Sunday, June 21, 2009

Nyoman Mimpi Jadi Presiden


Oleh Gede Prama

Pada zaman Orde Baru pernah ada rencana membuat film Nyoman Jadi Presiden, ternyata tidak lolos sensor. Ketika itu, jangankan manusia beneran, judul film pun tidak boleh ada kata ”menjadi presiden”. Kini berubah terbalik. Siapa saja boleh jadi presiden.

Ini membawa implikasi ke mana-mana, termasuk membuat anak kecil di Bali bernama Nyoman berfantasi menjadi presiden. Begitu kuat fantasinya, sampai-sampai semua kegiatan dilakukan sambil membayangkan dirinya jadi presiden.

Hubungan antara fantasi dan mimpi memang belum seluruhnya terang. Namun, suatu malam, Nyoman bermimpi jadi presiden, dilantik dan berpidato. Sebagaimana tradisi Timur umumnya, Nyoman juga diajari tetua untuk berdoa pada saat-saat penting. Untuk itu, dalam mimpi menjadi presiden, Nyoman berdoa, ”Kapan saja berjumpa orang, akan kupandang diriku yang paling hina. Dan jauh di kedalaman batin, akan kutempatkan orang lain di tempat paling mulia”.

Setelah melantunkan doa ini, Nyoman merenung sejenak, heran, tak mengerti dari mana inspirasi doa datang. Rasanya ia muncul spontan, bukan hafalan. Dan, seperti doanya belum lengkap, lagi-lagi bibirnya bergerak di luar kesadaran, ”Bila ada yang datang dengan sikap bermusuhan, membawa pedang amarah, api dendam, biarlah ia hadir seperti permata yang sulit ditemukan. Karena hanya melalui bara api dendam dan pedang amarah, bisa lahir bayi-bayi kesabaran dan kebijaksanaan”.

Seusai berdoa, Nyoman teringat guru yoga. Melalui sujud dan bakti kepada guru, segala kegelapan keraguan berubah menjadi cahaya terang pengertian dan bimbingan. Ia pun melakukan guru yoga dalam mimpi.

Merendah itu indah
Di Barat, lengkap dengan sejarah budayanya yang panjang, manusia diajarkan untuk percaya diri. Kualitas seseorang amat ditentukan seberapa tinggi percaya dirinya. Perhatikan mereka yang berhasil menjadi presiden AS. Jangankan saat benar, saat kalah pun berbicara penuh percaya diri. Ini layak dihormati sebagai salah satu cara bertumbuh.

Di Timur lain lagi. Meski sudah mulai ditinggalkan, bahkan dicurigai menjadi biang banyak keterbelakangan, tetua mengajarkan, ”Merendahlah, dan engkau akan diagungkan”. Perlambang yang kerap dikutip adalah padi di sawah, semakin berisi ia semakin merunduk. Simbol lain adalah bambu. Saat muda bambu bertumbuh ke atas, begitu dewasa ia merunduk rendah hati.

Inilah junjungan tetua di Timur. Seorang siswa pernah masuk ke pedalaman Dieng, Jawa Tengah. Di tengah penelitian, tiba-tiba ia dipanggil seorang tetua di tempat itu yang berjanggut panjang, mengenakan peci. Tetua itu berpesan, ”0rang bijaksana seyogianya berada di atas dualitas. Bukan dipermainkan dualitas (bersahabat dengan yang memuji, bermusuhan dengan yang mencaci), namun dengan sabar merangkul semuanya”.

Dan tugas merangkul lebih mudah dilakukan bila merendah. Bagi sebagian anak muda, merendah itu musibah. Namun, bagi tetua yang kaya rasa dan kaya makna, merendah itu indah. Persahabatan, kebahagiaan, ketenangan, keheningan, itulah buah kehidupan yang suka merendah.

Selain itu, dalam batin yang sudah bertumbuh dewasa, ia melihat jika kita sebenarnya adalah daun-daun di pohon yang sama, bintang-bintang di langit yang sama. Setiap pelayanan yang diberikan kepada pihak lain akan balik ke diri ini sebagai pelayanan. Inilah yang melampaui dualitas.

Itu sebabnya semua manusia di jalan ini mengabdikan hidup untuk pelayanan. Ada yang melayani orang sekarat, seperti Ibu Theresa. Ada yang menyelamatkan korban perang, seperti Thich Nhat Hanh. Ada yang menghabiskan waktu dengan memerangi kemiskinan, seperti Mohammad Yunus. Tentu lebih indah lagi bila tugas-tugas pelayanan ini dilakukan saat seseorang masih duduk di kursi kekuasaan. Dalam bahasa tetua, kekuasaan adalah terbukanya gerbang pelayanan, bukan kesempatan untuk melakukan pembalasan.


Bayi kebijaksanaan


Tetua berpesan, kesulitan itu ada tidak untuk membuat kita tumbang, tetapi kesempatan untuk menunjukkan kekokohan. Seperti pepatah tua, bad weather makes good timber. Cuaca buruk menyisakan kayu-kayu kokoh. Begitulah pohon-pohon kebijaksanaan memperlihatkan dirinya. Dengan demikian memberi pelajaran, api amarah, pedang dendam lawan, memang bisa mematikan. Namun, dalam kelenturan air, api maupun pedang sama- sama tidak berdaya. Api tidak bisa membakar air, pedang tidak berdaya memotong air.

Kelenturan air kerap digunakan sebagai simbol kebijaksanaan. Air berjalan dari hulu yang jauh, tetapi sampai ke samudra. Dan, satu-satunya kekuatan yang membuat air bisa melewati semua penghalang karena sifatnya yang lentur. Berbicara kelenturan, lagi-lagi harus kembali ke ladang pelayanan. Karena itulah hakikat kepemimpinan.

Kesehatan, pendidikan, kemiskinan, dan keterbelakangan adalah ruang publik yang lapar pelayanan. Kesehatan bermakna lebih luas dari sekadar berobat gratis, tetapi juga melibatkan pendidikan. Dulu, sebagian penyakit disebabkan salah makan. Kini (sebagaimana dikemukakan banyak peneliti), sebagian besar penyakit bersumber pada salah pikiran.

Pikiran inilah yang lebih layak disehatkan. Menambah daftar larangan untuk menyehatkan pikiran masyarakat hanya akan memperpanjang guncangan. Namun, memulai langkah keteladanan yang lurus, jujur, bersih, dan jernih lebih membantu dalam hal ini. Lee Kuan Yew adalah seorang guru. Tahun pertama diteriaki, tahun kedua dimaki, tahun ketiga dilempari api, tetapi karena lurus, jujur, dan konsisten, semua teriakan kemudian berhenti.

Maka, ada yang menulis, the inner science of transformation: aspiration, habituation, commitment, consistency. Niat itu langkah awal. Membiasakan diri agar niat menjadi kenyataan, itu langkah kedua. Membuat komitmen agar tetap berjalan lurus tanpa bisa ditawar, itu hal berikut. Namun, konsistensi kemudian mengibarkan bendera perubahan.

Ah, maafkanlah mimpi. Meminjam istilah Sigmund Freud dalam The Interpretation of Dream, mimpi bagi kebanyakan orang memang bunga tidur. Namun, tidak sedikit para Sufi dan Yogi yang menggunakan mimpi sebagai medium penting untuk terhubung ke alam lebih tinggi. Maka, di Timur dikenal praktik dream yoga.

Sumber: Kompas, 20 Juni 2009