Friday, December 19, 2008

Penyembuhan, Perdamaian, Pencerahan


Oleh: Gede Prama

Kasih Ibu kepada beta/Tak terhingga sepanjang masa/Hanya memberi tak akan kembali/ Bagai sang surya menyinari dunia

Langkah PBB mengadakan dialog antaragama (13/11/2008) patut dihargai. Membuat 70 kepala negara menandatangani deklarasi perdamaian tentu sebuah prestasi. Namun, membuat deklarasi menjadi aksi, itu lain lagi sebab deklarasi dan aksi tidak selalu sejalan.

Hanya dua pekan seusai penandatanganan deklarasi perdamaian (27/11/2008), senjata teroris mencabut nyawa manusia di Mumbai, India. Kemarahan bak mesin kekerasan yang mengalahkan segalanya. Pada titik ini, mungkin bijaksana belajar mengonstruksi perdamaian dengan fondasi penyembuhan.

Penyembuhan holistik

Banyak guru sepakat, kekotoran batin (keserakahan, kemarahan, dan ketidaktahuan) itulah penyakit sesungguhnya. Maka, dalam tataran rendah, seseorang disebut sembuh secara spiritual bila sadar bahayanya kekotoran batin. Kesadaran, itulah penjaganya. Pada tingkatan sedang, seseorang mulai lapar berbuat baik. Pada tingkat tinggi, dualitas kebaikan kejahatan terlampaui. Semua datang dan pulang ke tempat yang sama sehingga tidak ada lagi hal luar yang membuat batin mudah membakar.

Maka, mudah dimengerti bila Martin Luther King Jr mengemukakan, ”Happiness depended on healing the whole situation.” Atau Pema Chodron: To be healed, everyone has to be healed. Dengan kata lain, penyembuhan holistik lebih mungkin terjadi saat manusia sadar dirinya tidak terpisah dengan yang lain.

Di Timur, kata yang banyak dikagumi adalah bodhi (bangun). Bangun dari ilusi jika ada diri yang terpisah. Karena batin belum bangun, lalu ada orang bertindak jahat.

Selain kesadaran dan kesabaran, penting mengajarkan pemahaman jika semuanya serba terhubung. Matinya kupu-kupu di Bali memengaruhi suasana hati manusia di Vancouver. Fisikawan Fritjof Capra menyebutnya the hidden connections. Antropolog sosial Gregory Bateson merumuskan sebagai the pattern that connects. Ia yang paham akan hal ini, jangankan membunuh manusia, menginjak rumput pun harus minta maaf.


Penggembala domba


Dalam peta dunia yang ditandai berlimpahnya kekerasan, kehidupan memerlukan banyak penyembuh. Ada tiga tipe penyembuh: raja, kapten kapal, dan penggembala domba.

Dalam tipe raja, seseorang bisa menyembuhkan jika sudah tersembuhkan. Dalam pola kapten kapal, kita berlayar bersama, sampai di tanah penyembuhan bersama. Dalam kehidupan penggembala domba, ia harus yakin kalau semua domba bisa makan, baru kemudian gembala makan bagi dirinya.

Pola penggembala domba adalah yang paling mulia, sekaligus paling mungkin dilakukan banyak orang. Tidak perlu tersembuhkan dulu hanya untuk melakukan apa yang ditugaskan kehidupan sebaik-baiknya.

Yang punya taman menata tamannya sehijau dan seindah mungkin, ada sejumlah kupu, semut, cacing, kodok, dan tidak terhitung makhluk yang hidup di sana. Yang punya media (surat kabar, radio, dan televisi) menggunakannya untuk menyejukkan hati banyak orang. Yang punya jabatan (presiden, gubernur, bupati, dan lainnya) menggunakan jabatan untuk mengurangi kemiskinan. Yang punya anak menyayangi anaknya. Inilah sebagian contoh nyata bagaimana menjadi penggembala domba.

Ia yang menyediakan hidupnya untuk penyembuhan pihak lain suatu saat tidak saja ikut sembuh dan damai, tetapi juga mengalami ultimate healing (pencerahan). Meminjam bahasa orang bijaksana: ”dalam memberi, manusia tersembuhkan”. Dengan demikian, orang biasa juga bisa membuat sesuatu yang berbeda dengan membuat dirinya terhubung melalui pemberian dan perhatian.

Seorang kawan di Barat berpesan, ”The most significant step one can make toward global peace is to soften our heart”. Membuat hati menjadi lembut, itulah peran terbesar yang bisa diberikan pada perdamaian global. Hasilnya, manusia bisa terhubung dengan bagian kehidupan yang teduh sekaligus menyentuh.

Mirip kepompong yang keluar dari rumahnya, lalu terbang menjadi kupu-kupu seperti sudah memiliki semua yang ada di alam, demikian juga manusia yang tekun menjadi penggembala domba. Keberaniannya keluar dari rumah kecil keakuan (diri yang terpisah), lalu membuatnya keluar terbang memasuki alam pencerahan. Tidak saja sembuh, damai, dan tercerahkan, tetapi seperti kupu-kupu, semua yang ada di alam menjadi ”miliknya”.

Mirip lagu anak-anak di awal. Ia yang tercerahkan menjadi ibu bagi semua. Serta sadar makhluk hidup penyebab pencerahan. Saat mereka mengganggu, sebenarnya sedang mengajarkan kesabaran. Saat mereka menderita, sebenarnya sedang membangkitkan welas asih kita. Duka mereka duka kita. Ikut berduka atas tragedi kemanusiaan di Mumbai, India.

Gede Prama Bekerja di Jakarta, Tinggal di Bali Utara
Kompas, Sabtu, 20 Desember 2008