir setiap hari yang ia jalani, diisi penuh dengan harapan : besok baru datang kebahagiaan.
Sebagai hasilnya, tubuhnya banyak sekali dimakan oleh fikirannya. Penyakit sering datang berkunjung. Stress apa lagi, ia datang tanpa pernah mengenal tahu diri.
Setahun lebih setelah krisis melanda republik ini, saya menemukan semakin banyak manusia yang mirip dengan rekan di atas. Tatapan mata kosong. Penuh harap akan masa depan. Dan, tidak melihat satu titik cahaya terangpun di hari ini.
Sebagaimana saya tulis di buku saya berjudul Sukses Berdasarkan Prinsip Sungai, dalam bahasa Inggris masa lalu di sebut past - telah lewat. Masa depan diberi nama future - belum jelas. Dan masa sekarang diberi judul present, alias hadiah. Bila diandaikan dengan uang, masa lalu adalah cek yang sudah kadaluwarsa. Masa depan, mirip dengan cek dengan tanggal yang akan datang. Satu-satunya uang tunai yang tersedia adalah hari ini. Ia adalah hadiah yang diberikan Tuhan ke kita.
Bayangkan jika Anda memberi hadiah ke orang lain. Kemudian,ia mencacampakkan hadiah tersebut di hadapan Anda. Nah, orang-orang yang tidak menghargai hari ini, setali tiga uang dengan manusia yang mencampakkan hadiah di depan mata pemberi hadiah.
Sebuah pepatah pernah menyatakan : ‘kita tidak pernah melewati sungai yang sama dua kali’. Ini benar, sebab tiap detik air sungai berganti. Demikian juga dengan waktu, tiap detik yang lewat tidak akan pernah bisa terulang kembali.
Karena tidak bisa diulang lagi, satu-satunya pilihan yang tersedia buat kita hanya satu : menikmatinya !. Ketika artikel ini sedang dibuat, saya sedang mendengar bunyi hujan yang jatuh menimpa atap rumah. Burung gereja duduk bertengger di kabel telepon saling mengasihi dengan yang lain. Air sungai di belakang rumah mendekati penuh. Bunga teratai di halaman rumah sedang mengembang. Saya mencoba membuat rangkaian yang bisa menjadikan detik itu nikmat. Kombinasi antara suara hujan, cicit burung gereja serta gemercik air di sungai, merajut sebuah kesejukan hidup yang memaksa saya berucap lirih : terimakasih Tuhan.
Secara materi, memang ada banyak manusia yang lebih kaya dibandingkan dengan saya. Mobil tetangga lebih bagus. Sebagian rumah mereka lebih mewah. Namun, rajutan kehidupan yang menempatkan suara hujan, cicit burung dan gemercik air sungai sebagai sebuah kesejukan, boleh jadi, hanya milik saya seorang diri.
Ketika kejenuhan datang berkunjung, saya menyiasatinya dengan mengobrol kecil bersama satpam, tukang kebun, atau malah pergi ke rumah sakit serta melewati kuburan. Salah satu alasan kenapa saya tinggal di Bintaro Jaya, karena setiap datang dan pergi harus melewati kuburan Tanah Kusir. Dan, tidak ada cahaya pantulan refleksi kehidupan yang lebih besar dibandingkan kuburan.
Sejumlah rekan yang mau berkunjung ke rumah mengeluh dengan kemacetan sebelum memasuki Bintaro. Bagi mereka, kemacetan adalah salah satu bentuk neraka. Kendati kadang dibuat stres olehnya, saya belajar untuk menempatkan kemacetan sebagai kursus kesabaran yang paling efektif. Dan, ternyata memang demikianlah adanya.
Kembali ke cerita awal tentang hari terbaik dalam kehidupan, Anda memang boleh punya pilihan hari yang lain. Namun, bagi saya karena hari ini adalah satu-satunya hari yang paling riil dalam kehidupan, maka inilah hari terbaik saya dalam kehidupan. Baik untuk dinikmati, untuk digunakan sebagai turning point perbaikan, tempat menabung bagi masa depan, menyayangi anak isteri, atau mulai mengumpulkan teman baik sebanyak-banyaknya.
Mirip dengan berada di tengah terowongan yang gelap gulita. Dibandingkan meratapi keputusan kenapa saya bisa sampai di sini. Atau berharap besok akan ada mukjizat bahwa terowongan penuh dengan sinar, lebih baik berhenti sejenak, melihat kiri kanan barangkali ada yang bisa dinikmati, kemudian baru berfikir bagaimana keluar dari sini.
Sayangnya, ada banyak sekali rekan yang pusing, stres bahkan ada yang sakit dibuat oleh ‘gelapnya terowongan’ kehidupan di masa krisis. Coba perhatikan alam sekitar Anda. Dari orang yang berjalan, suara yang Anda dengar, sampai bau yang masuk lewat hidung. Dengan sedikit ketrampilan merajut, hari ini bisa menjadi hari terbaik dalam kehidupan Anda.
Anda yang terkena PHK, menunggu mendapatkan pekerjaan, baru memulai usaha secara mandiri, atau dicampakkan oleh kenaikan harga bahan pokok yang sudah sangat tidak sopan lagi, dengan sedikit kreativitas, coba rajut lagi kehidupan.
Isteri rekan saya berhasil memasak banyak sekali menu baru yang enak tetapi hemat. Rekan saya yang dulu gemuk, sekarang langsing dan segar karena memakan banyak sayur. Sahabat saya yang kurang pergaulan, sekarang merasakan nikmatnya punya banyak teman setelah punya banyak waktu luang. Inilah rangkaian kegiatan yang saya sebut dengan merajut kembali hari ini sebagai hari terbaik.
Entah apa dan di mana menariknya, Bank Indonesia amat senang mengundang saya untuk menyampaikan presentasi dengan judul Dealing With Difficult People. Yang jelas, ada ratusan staf bank sentral ini yang demikian tertarik dan tekunnya mendengar ocehan saya. Motifnya, apa lagi kalau bukan dengan niat untuk sesegera mungkin jauh dan bebas dari manusia-manusia sulit seperti keras kepala, suka menghina, menang sendiri, tidak mau kerja sama dll.
Di awal presentasi, hampir semua orang bernafsu sekali untuk membuat manusia sulit jadi baik. Dalam satu hal jelas, mereka yang datang menemui saya menganggap dirinya bukan manusia sulit, dan orang lain di luar sana sebagian adalah manusia sulit.
Namun, begitu mereka saya minta berdiskusi di antara mereka sendiri untuk memecahkan persoalan kontroversial, tidak sedikit yang memamerkan perilaku-perilaku manusia sulit. Bila saya tunjukkan perilaku mereka - seperti keras kepala, menang sendiri, dll - dan kemudian saya tanya apakah itu termasuk perilaku manusia sulit, sebagian dari mereka hanya tersenyum kecut.
Bertolak dari sinilah, maka sering saya menganjurkan untuk membersihkan kaca mata terlebih dahulu, sebelum melihat orang lain. Dalam banyak kasus, karena kita tidak sadar dengan kotornya kaca mata maka orangpun kelihatan kotor. Dengan kata lain, sebelum menyebut orang lain sulit, yakinlah kalau bukan Anda sendiri yang sulit. Karena Anda amat keras kepala, maka orang berbeda pendapat sedikitpun jadi sulit. Karena Anda amat mudah tersinggung, maka orang yang tersenyum sedikit saja sudah membuat Anda jadi kesal.
Nah, pembicaraan mengenai manusia sulit hanya boleh dibicarakan dalam keadaan kaca mata bersih dan bening. Setelah itu, saya ingin mengajak Anda masuk ke dalam sebuah pemahaman tentang manusia sulit. Dengan meyakini bahwa setiap orang yang kita temui dalam hidup adalah guru kehidupan, maka guru terbaik kita sebenarnya adalah manusia-manusia super sulit. Terutama karena beberapa alasan.
Pertama, manusia super sulit sedang mengajari kita dengan menunjukkan betapa menjengkelkannya mereka. Bayangkan, ketika orang-orang ramai menyatukan pendapat, ia mau menang sendiri. Tatkala orang belajar melihat dari segi positif, ia malah mencaci dan menghina orang lain. Semakin sering kita bertemu orang-orang seperti ini, sebenarnya kita sedang semakin diingatkan untuk tidak berperilaku sejelek dan sebrengsek itu. Saya berterimakasih sekali ke puteri Ibu kost saya yang amat kasar dan suka menghina dulu. Sebab, dari sana saya pernah berjanji untuk tidak mengizinkan putera-puteri saya sekasar dia kelak. Sekarang, bayangan tentang anak kecil yang kasar dan suka menghina, menjadi inspirasi yang amat membantu pendidikan anak-anak di rumah. Sebab, saya pernah merasakan sendiri betapa sakit hati dan tidak enaknya dihina anak kecil.
Kedua, manusia super sulit adalah sparring partner dalam membuat kita jadi orang sabar. Sebagaimana sering saya ceritakan, badan dan jiwa ini seperti karet. Pertama ditarik melawan, namun begitu sering ditarik maka ia akan longgar juga. Dengan demikian, semakin sering kita dibuat panas kepala, mengurut-urut dada, atau menarik nafas panjang oleh manusia super sulit, itu berarti kita sedang menarik karet ini (baca : tubuh dan jiwa ini) menjadi lebih longgar (sabar). Saya pernah mengajar sekumpulan anak-anak muda yang tidak saja amat pintar, namun juga amat rajin mengkritik. Setiap di depan kelas saya diuji, dimaki bahkan kadang dihujat. Awalnya memang membuat tubuh ini susah tidur. Tetapi lama kelamaan, tubuh ini jadi kebal. Seorang anggota keluarga yang mengenal latar belakang masa kecil saya, pernah heran dengan cara saya menangani hujatan-hujatan orang lain. Dan gurunya ya itu tadi, manusia-manusia pintar tukang hujat di atas.
Ketiga, manusia super sulit sering mendidik kita jadi pemimpin jempolan. Semakin sering dan semakin banyak kita memimpin dan dipimpin manusia sulit, ia akan menjadi Universitas Kesulitan yang mengagumkan daya kontribusinya. Saya tidak mengecilkan peran sekolah bisnis, tetapi pengalaman memimpin dan dipimpin oleh manusia sulit, sudah terbukti membuat banyak sekali orang menjadi pemimpin jempolan. Rekan saya menjadi jauh lebih asertif setelah dipimpin lama oleh purnawirawan jendral yang amat keras dan diktator.
Keempat, disadari maupun tidak manusia sulit sedang memproduksi kita menjadi orang dewasa. Lihat saja, berhadapan dengan tukang hina tentu saja kita memaksa diri untuk tidak menghina balik. Bertemu dengan orang yang berhobi menjelekkan orang lain tentu membuat kita berefleksi, betapa tidak enaknya dihina orang lain.
Kelima, dengan sedikit rasa dendam yang positif manusia super sulit sebenarnya sedang membuat kita jadi hebat. Di masa kecil, saya termasuk orang yang dibesarkan oleh penghina-penghina saya. Sebab, hinaan mereka membuat saya lari kencang dalam belajar dan berusaha. Dan kemudian, kalau ada kesempatan saya bantu orang-orang yang menghina tadi. Dan betapa besar dan hebatnya diri ini rasanya, kalau berhasil membantu orang yang tadinya menghina kita.
Terakhir dan yang paling penting, manusia super sulit sebenarnya menunjukkan jalan ke surga, serta mendoakan kita masuk surga. Pasalnya, kalau kita berhasil membalas hinaan dengan senyuman, batu dengan bunga, bau busuk dengan bau harum, bukankah kemungkinan masuk surga menjadi lebih tinggi?
Untuk dapat menikmati hidup, hal terpenting yang perlu Anda lakukan adalah menjadi SADAR. Inti kepemimpinan adalah kesadaran. Inti spiritualitas juga adalah kesadaran. Banyak orang yang menjalani hidup ini dalam keadaan ”tertidur.” Mereka lahir, tumbuh, menikah, mencari nafkah, membesarkan anak, dan akhirnya meninggal dalam keadaan ”tertidur.”
Analoginya adalah seperti orang yang terkena hipnotis. Anda tahu di mana menyimpan uang. Anda pun tahu persis nomor pin Anda. Dan Andapun menyerahkan uang Anda pada orang tidak dikenal. Anda tahu, tapi tidak sadar. Karena itu, Anda bergerak bagaikan robot-robot yang dikendalikan orang lain, lingkungan, jabatan, uang, dan harta benda.
Pengertian menyadari amat berbeda dengan mengetahui. Anda tahu berolah raga penting untuk kesehatan, tapi Anda tidak juga melakukannya. Anda tahu memperjualbelikan jabatan itu salah, tapi Anda menikmatinya. Anda tahu berselingkuh dapat menghancurkan keluarga, tapi Anda tidak dapat menahan godaan. Itulah contoh tahu tapi tidak sadar!
Ada dua hal yang dapat membuat orang menjadi sadar. Pertama, peristiwa-peristiwa pahit dan musibah. Musibah sebenarnya adalah ”rahmat terselubung’ ‘ karena dapat membuat kita bangun dan sadar. Anda baru sadar pentingnya kesehatan kalau Anda sakit. Anda baru sadar pentingnya olahraga kalau kadar kolesterol Anda mencapai tingkat yang mengkhawatirkan.
Anda baru sadar nikmatnya bekerja kalau Anda di-PHK. Seorang wanita karier baru menyadari bahwa keluarga jauh lebih penting setelah anaknya terkena narkoba. Seorang sopir taksi pernah bercerita bahwa ia baru menyadari bahayanya judi setelah hartanya habis.
Kematian mungkin merupakan satu stimulus terbesar yang mampu menyentakkan kita. Banyak tokoh terkenal meninggal begitu saja. Mereka sedang sibuk memperjualbelikan kekuasaan, saling menjegal, berjuang meraih jabatan, lalu tiba-tiba saja meninggal. Bayangkan kalau Anda sedang menonton film di bioskop. Pertunjukan sedang berlangsung seru ketika tiba-tiba listrik padam. Petugas bioskop berkata,
”Silakan Anda pulang, pertunjukan sudah selesai!”
Anda protes, bahkan ingin menunggu sampai listrik hidup kembali. Tapi, si penjaga hanya berkata tegas,
”Pertunjukan sudah selesai, listriknya tidak akan pernah hidup kembali.”
Itulah analogi sederhana dari kematian. Kematian orang yang kita kenal, apalagi kerabat dekat kita sering menyadarkan kita pada arti hidup ini. Kematian menyadarkan kita pada betapa singkatnya hidup ini, betapa seringnya kita meributkan hal-hal sepele, dan betapa bodohnya kita menimbun kekayaan yang tidak sempat kita nikmati.
Hidup ini seringkali menipu dan meninabobokan orang. Untuk menjadi bangun kita harus sadar mengenai tiga hal, yaitu siapa diri kita, darimana kita berasal, dan ke mana kita akan pergi. Untuk itu kita perlu sering mengambil jarak dari kesibukan kita dan melakukan kontemplasi.
Ada sebuah ungkapan menarik dari seorang filsuf Perancis, Teilhard de Chardin,
”Kita bukanlah manusia yang mengalami pengalaman-pengalaman spiritual, kita adalah makhluk spiritual yang mengalami pengalaman-pengalaman manusiawi.”
Manusia bukanlah ”makhluk bumi” melainkan ”makhluk langit.” Kita adalah makhluk spiritual yang kebetulan sedang menempati rumah kita di bumi. Tubuh kita sebenarnya hanyalah rumah sementara bagi jiwa kita. Tubuh diperlukan karena merupakan salah satu syarat untuk bisa hidup di dunia. Tetapi, tubuh ini lama kelamaan akan rusak dan akhirnya tidak dapat digunakan lagi. Pada saat itulah jiwa kita akan meninggalkan ”rumah” untuk mencari ”rumah” yang lebih layak. Keadaan ini kita sebut meninggal dunia. Jangan lupa, ini bukan berarti mati karena jiwa kita tak pernah mati. Yang mati adalah rumah kita atau tubuh kita sendiri.
Coba Anda resapi paragraf diatas dalam-dalam. Badan kita akan mati, tapi jiwa kita tetap hidup. Kalau Anda menyadari hal ini, Anda tidak akan menjadi manusia yang ngoyo dan serakah. Kita memang perlu hidup, perlu makanan, tempat tinggal, dan kebutuhan dasar lainnya.
Bila Anda sudah mencapai semua kebutuhan tersebut, itu sudah cukup!
Buat apa sibuk mengumpul-ngumpulkan kekayaan — apalagi dengan menyalahgunakan jabatan — kalau hasilnya tidak dapat Anda nikmati selama-lamanya. Apalagi Anda sudah merusak jiwa Anda sendiri dengan berlaku curang dan korup. Padahal, jiwa inilah milik kita yang abadi.
Lantas, apakah kita perlu mengalami sendiri peristiwa-peristiwa yang pahit tersebut agar kita sadar? Jawabnya: ya! Tapi kalau Anda merasa cara tersebut terlalu mahal, ada cara kedua yang jauh lebih mudah:
Belajarlah MENDENGARKAN.
Dengarlah dan belajarlah dari pengalaman orang lain. Bukalah mata dan hati Anda untuk mengerti, mendengarkan, dan mempertanyakan semua pikiran dan paradigma Anda. Sayang, banyak orang yang mendengarkan semata-mata untuk memperkuat pendapat mereka sendiri, bukannya untuk mendapatkan sesuatu yang baru yang mungkin bertentangan dengan pendapat mereka sebelumnya. Orang yang seperti ini masih tertidur dan belum sepenuhnya bangun.
Bayangkan di suatu pagi, ada seorang tetangga yang memberi Anda sekantong tahi sapi. Tanpa basa basi, langsung saja kantong tadi diletakkan di depan rumah.
Bagi mereka yang sentimen dengan tetangga, mala petakalah akhir dari kejadian ini. Namun, bagi mereka yang menempatkan pemberian sebagai sebuah kemuliaan, maka tahi sapi tadi bisa menjadi awal persahabatan.
Nah, Anda dan saya juga sedang diberi tahi sapi (baca : krisis). Persoalannya, apakah krisis ini akan menjadi awal petaka atau awal kemajuan, sangat ditentukan oleh bagaimana kita menempatkan krisis.
Salah satu karya terbaik Deepak Chopra adalah Ageless Body, Timeless Mind. Di sini penyembuh ini bertutur tentang bagaimana hidup awet muda. Fundamental dalam tesis Chopra, tubuh ini terbuat dari pengalaman-pengalaman yang didagingkan (dimasukkan ke dalam tubuh).
Sebagai salah satu bukti dari tesis terakhir, Chopra mengutip pengalaman seorang Ibu yang baru menerima sumbangan jantung dari orang lain. Begitu keluar dari rumah sakit, sang Ibu meminta dua hal yang tidak pernah disukai sebelumnya : bir dan ayam goreng. Setelah diselidik, ternyata donatur jantung yang telah meninggal, memiliki hobi berat meminum bir sambil memakan ayam goreng.
Pengalaman terakhir mengingatkan saya dengan pendapat Norman Cousin yang pernah menyebut bahwa “kepercayaan itu menciptakan biologi“. Ini berarti, garis batas antara biologi dan psikologi sebenarnya sangat dan teramat tipis - kalau tidak mau dikatakan tidak ada.
Semua ini berati, cara kita menempatkan krisis, tidak hanya terkait dengan sukses gagal di hari ini. Lebih dari itu, kita sedang mendagingkan serangkaian sistim nilai ke dalam tubuh kita. Untuk kemudian, memberi pengaruh yang amat besar ke dalam rautan wajah dan tubuh kita kemudian.
Coba cermati ciri-ciri manusia awet muda dan panjang umur sebagaimana ditemukan oleh Chopra. Dari meraup kesenangan dari kegiatan sehari-hari, menganggap hidup bermakna, yakin telah mencapai sasaran utama, menganut citra diri positif, sampai dengan optimis.
Semuanya menunjukkan upaya membadankan sistim nilai positif. Larry Scherwitz dari Universitas California pernah merekam hasil percakapan dengan 600 pria. Sepertiganya mengidap penyakit jantung, dan sisanya sehat-sehat saja. Scherwitz menemukan, pria yang menggunakan kata ganti “saya” lebih banyak dari rata-rata orang, mempunyai resiko kena serangan jantung lebih tinggi.
Pengalaman saya juga menunjukkan hal yang sama. Dari ratusan eksekutif yang pernah dikumpulkan karangannya, mereka yang otoriter, egois dan mau menang sendiri, menggunakan kata ganti “saya” jauh lebih banyak dibandingkan yang lain. Chopra juga menemukan hal yang mirip, angka kematian karena kanker dan penyakit jantung terbukti lebih tinggi diantara orang yang mengalami jiwa murung, dan lebih rendah diantara orang yang mempunyai maksud yang tegas serta jiwa yang sehat.
Dari penemuan-penemuan semacam ini, Scherwitz merekomendasikan untuk semakin membuka hati kepada orang lain. Salah seorang responden Scherwitz yang umurnya sudah tua namun memiliki jantung yang amat sehat berargumen : “seseorang yang terbuka dan penuh cinta akan menua dengan baik“.
Nah, lebih dari sekadar terbuka terhadap orang lain, kita juga memerlukan keterbukaan dalam memandang kehidupan. Persis seperti kasus tetangga yang memberi sekantong tahi sapi. Keterbukaan dan kesediaan untuk mencintai, membuat semua kejadian kehidupan - dari dapat tahi sapi sampai dengan berlian - menjadi penuh dengan warna keindahan.
Egoisme - sebagaimana tercermin dari banyaknya penggunaan kata saya - memang tidak selalu buruk. Namun, ia kerap membadankan serangkaian nilai, yang membuat badan ini cepat tua, lapuk serta rentan penyakit.
Meminjam hasil sebuah penemuan di dunia kedokteran, kemanapun perginya fikiran, senantiasa ada bahan kimia yang menyertainya. Atau keadaan-keadaan mental yang murung dirubah menjadi bahan-bahan kimia yang menimbulkan penyakit. Demikian juga sebaliknya.
Belajar dari semua ini, dibandingkan dengan mengumpat dan memaki tahi sapi yang bernama krisis, saya mendidik diri untuk menempatkan krisis sebagai “pupuk“-nya kehidupan.
Beberapa periode lalu, RUPS sebuah perusahaan besar menunjuk saya sebagai direktur SDM. Awalnya, tentu saja ini sebuah berkah yang dirayakan oleh keluarga saya. Sebab, sebelah kaki menjadi manusia bebas (konsultan, penulis dan pembicara publik) namun mengalami siklus keuangan yang naik turun, sebelah kaki jadi eksekutif puncak dengan siklus keuangan yang pasti dan menjanjikan.
Sayangnya, saya kehilangan dua kemewahan : menjadi raja bagi waktu, dan kemewahan hanya memberi saran tanpa perlu memantau pelaksanaan dan tanggungjawab.
Akibat dari kehilangan ini, saya sempat mengalami gejala insomnia (susah tidur). Belakangan, setelah membuka-buka lagi khasanah tentang fikiran yang memproduksi bahan kimia dalam tubuh, semua ini saya rombak secara perlahan. Belum sempurna memang ! Yang jelas, ritme tidur saya sudah kembali ke sedia kala.
Kembali ke cerita awal tentang sekantong tahi sapi, Anda dan saya setiap hari ada yang membawakan “tahi sapi“. Mirip dengan tahi sapi, kita tidak bisa merubah kehidupan. Akan tetapi, kita bisa merubah diri bagaimana mesti melihat dan menempatkan kehidupan.
Sadar akan penemuan bahwa keyakinan memproduksi biologi, saya memilih untuk melihat segi positif dari tahi sapi. Terserah Anda!.
Untuk pertama kali dalam kehidupan saya sebagai pembicara publik, saya bertatapan dengan ratusan pasang mata yang lapar motivasi. Anak-anak muda korban likuidasi perbankan ini, membawa refleksi mendalam dalam kehidupan saya. Baru saja memulai karir dalam beberapa tahun, tiba-tiba saja langit karir mereka bergoyang. Itupun ditutup dengan cerita kurang sedap tentang pesangon yang belum menentu.
Sebagaimana pernah saya alami, umur-umur muda baru selesai sekolah, adalah umur pembentukan yang masih ditandai sejumlah kelabilan psikologis. Bangunan karir masih jauh sekali dari selesai. Bahkan, fondasinyapun sebagian saja belum terbentuk.
Bila di tahap prematur seperti ini ada goncangan PHK, tentu ini bukanlah sebuah godaan yang ringan. Namun, apapun yang dilakukan orang di tahapan manapun, kita tidak pernah berhenti merajut sutera kehidupan (baca : keberhasilan) selama masih bernafas.
Sebagaimana pernah ditulis Swami Vivekananda, “Fikiran, kata-kata dan tindakan kita, semuanya adalah benang-benang rajutan yang kita tenun pada diri kita“. Sayangnya, banyak manusia - terutama yang sedang dilanda sejumlah godaan seperti PHK - bukannya merajut keberhasilan, melainkan menghancurkannya. Baik melalui fikiran, kata-kata maupun tindakannya.
Mari kita mulai dengan dunia fikiran. Setiap orang dewasa memiliki kerangka dalam fikirannya. Begitu bertemu dengan kerangka orang yang mirip dengan keinginan kita, maka mudah sekali timbul keakraban. Demikian juga sebaliknya. Ini yang bisa menjelaskan, kenapa seseorang dengan ‘kerangka‘ maling cepat akrab di komunitas maling. Atau seseorang dengan ‘kerangka‘ kiai cepat merasa kesepian di tengah pembohong.
Proses bagaimana kerangka tadi terbentuk, tidaklah cepat dan mudah. Ia mirip dengan proses air yang menetes kemudian melobangi batu : lama, panjang namun konsisten. Sebagian proses ini bersifat sengaja, sebagian lagi berjalan di luar kesengajaan.
Orang-orang yang hidupnya penuh frustrasi, tanpa disadari sebenarnya sedang membangun ‘kerangka’ tertentu dalam dirinya. Pada awalnya, diri kita menolak dibawa ke wilayah baru ini. Namun, begitu ajakan-ajakan frustrasi tadi dilakukan dalam waktu yang lama dan panjang, diri kita mulai merasa nyaman dengan kerangka baru ini. Makanya, orang yang tadinya pemalu (sebagai contoh penyanyi Madonna) bisa menjalani kehidupan yang jauh dari rasa malu kemudian.
Aspek kedua dari rajutan sutera keberhasilan adalah kata-kata. Yang terakhir ini sebenarnya tidak hanya rangkaian huruf yang membentuk makna. Kata-kata juga membentuk kehidupan.
Coba perhatikan manusia-manusia yang suka berkata-kata kasar, jorok, dan dengki. Bila itu dilakukan dalam kurun waktu yang lama dan panjang - tanpa perbaikan berarti - jangan terkejut kalau mereka memasuki gerbang kehidupan yang kasar, jorok dan dibenci orang. Saya pernah menemukan orang demikian dalam jumlah yang tidak sedikit. Sebaliknya, coba buka catatan sejarah tentang pemimpin-pemimpin besar. Rangkaian kata-katanya banyak yang menggugah, menyentuh dan memberi inspirasi. Kalau setelah mereka meninggal, banyak orang berkomentar seindah kata-kata yang pernah diucapkan pemimpin, ini bukanlah sebuah kebetulan belaka.
Ini bisa terjadi, karena kata-kata yang kita keluarkan sebenarnya terpantul ke diri kita. Diri kita sebagian adalah hasil echo dari kata-kata yang kita ucapkan.
Aspek ketiga sekaligus yang paling riil dari sutera keberhasilan adalah tindakan. Diri kita, sebenarnya hasil dari keputusan dan tindakan yang diambil di masa lalu. Saya menjadi pembicara publik dan konsultan karena pernah dan konsisten memutuskan untuk tetap di jalur ini. Orang bisa menjadi penjudi karena pernah memutuskan untuk menjadi penjudi.
Siapapun tanpa terkecuali, bisa memberikan warna terhadap kehidupannya melalui keputusan dan tindakannya. Namun, impak yang ditimbulkannya menjadi kecil jika seseorang sering melakukan zig-zag dalam kehidupan. Hari ini mau jadi agen asuransi, besok mau jadi pegawai bank.
Disamping itu, kita juga sedang membentuk diri sendiri melalui percobaan-percobaan kehidupan yang dilakukan setiap hari. Seorang sahabat saya di masa muda tidak bisa keluar dari profesi judi karena pernah mencoba dan menang besar. Ada teman yang sangat menikmati kehidupan menjadi pendeta, karena pernah mencoba dan ternyata cocok dengan apa yang dicari.
Digabung menjadi satu, fikiran, kata-kata dan tindakan adalah bahan-bahan sutera keberhasilan yang amat menetukan.
Syukurnya, ketiga-tiganya diizinkan untuk berada dalam kontrol kita. Sayangnya, karena ketidaktahuan, kekhilafan atau ketidakmampuan belajar, kita sering membiarkan wajah kehidupan kita ‘dibentuk’ oleh fikiran, kata-kata dan tindakan yang kita buat sendiri.
Kembali ke cerita awal saya tentang ratusan anak muda korban PHK, yang saya temui dalam seminar yang diadakan BPPN (Badan Penyeehatan Perbankan Nasional), umur muda sebenarnya sebuah peluang emas. Sutera Anda belum terlalu terbentuk. Sebagian besar fikiran Anda masih bersih. Tabungan kata-kata kotor Anda masih sedikit. Demikian juga dengan tindakan, masih terlalu banyak yang bisa dilakukan.
Kahlil Gibran dalam Sang Nabi pernah menulis :
Dan apakah kerja dengan rasa cinta itu?
Laksana menenun kain dari benang
Yang ditarik dari jantungmu
Seolah-olah kekasihmulah
Yang akan mengenakan kain itu
Anak-anak, bagi saya, adalah sebuah kekayaan yang amat berharga dalam kehidupan. Mereka tidak hanya penerus kehidupan, dalam dimensi kekinian juga sumber tawa dan canda. Bayangkan, sesuatu bila diucapkan orang dewasa menjadi biasa-biasa saja, namun bila terucap dari mulut bocah, tawa dan bangga mudah keluar.
Sayangnya, tidak demikian halnya dengan bocah di dalam diri kita. Sedikit saja timbul kesalahan, kita mudah sekali menyebut diri kekanak-kanakan. Kita menyebut semua bentuk perilaku kanak-kanak sebagai perilaku yang perlu disembunyikan.
Coba perhatikan pegolf dunia Tiger Wood tatkala baru memperoleh birdie, ia menampilkan perilaku kanak-kanaknya dengan menyatukan siku dengan lututnya. Amati pemain sepak bola yang berhasil merobohkan gawang lawan, ia berlari, berteriak, memeluk semua temannya persis seperti anak-anak. Iklan sebuah telepon seluler menunjukkan, bahkan pemimpin dunia sedingin Margareth Thatcher-pun bisa mempertontonkan perilaku anak-anak di depan umum.
Sebagaimana pernah dikerangkakan melalui analisis transaksional, anak-anak adalah bagian dari diri kita selama kita masih bernafas. Mau dimusnahkan sekalipun, ia akan senantiasa menjadi bagian integral dari tubuh kita.
Bila ditekan, disamping menjadi sumber daya tidak terpakai, ia juga bisa membuat hidup tidak seimbang. Sesuatu yang kerap menjadi awal kecelakaan hidup.
Lebih dari itu, energi kanak-kanak juga menjadi sumber dari kejernihan, kreatifitas, dan kepolosan-kepolosan alami. Coba perhatikan pertanyaan-pertanyaan polos anak-anak di rumah. Bukankah ia teramat jujur? Kendati naif, tidakkah ia menyimpan fundamentalisme hidup? Meskipun lucu, tidak jarang kita dibuat terperanjat oleh pertanyaan-pertanyaan anak-anak.
Setali tiga uang dengan anak-anak di rumah, bocah di dalam diri kita juga sama. Ia sering bertanya, bercanda, menimbulkan tawa, atau kadang sarkastis terhadap diri kita.
Saya sering mentertawai hidung saya yang dulu ditertawai orang. Rambut rontok saya, tidak hanya menjadi bahan tertawaan saya, tetapi juga konsumsi orang lain.
Sebagai hasilnya, lebih dari sekadar tertawa sendiri maupun bersama orang lain, kegiatan mentertawai diri sendiri ini sering menjadi sumber kedewasaan, dan kearifan hidup. Penyakit mudah tersinggung yang menghinggapi saya dulu, pelan-pelan berkurang secara meyakinkan. Kekakuan bergaul dengan orang lain, luntur bersamaan dengan semakin seringnya saya mentertawai diri sendiri. Tidak sedikit uang yang saya peroleh yang bersumber dari imajinasi ala anak-anak. Paradigma anak-anak yang polos dan lentur, tidak hanya mengurangi konflik dengan orang lain, tetapi juga membuat saya semakin kaya secara filsafat.
Karena demikian seringnya bocah dari dalam ini didengar, ia teramat sering menjadi rem etika yang mengagumkan. Di hotel tempat saya sering menginap, ada banyak godaan, namun kanan-kanak saya bertanya : “bukankah kamu menjadi guru buat orang lain?“. Di perusahaan tempat saya bekerja, sering ada peluang uang yang tidak sedikit, tetapi bocah dalam diri ini sering berucap lirih : “bukankah Anda sering berucap di seminar, bahwa etika adalah sesuatu yang Anda lakukan ketika orang lain tidak ada?“.
Bocah ini tidak saja berfungsi menjadi rem. Ia kerap menjadi penyeimbang kehidupan yang mengagumkan. Tatkala badan sudah diperkosa pekerjaan, kanak-kanak di dalam diri permisi untuk diajak teriak-teriak di karaoke, lapangan golf, atau malah di sungai belakang rumah. Ketika mood lagi jenuh, ia mulai merengek untuk diajak bertemu teman yang menimbulkan tawa. Di saat rasa marah muncul, ia meledek saya sebagai orang yang hanya bisa bicara di depan umum tanpa bisa melaksanakan.
Saya tidak tahu bagaimana pengalaman Anda, bagi saya energi kanak-kanak yang tersembunyi dalam diri kita amatlah luar biasa jika dimanfaatkan.
Ada beberapa ciri yang melekat dalam energi yang sering tidak diizinkan untuk muncul ini. Polos, naif, jujur, tidak masuk akal, lucu, egois, adalah sebagian dari ciri-ciri dorongan kekanak-kanakan.
Anda boleh punya cara lain untuk belajar mendengarkan bocah dalam diri Anda. Saya melakukannya dengan beberapa langkah berikut.
Pertama, miliki minimal setengah jam setiap hari untuk meledek atau mentertawakan diri sendiri. Waspadai jangan sampai membuat diri Anda minder.
Kedua, daftar kelucuan, kobodohan dan kekhilapan Anda selama hidup, dan temukan cara untuk mentertawakannya.
Ketiga, luangkan waktu untuk memuaskan anak-anak di dalam diri Anda. Saya melakukannya dengan berkaraoke, berteriak di lapangan golf, mencoret-coret foto orang yang saya tidak suka.
Keempat, setiap kali melihat persoalan - apa lagi saat kepala mampet - tanyalah diri Anda : “bagaimana saya melihat persoalan ini tatkala saya masih anak-anak?“.
Sebagaimana pernah ditulis fisikawan Fritjof Capra dalam The Uncommon Wisdom : “Krishnamurti told with all his charisma and persuasion to stop thinking, to liberate my self from all knowledge, to leave reasoning behind.“
Keberanian untuk berhenti berfikir, meletakkan reason di belakang, membebaskan diri dari semua pengetahuan - yang saya yakin menjadi titik awal dari kreatifitas dan kepekaan kemanusiaan, bisa dilakukan bila kita kembali ke posisi innocent sebagaimana anak-anak. Ini bisa dicapai, bila kita rajin mendengarkan bocah dalam diri.
Untuk urusan menjadi pembicara publik bagi sejumlah perusahaan minyak terkemuka, saya menghabiskan banyak waktu di kota Bandung. Satu hal yang membedakan Bandung dengan Jakarta dan sejumlah kota besar lainnya, adalah wajah-wajah manusia yang kita temui di jalan raya. Begitu sampai di Bandung, langsung terasa ekspresi takut dan curiga manusianya amatlah berbeda.
Di Jakarta, kita bertemu jutaan manusia dengan tatapan mata kosong, memandang curiga ke orang lain, pelit sekali dengan senyum buat orang lain, dan diliputi rasa takut dan was-was setiap saat.
Hidup dan kehidupan - dalam keadaan demikian - adalah pengalaman yang diisi dengan rasa takut, curiga dan was-was. Membaca koran, sebagian isinya pembunuhan dan perampokan. Mendengar radio, tidak sedikit yang berisi cerita menakut-nakuti. Menonton televisi, ada gambar-gambar penuh darah dan kebencian. Di kantor, hampir semua bermain politik saling menjatuhkan. Di lingkungan tetangga, orang pamer dan berperilaku lebih kaya dibandingkan orang lain.
Di suatu kesempatan berjalan-jalan kaki bersama isteri di kota Bandung, saya amat merasakan suasana yang amat lain. Terutama, dalam hal ketakutan dan rasa curiga yang melingkupi wajah mahluk-mahluk ciptaan Tuhan yang ada di jalan raya.
Digabung menjadi satu, hidup di kota besar seperti Jakarta, sebenarnya mirip dengan memproduksi diri sendiri menjadi manusia yang dibelenggu ketakutan. Di lampu merah, kita harus awas dengan pencopet. Di mal, kita dipaksa waspada terhadap siapa saja yang tidak dikenal. Di rumah, begitu ada orang yang tidak pernah kelihatan sebelumnya, otomatis pintu dan jendela ditutup.
Jangan tanya saya tentang kesehatan jiwa dalam masyarakat seperti ini. Yang jelas, Irish Barrow pernah menulis : ‘Holding a grudge is a subtle form of suicide‘. Hidup dalam dendam - demikian juga dalam ketakutan - adalah bentuk halus dari bunuh diri.
Kadang, ada dorongan untuk lari dan keluar dari lingkungan seperti ini. Kerap, saya protes kenapa saya membunuh diri sendiri dan keluarga saya dengan mesin-mesin ketakutan yang tidak ada hentinya. Sering, saya berucap lirih ke diri sendiri, bagaimana saya bisa kerasan hidup di tengah lautan kecurigaan dan ketakutan.
Tadinya, saya fikir hanya sedikit manusia Jakarta yang protes seperti saya ini. Namun, belakangan setelah bertemu lebih dari seratus ribu orang di seminar pertahunnya, keluyuran di banyak tempat di Jakarta dari lapangan golf sampai pesta pernikahan, rupanya saya tidak kesepian. Ada banyak manusia lainnya yang juga membunuh dirinya dengan mesin ketakutan.
Lebih parah lagi, kalau saya masih menyimpan sedikit kewaspadaan dengan mesin terakhir. Ada ribuan manusia lain, yang diproduksi oleh mesin ketakutan, tetapi sedikitpun tidak menyadari akan bahaya di balik itu.
Saya tidak tahu apakah Anda menyimpan kekhawatiran terhadap semua ini. Tetapi saya sangat mengkahawatirkan akan akibat jangka panjang yang ditimbulkan dari belenggu ketakutan ini. Kreativitas, inovasi, imajinasi, ketulusuan, kecintaan pada orang lain, kesegaran berfikir, kepekaan kemanusiaan adalah sebagian anugerah Tuhan yang sedang kita basmi habis-habisan melalui mesin ketakutan ala Jakarta.
Tidak usah terlalu muluk bercerita tentang sumber daya manusia, daya saing manusia Indonesia, atau apalah namanya. David Mc. Clleland boleh saja berteori tentang achieving society. Max Weber bisa saja menjual idenya tentang The Protestan Ethics and The Spirit of Capitalism. Dimana keduanya sama-sama mengagungkan persaingan dan ketakutan sebagai motor kemajuan.
Akan tetapi, bisakah kejernihan, kepekaan dan imajinasi lahir dari kumpulan manusia yang sedang didorong habis-habisan oleh mesin ketakutan? Anda bisa saja punya bukti yang memungkinkan jawaban positif terhadap pertanyaan terakhir. Namun, saya meragukan bila kepekaan jiwa manusia bisa diasah dalam lingkungan sosial seperti ini.
Ada ratusan manusia yang pernah bertanya karena kehilangan kepekaan terakhir. Tidak sedikit manajer yang sudah menyadari bahwa dirinya kesepian di keramaian. Sejumlah pengusaha yang saya kenal, merasakan kekeringan di tengah basahnya kekayaan yang mereka miliki.
Kendati majalah Infobank pernah menyebut saya sebagai seorang ‘resi’, saya terus terang masih jauh dari kualitas seorang resi. Jangan-jangan menjadi guru saja belum buat orang lain. Namun, masih teramat sering saya bertemu dengan manusia yang mencari ketenangan dan kejernihan dari luar. Seolah-olah ada ilmu kejernihan, kepekaan dan imajinasi. Ada rumus dan jurus yang bisa siap pakai. Ada guru dan pelatih yang bisa menyulap Anda.
Setelah melalui berbagai proses belajar. Dari hidup dalam kemiskinan, sekolah drop out, miskin perhatian, dianggap bodoh oleh banyak orang, masuk rumah sakit karena kebanyakan belajar, sampai dengan dikagumi oleh sejumlah orang. Serta saya padukan dengan berbagai pengalaman meditatif. Saya sampai pada sebuah kesimpulan sederhana : ‘lihatlah ke dalam, di mana hanya ada kedamaian‘.
Percuma saja, Anda mencari pembebas ketakutan dari luar. Ia ada di sini : dalam diri kita sendiri. Di manapun, dalam keadaan apapun, serta dengan siapapun, kebebasan itu bisa kita temukan. Persoalannya cuma satu : maukah kita mencarinya ? Bukankah ketakutan hanyalah hasil rekayasa dari fikiran yang terikat? Sekali kita tidak lagi terikat dengan mobil, rumah, masa depan, anak, isteri, suami, bukankah kebebasan tadi otomatis rajin berkunjung?
Buku harian saya sebagai konsultan manajemen, tidak selamanya berisi catatan yang hanya terkait dengan prestasi perusahaan. Demikian luasnya bidang yang dicakup oleh manajemen, kerap ia merambah ke daerah yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Kadang, saya malah harus menjadi konsultan perkawinan bagi klien. Terutama, kalau mahligai pernikahan klien terganggu, dan bisa mengancam prestasi perusahaan.
Ini juga saya alami beberapa waktu lalu, ketika seorang klien menyeleweng, kemudian mengundang protes berat isterinya. Kejadian ini merambah wilayah konsultasi saya, karena sebagian pemegang saham yakin, kalau hanya saya yang bisa meyakinkan play boy kelas kakap terakhir.
Mirip dengan bentuk hubungan manusia lainnya - baik kerja dalam team, menata organisasi, dll - perkawinan akan senantiasa diwarnai oleh friksi dan perbedaan. Sebagian orang bahkan meyakini, di situlah letak seninya berhubungan dengan manusia.
Bagi saya, jangankan menikah dan bekerjasama dengan orang lain, kalau ada kesempatan untuk menikah dan bekerjasama dengan diri sendiri, saya tidak yakin kalau semuanya akan berjalan amat mulus. Penolakan, perbedaan, ketidakcocokan akan senantiasa ada.
Berbeda dengan bentuk hubungan bersama orang lain - di mana kalau tidak cocok kita bisa mencari penggantinya - dengan diri sendiri, kita tidak punya pengganti. Tubuh dan jiwa yang kita miliki hanyalah yang kita punya sekarang.
Dengan kesadaran terakhir, kita tidak punya pilihan menolak, cerai atau berpisah dengan diri sendiri, satu-satunya pilihan: menikah dengan sang diri.
Manusia-manusia yang hidupnya kena stres, depresi, masuk rumah sakit jiwa atau bunuh diri sekalian, adalah sebentuk orang yang pernikahannya dengan sang diri gagal.
Sebaliknya, pengalaman saya bertutur, kebanyakan orang yang berhasil hidupnya, sering ditandai oleh kemesraan yang mengagumkan dengan sang diri. Kelemahan, kekurangan, bahkan cacat tubuhnya sekalipun, tidak menjadi penghambat, malah menjadi sarana kemajuan yang mencengangkan.
Diana Golden - kalau saya tidak salah dalam mengeja namanya - adalah seorang pembicara publik yang amat mengagumkan bagi saya. Betapa tidak mengagumkan, dengan kedua kaki lumpuh yang dibantu tongkat, ia melakukan presentasinya di depan panggung secara demikian bergairah. Bergerak bebas dari satu panggung ke panggung lain. Kadang malah duduk penuh percaya diri di atas meja. Menguasai panggung tanpa sedikitpun keraguan.
Demos Thenes, seorang pembicara publik terkemuka dalam sejarah Yunani, awalnya adalah penderita gagap dalam kadar yang sangat akut. Bertahun-tahun ia mendidik dirinya dengan meletakkan batu ke dalam mulutnya sambil berbicara.
Abraham Lincoln, mengalami cobaan hidup secara berulang-ulang. Termasuk pernah kena depresi berat sampai nyaris masuk rumah sakit jiwa. Dan masih banyak lagi contoh lainnya.
Meminjam argumennya Iris Barrow dalam Make Peace With Yourself, ‘many people suffer all their lives because they do not accept and come to terms with the feelings of anger, frustration, resentment, fear, despair…which they experience‘.
Belajar dari sini, tidak hanya kelebihan dan kehebatan yang harus kita peluk dan terima apa adanya. Kekurangan seperti marah, frustrasi, takut dan sejenispun sebaiknya kita peluk dan terima. Ini penting, sebab banyak penyakit kejiwaan bersumber pada penolakan terhadap kekurangan-kekurangan terakhir.
Bayangkan, saya akan frustrasi berat bila melihat diri saya yang lagi marah dibandingkan kesabaran mengagumkan ala Mahatma Gandhi. Saya akan menjadi minder melihat rekaman presentasi saya, jika dibandingkan kehebatan seorang Anthony Robbins.
Untuk itu, saya belajar tidak hanya menjadi pemaaf buat orang lain, tetapi menjadi pemaaf buat diri saya sendiri. Sebagaimana pernah ditulis Catherine Ponder dalam The Dynamic Law of Healing : ‘Forgiveness can unblock whatever has stood between you and your good‘.
Dengan kata lain, sikap pemaaf bisa membuka banyak pagar yang memisahkan diri kita dengan sejumlah kesempurnaan yang telah ada di dalam.
Dalam pergaulan sehari-hari, melalui raut muka, sinar mata, senyum orang, percaya diri, saya bisa membedakan antara orang-orang yang pemaaf dengan dirinya sendiri, dengan orang-orang yang membenci dirinya.
Dalam bekerja, bergaul maupun dalam presentasi, penguasa-penguasa keberhasilan umumnya adalah manusia yang tidak hanya pemaaf dengan dirinya sendiri, melainkan juga menikah akur dengan sang diri.
Perhatikan presentasi Diana Golden yang mengagumkan, lihat ekspresi mata Larry King di CNN, amati kepemimpinan Cory Aquino yang relatif tidak terbebani oleh pengalamannya yang hanya mantan ibu rumah tangga, semuanya menunjukkan pernikahan mengagumkan dengan sang diri.
Dalam sebuah sesi meditasi, seorang guru pernah bertutur ke saya : ‘your mind is a wonderful gift. Use it to work for you, not against you‘.
Nah, yang dimaksud mind di sini mencakup baik kelebihan maupun kekurangan kita. Ia akan menjadi kekuatan yang membantu, bila kita berhasil berpelukan mesra dengannya.
Tidak bisa dibayangkan, kemana larinya keberhasilan, jika setiap hari kita mau ‘bercerai’ dengan rasa marah, takut, frustrasi yang datang dari dalam diri.
Dengan isteri, setelah cerai kita bisa atur untuk tidak bertemu lagi. Dengan marah dan rasa takut, ia akan datang dan datang lagi.
Anda boleh mengambil sikap apapun, namun saya sedang mendidik diri untuk menikah dengan diri saya.
Bagi setiap manusia normal, memiliki kekasih adalah salah satu bentuk pengalaman yang sulit terlupakan. Tidak sedikit orang beranggapan, memiliki kekasih jauh lebih indah dari memiliki suami atau isteri. Dalam berhubungan dengan kekasih, dunia seperti penuh imajinasi dan fantasi.
Sayapun pernah mengalami keindahan seperti ini. Bersama seorang wanita yang sekarang sudah menjadi anak mertua, kenangan berjalan menelusuri pinggiran danau yang sepi dan damai, atau duduk berjam-jam di pantai yang hanya dihuni suara ombak, sungguh sebuah pengalaman yang sulit dilupakan.
Keindahan serupa juga saya temukan ketika membaca karya Kahlil Gibran yang berjudul Lazarus and His Beloved and The Blind.. Karya apik ini bertutur tentang kisah Lazarus bersama ‘kekasihnya’. Kekasih terakhir saya beri tanda kutip, sebab arti yang dimaksud memang tidak sama dengan pengertian biasanya. Lebih dari sekadar kekasih sebagai calon suami atau isteri, Gibran bertutur tentang kekasih yang lebih abadi.
Sebagaimana karya sastra lainnya, pengertian tentang kekasihnya Lazarus ini memang tidak semudah mengerti matematika dan statistika yang serba eksak. Di saat tertentu, ia berarti cakrawala yang menampung sinar matahari serta nyanyian bintang-bintang. Di saat lainnya, ia menghadirkan makna berupa arus sungai yang mencari laut. Di kesempatan lainnya, kekasih tadi sama dengan cinta yang tinggal di keheningan hati yang putih.
Pokoknya, serba indah dan bergerak. Sebagai orang manajemen yang terbiasa menelusuri jalan pengetahuan melalui definisi yang kering dan kaku, bercengkerama dengan ‘kekasih’ ala Kahlil Gibran ini sungguh sebuah pengalaman yang merangsang imajinasi dan keindahan. Tidak hanya jiwa yang dibuat kaya, kreativitas dan inovasipun dirangsang.
Dulu, ketika saya masih memahami manajemen sebagai rangkaian definisi, sungguh teramat bingung mendengar saran di Inggris agar sekolah manajemen mengajarkan sastra dan puisi. Tatkala mengawali pencaharian di dunia manajemen, melalui sekolah serta tumpukan buku teori yang menggunung, sulit bisa memahami ide kalau karya manajemen mesti disampaikan melalui bahasa-bahasa sastra. Pada saat pengalaman saya masih teramat miskin, karir masih berada di tataran tangga yang amat bawah, namun kepala penuh dengan teori-teori perilaku, adalah sebuah keniscayaan bagi saya untuk mengerti jiwa manusia melalui kata-kata indah seniman.
Begitu memasuki dunia hubungan antarmanusia yang rumit, pengambilan keputusan yang sulit dicari polanya, duduk kesepian di piramida organisasi, amat terasa manfaat pengkayaan yang diakibatkan oleh bahasa-bahasa tanpa definisi ala Kahlil Gibran.
Dalam membaca cerita Lazarus misalnya, tidak hanya dunia penjelasan (explanation) yang berubah, tetapi juga dunia pengertian (understanding). Tidak saja otak yang terbuka, namun termasuk juga jiwa. Tak hanya menjadi lebih pintar, melainkan juga lebih peka.
Mengalami seluruh proses ini, terkadang saya bermimpi kalau ada perusahaan yang mengundang saya tidak untuk berbicara manajemen sebagaimana biasanya, tetapi meminta saya bertutur tentang cerita pendek seperti kekasih Lazarus.
Ini penting, sebab dari ribuan manajer yang pernah saya temui, rata-rata sudah terlalu fasih berfikir dan berbicara tentang fakta dan logika. Namun, teramat sedikit yang memiliki jiwa yang kaya, kepribadian yang peka, dan bisa mengerti tanpa melalui proses penjelasan.
Bagi Anda yang biasa berfikir dalam angka dan sistimatika, tentu saja sulit untuk masuk ke dalam dunia seperti ini. Tetapi, bagaimanapun sulitnya, keindahan yang tidak bisa didefinisikan melalui kata-kata manapun sedang menanti Anda.
Keindahan terakhir, lebih indah dari sinar matahari pagi. Lebih sejuk dari hawa pegunungan. Lebih harum dari bunga manapun. Lebih lembut dari sutera. Lebih halus dari salju. Lebih molek dari wanita yang paling cantik. Dan yang paling penting, seperti berhubungan dengan seorang kekasih, ia penuh imajinasi dan fantasi.
Saya tidak sedang menghasut Anda ke dunia yang tidak-tidak. Tetapi, keadaan yang serba krisis.
Ketika membaca judul buku Robin Sharma The Monk Who Sold His Ferrari, saya merasakan sebuah sentuhan. Bayangkan, mana ada seorang biarawan yang memiliki Ferrari. Disamping itu, mobil mewah terakhir malah mau dijual.
Lebih tersentuh lagi, ketika selesai membaca buku menggugah ini. Sebagai seorang konsultan yang biasa bergaul dan berinteraksi di kalangan menengah atas, betapa tersentuhnya saya dengan ajakan-ajakan menyentuh seperti joyful thought, look within for success, value time as your most important commodity, nourish your relationship dan live life fully.
Mari kita mulai dengan joyful thought. Sebagaimana pernah saya tulis di kesempatan lain, kita memang sedang memproduksi biokimia dan biologi tubuh kita melalui apa yang kita fikirkan. Sebagaimana pernah dikutip oleh Deepak Chopra, wanita yang bercerai - dari hasil penelitian dengan sampel ribuan - memiliki kemungkinan terkena kanker payudara lebih besar dibandingkan dengan yang tidak bercerai. Dari contoh dan bukti yang masih bisa ditambah ini, terlihat jelas, bahwa fikiran memproduksi kehidupan. Mungkin ini kedengarannya klise, tetapi saya mempercayai sekali kekuatan berfikir positif. Seperti sebuah pepatah Cina : “Don’t curse the darkness, light a candle“. Dibandingkan mengutuk kegelapan, jauh lebih berguna langsung menyalakan lilin.
Bila kegiatan ‘menyalakan lilin’ jauh lebih banyak dibandingkan ‘mengutuk kegelapan’, jangan pernah khawatir dengan kehidupan. Kesehatan, hidup yang cukup, rezeki, kerukunan, kearifan dan hal sejenis, akan mengalir sejalan dengan semakin banyaknya kegiatan menyalakan lilin.
Berkaitan dengan look within for success, ada semacam kerancuan dalam cara manusia mencari keberhasilan. Tidak sedikit orang yang mencarinya di luar diri. Dalam bentuk rumah, merk mobil yang digunakan, jabatan yang diduduki, baju dan jam tangan yang dikenakan dan bentuk-bentuk sejenis. Sebagaimana pernah disarankan oleh seorang rekan warga Amerika ke saya : “you are more than your money, your job and your tittle“.
Mengidentikkan keberhasilan dengan atribut-atribut di atas, tidak saja mudah hilang dan tidak kekal, tetapi juga menghasilkan keterikatan yang berujung pada ketakutan.
Bagi saya, tubuh ini seperti sebuah air terjun yang amat indah. Disamping menyimpan banyak misteri, ia juga menunggu keheningan fikiran sebagai syarat untuk bisa tidaknya keindahan tadi dinikmati.
Nah, mereka yang demikian sibuk mencari atribut di luar, sudah lama dibuat buta dan tuli dengan keindahan air terjun di atas. Anda boleh coba, biasakan setiap hari melepas semua atribut. Dari mobil, rumah, jabatan sampai dengan sebutan orang lain. Awalnya, ada suasana terpaksa. Namun, begitu ia menjadi biasa, keindahan air terjun di atas mulai bisa Anda lihat.
Tentang waktu sebagai kekayaan paling berharga, saya punya pengandaian berguna. Bila uang tidak dipakai hari ini, masih bisa dipakai besok. Tetapi, bila hari ini tidak kita pakai, ia akan menguap begitu saja tanpa bekas.
Padahal, untuk memakai waktu hari ini, tidak diperlukan tenaga dan energi ekstra. Cukup bertanya ke diri sendiri, aspek mana dari waktu hari ini yang bisa dinikmati. Ketika macet, saya mencari wanita cantik yang bisa saya lihat. Tatkala dimarahi orang, saya paksa diri sendiri untuk menemukan hal lucu dari kemarahan tadi. Bila isteri cemberut, saya pergi ke driving range dekat rumah. Mudah, murah namun meriah.
Berkaitan dengan hubungan, ia ibarat taman di halaman rumah. Saat tertentu, ia memerlukan air. Saat lain butuh dipotong. Di waktu lain memerlukan pupuk. Yang jelas, tidak pernah ada taman yang asri tanpa pemeliharaan. Demikian juga dengan hubungan bersama orang lain. Ia memerlukan ketekunan, ketelatenan, kesabaran agar senantiasa asri.
Dengan anak mertua di rumah, saya kerap bersukur karena mendapat godaan besar ketika kedewasaan sudah tumbuh. Suatu hari, tanpa tahu apa yang terjadi, saya pernah dimarahi oleh isteri teman sampai menyentuh hati saya yang paling dalam. Ego saya mengatakan, orang ini mesti dibalas. Tetapi, begitu emosi ini mengendap, dalam sebuah sembahyang saya berdoa, mudah-mudahan isteri teman tadi dikaruniai dan dilindungi Tuhan. Dan, terpelihara rapilah hubungan saya dengan teman tadi.
Begitu membaca nasehat Robin Sharma tentang live life fully, saya teringat dengan karya Ron Jenson dengan judul Make A Life, Not Just Living. Rangkaian nasehat Jenson yang tidak pernah saya lupa berbunyi begini : “you’re also the only one with your background, your contact and your personality. Therefore, there are many things in this life that only you are qualified to do. This is a reality that you must fully embrace“.
Kita semua adalah mahluk unik. Manusia dengan kepribadian, latar belakang dan jaringan hubungan seperti Anda ya hanya Anda sendiri. Tidak ada yang persis sama seperti Anda. Untuk itu, pasti ada misi dan kesempatan di balik keunikan ini yang bisa digunakan oleh Anda sendiri. Sekali lagi pasti.
Saya adalah manusia dengan hobi menulis dan berbicara di depan umum. Karena kepribadian dan latar belakang tertentu, ada orang yang mau percaya. Gabungan dari semua ini, terbentuklah saya yang ada sekarang. Persoalan dianggap pintar atau bodoh, kaya atau miskin, sukses atau gagal, itu hanya sebutan orang lain. Yang jelas, saya amat mensukurinya.
Dengan seluruh cerita di atas, sudah siapkah Anda menjadi biarawan yang menjual ferrarinya?
Membaca tulisan saya dengan judul “menikah dengan diri sendiri”, seorang rekan seperti memperoleh cermin pemantul. Di umurnya yang sudah berkepala lima, betapa banyak waktu yang dialokasikan untuk berkelahi dengan orang yang ditemukannya di depan cermin. Dari umar sambel (untung masih ada rambut samping belakang), anggapan bahwa rezeki tetangga selalu lebih baik, isteri tidak mendukung sampai dengan prestasi anak-anak yang tidak membanggakan. Dalam totalitas, karena hidup penuh perkelahian dengan sang diri, rekan tadi menjalani kehidupan yang penuh dengan tikungan dan tanjakan.
Kisah rekan di atas, berbeda sekali dengan penuturan Denise Austin di jurnal Personal Excellence edisi Mei 1999. Dengan judul tulisan You Are Beautiful, Austin bertutur tentang persahabatannya yang intens dengan sang diri. Salah satu kesimpulan paling menarik dari guru fitness ini berbunyi: you are the most important event in your life. Demikian bersyukurnya Austin dengan diri dan kehidupannya, sampai-sampai menyebut manusia di depan cermin sebagai karunia paling besar selama hidupnya. Alhasil, disamping secara fisik Austin memang cantik, ia menerima banyak rezeki melalui profesinya sebagai guru fitness.
Rasa syukur yang mendalam akan sang diri ini, tentu saja tidak hanya monopoli manusia cantik seperti Austin. Max Cleland - seorang senator AS dari negara bagian Georgia yang harus duduk di kursi roda selama hidupnya sepulang dari perang Vietnam - malah jauh lebih bersyukur dari Austin yang cantik. Ia memiliki prinsip amat sederhana: strong at the broken places. (Perkasa di bagian-bagian kehidupan yang sudah berantakan). Dengan kehidupan di atas kursi roda Cleland memulai kahidupannya di depan publik. Menapaki tangga politisi sampai menjadi seorang senator. Dengan bangga ia bertutur ke banyak orang: I successfully turn my scars in to stars. Dengan kata lain, ia telah mentransformasikan ketakutan menjadi keberhasilan.
Mencermati semua ini, mungkin benar pendapat Denis Waitley - penulis buku Psychology of Winning - bahwa syarat pertama dan paling utama untuk menjadi pemenang kehidupan adalah kualitas penerimaan kita terhadap sang diri. Dengan menerima diri sendiri - lengkap bersama seluruh kelebihan dan kekurangannya - kita bisa bergerak dari posisi korban menjadi pemenang kehidupan.
Bayangkan, bagaimana bisa menjadi pemenang kalau setiap hari sibuk dengan keluhan, keluhan dan keluhan. Dengan keluhan, tidak hanya energi yang terkuras habis, tetapi secara sengaja kita sedang memproduksi kehidupan yang persis sama dengan yang dikeluhkan.
Henry Ford pernah mengatakan: believe in your best, think your best, study your best, have a goal for your best, never satisfied with less than the best, try your best, and in the long run, things will work out for the best. Selemah dan sejelek apapun Anda, tetap ada segi terbaik dalam diri Anda yang bisa dimanfaatkan. Temukan dan yakini aspek terbaik tadi, berfikirlah dalam bingkai terbaik tadi, pelajari sampai sekecil-kecilnya, lakukan dan berusahalah sebaik-baiknya. Dan, dalam jangka panjang, percayalah, kehidupan Anda akan bergerak menuju ke sudut-sudut kebaikan tadi.
Bertolak dari ini semua, mungkin ada baiknya dari sekarang untuk mencari apa segi terbaik dari diri kita. Coba ingat lagi, apa-apa saja yang sering Anda lakukan secara berulang-ulang di awal-awal kehidupan. Apa saja yang mudah menimbulkan kebanggaan. Bagian mana dari diri Anda yang acap dipuji orang banyak. Bisa dalam bentuk rambut, senyum, tubuh yang langsing, mudah membuat orang tertawa, atau malah sering didaulat ke depan disuruh nyanyi.
Berbekal hal terbaik tadi, ucapkan dengan penuh keyakinan ke orang di depan cermin: “Anda sebenarnya sangat simpatik“. Kalau kebetulan rambut Anda indah, katakan bahwa rambut Andalah yang tercantik di dunia. Bila mana perlu, tulislah kalimat tadi di atas cermin. Semakin sering kalimat ini diucapkan semakin baik. Sebab, ibarat echo atau pantulan, ucapan dan keyakinan terakhir tadi tidak saja memantul balik, tetapi juga memproduksi tubuh dan kehidupan.
Mengingat tindakan adalah jembatan paling kokoh antara keinginan dan kenyataan, terjemahkanlah semua hal terbaik di atas ke dalam sebanyak mungkin tindakan nyata. Dari mempelajari seluruh aspeknya, jaringannya dan jangan lupa mulai melangkahkan kaki.
Lakukanlah semua hal tadi dengan sebanyak mungkin pengulangan. Saya memang sempat disebut bodoh dengan mengemukakan konsep “pengulangan adalah ibunya kesempurnaan“. Seorang rekan pernah berucap, ada perbedaan antara orang tekun dengan orang bodoh. Orang bodoh - kata rekan tadi - melakukan sesuatu secara berulang-ulang karena telat mikir, dan terus mengulanginya kendati hidupnya mau bangkrut dan mau celaka.
Boleh saja orang berargumen demikian, namun saya masih meyakini, kesempurnaan akan menjadi milik siapa saja yang rajin melakukan pengulangan dan percobaan. Saya sudah teramat sering bertemu orang pintar, dan karena kepintarannya kemudian tidak sabar mengulang. Hasilnya, sering saya temukan, jauh lebih buruk dari orang bodoh namun disertai kesabaran mengagumkan untuk melakukan pengulangan.
Kembali ke cerita awal tentang kualitas penerimaan dengan sang diri, inipun memerlukan kuantitas dan kualitas pengulangan yang mengagumkan. Mudah-mudahan Anda menjadi pemenang.