Friday, December 19, 2008

Penyembuhan, Perdamaian, Pencerahan


Oleh: Gede Prama

Kasih Ibu kepada beta/Tak terhingga sepanjang masa/Hanya memberi tak akan kembali/ Bagai sang surya menyinari dunia

Langkah PBB mengadakan dialog antaragama (13/11/2008) patut dihargai. Membuat 70 kepala negara menandatangani deklarasi perdamaian tentu sebuah prestasi. Namun, membuat deklarasi menjadi aksi, itu lain lagi sebab deklarasi dan aksi tidak selalu sejalan.

Hanya dua pekan seusai penandatanganan deklarasi perdamaian (27/11/2008), senjata teroris mencabut nyawa manusia di Mumbai, India. Kemarahan bak mesin kekerasan yang mengalahkan segalanya. Pada titik ini, mungkin bijaksana belajar mengonstruksi perdamaian dengan fondasi penyembuhan.

Penyembuhan holistik

Banyak guru sepakat, kekotoran batin (keserakahan, kemarahan, dan ketidaktahuan) itulah penyakit sesungguhnya. Maka, dalam tataran rendah, seseorang disebut sembuh secara spiritual bila sadar bahayanya kekotoran batin. Kesadaran, itulah penjaganya. Pada tingkatan sedang, seseorang mulai lapar berbuat baik. Pada tingkat tinggi, dualitas kebaikan kejahatan terlampaui. Semua datang dan pulang ke tempat yang sama sehingga tidak ada lagi hal luar yang membuat batin mudah membakar.

Maka, mudah dimengerti bila Martin Luther King Jr mengemukakan, ”Happiness depended on healing the whole situation.” Atau Pema Chodron: To be healed, everyone has to be healed. Dengan kata lain, penyembuhan holistik lebih mungkin terjadi saat manusia sadar dirinya tidak terpisah dengan yang lain.

Di Timur, kata yang banyak dikagumi adalah bodhi (bangun). Bangun dari ilusi jika ada diri yang terpisah. Karena batin belum bangun, lalu ada orang bertindak jahat.

Selain kesadaran dan kesabaran, penting mengajarkan pemahaman jika semuanya serba terhubung. Matinya kupu-kupu di Bali memengaruhi suasana hati manusia di Vancouver. Fisikawan Fritjof Capra menyebutnya the hidden connections. Antropolog sosial Gregory Bateson merumuskan sebagai the pattern that connects. Ia yang paham akan hal ini, jangankan membunuh manusia, menginjak rumput pun harus minta maaf.


Penggembala domba


Dalam peta dunia yang ditandai berlimpahnya kekerasan, kehidupan memerlukan banyak penyembuh. Ada tiga tipe penyembuh: raja, kapten kapal, dan penggembala domba.

Dalam tipe raja, seseorang bisa menyembuhkan jika sudah tersembuhkan. Dalam pola kapten kapal, kita berlayar bersama, sampai di tanah penyembuhan bersama. Dalam kehidupan penggembala domba, ia harus yakin kalau semua domba bisa makan, baru kemudian gembala makan bagi dirinya.

Pola penggembala domba adalah yang paling mulia, sekaligus paling mungkin dilakukan banyak orang. Tidak perlu tersembuhkan dulu hanya untuk melakukan apa yang ditugaskan kehidupan sebaik-baiknya.

Yang punya taman menata tamannya sehijau dan seindah mungkin, ada sejumlah kupu, semut, cacing, kodok, dan tidak terhitung makhluk yang hidup di sana. Yang punya media (surat kabar, radio, dan televisi) menggunakannya untuk menyejukkan hati banyak orang. Yang punya jabatan (presiden, gubernur, bupati, dan lainnya) menggunakan jabatan untuk mengurangi kemiskinan. Yang punya anak menyayangi anaknya. Inilah sebagian contoh nyata bagaimana menjadi penggembala domba.

Ia yang menyediakan hidupnya untuk penyembuhan pihak lain suatu saat tidak saja ikut sembuh dan damai, tetapi juga mengalami ultimate healing (pencerahan). Meminjam bahasa orang bijaksana: ”dalam memberi, manusia tersembuhkan”. Dengan demikian, orang biasa juga bisa membuat sesuatu yang berbeda dengan membuat dirinya terhubung melalui pemberian dan perhatian.

Seorang kawan di Barat berpesan, ”The most significant step one can make toward global peace is to soften our heart”. Membuat hati menjadi lembut, itulah peran terbesar yang bisa diberikan pada perdamaian global. Hasilnya, manusia bisa terhubung dengan bagian kehidupan yang teduh sekaligus menyentuh.

Mirip kepompong yang keluar dari rumahnya, lalu terbang menjadi kupu-kupu seperti sudah memiliki semua yang ada di alam, demikian juga manusia yang tekun menjadi penggembala domba. Keberaniannya keluar dari rumah kecil keakuan (diri yang terpisah), lalu membuatnya keluar terbang memasuki alam pencerahan. Tidak saja sembuh, damai, dan tercerahkan, tetapi seperti kupu-kupu, semua yang ada di alam menjadi ”miliknya”.

Mirip lagu anak-anak di awal. Ia yang tercerahkan menjadi ibu bagi semua. Serta sadar makhluk hidup penyebab pencerahan. Saat mereka mengganggu, sebenarnya sedang mengajarkan kesabaran. Saat mereka menderita, sebenarnya sedang membangkitkan welas asih kita. Duka mereka duka kita. Ikut berduka atas tragedi kemanusiaan di Mumbai, India.

Gede Prama Bekerja di Jakarta, Tinggal di Bali Utara
Kompas, Sabtu, 20 Desember 2008

Friday, November 14, 2008

Lukisan Indah Kebijaksanaan


Kompas, Sabtu, 15 November 2008
Oleh: Gede Prama


Terowongan gelap tidak berujung, mungkin itu metafora kehidupan zaman ini. Kekayaan kehidupan anak-anak biasanya harapannya akan masa depan. Dan, saat tua tidak sedikit yang membanggakan masa lalu.

Keadaannya mirip kucing yang mengejar bayangannya sendiri. Pada pagi hari (masa muda) bayangannya ada di barat dikejar dan tidak ketemu. Pada sore hari (umur tua) bayangannya ada di timur, lagi-lagi dikejar juga tidak ketemu. Sadar bahaya ini, ada yang memotong lingkaran kegelapan dengan meyakini kehidupan berawal pada masa sekarang dan berakhir pada masa sekarang.

Masa lalu telah berlalu, masa depan belum datang. Namun, melalui tindakan pada masa kini, keduanya bisa dibuat kian terang atau gelap. Sebutlah Ibu yang sudah meninggal, tetapi belum sempat dibahagiakan. Masa lalu membuat kehidupan kian suram jika masa kini diisi penyesalan, rasa bersalah, tidak bisa memaafkan diri sendiri. Sebaliknya ini bisa menjadi awal terang jika pengalaman tidak mengenakkan ini dijadikan titik awal untuk banyak membahagiakan orang.

Di Tibet, makhluk hidup diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi mother being. Terutama karena diyakini jika semua makhluk pernah menjadi Ibu kita pada masa lalu. Dengan demikian, bila rajin membahagiakan orang atau makhluk lain, kita juga sudah membahagiakan ibu. Selain itu, membahagiakan orang adalah salah satu persiapan terbaik menyongsong masa depan. Inilah transformasi spiritual, rasa bersalah akan masa lalu dan takut akan masa depan, diolah sekaligus dinikmati hari ini.

Guru sebagai cahaya

Inilah tanda-tanda manusia yang mulai terbimbing. Dalam setiap kejadian (menyenangkan maupun menjengkelkan) ada cahaya bimbingan. Di Timur, ia disebut munculnya guru simbolik. Tidak ada kebetulan, semua hanya bimbingan. Cuma, sebagian bisa dimengerti kini, sebagian dimengerti nanti.

Sayang, amat sedikit manusia yang lahir di zaman ini memiliki berkah spiritual berjumpa guru. Untuk itu, bagi orang-orang mengagumkan, seperti Jalalludin Rumi, perjumpaan dengan guru adalah berkah spiritual yang amat disyukuri. Segelintir sahabat yang berjumpa guru menyebutkan, hanya dengan mendengar namanya sebagian ketakutan akan neraka langsung sirna.

Karena itu, tidak sedikit pencari yang menghabiskan waktu, tenaga, dan dana untuk mencari guru. Idealnya, pencarian dimulai dengan berjumpa guru hidup. Lalu perintah-perintah guru hidup ini diperkaya guru dalam bentuk buku suci. Ia yang sudah memadukan guru hidup dengan buku suci lalu berjumpa guru simbolik dalam keseharian. Puncaknya tercapai saat ketiga guru ini menjelma menjadi guru dalam diri. Orang jenis ini seperti membawa lentera ke mana-mana. Tidak ada lagi kegelapan yang tersisa.

Kematian

Bagi mereka yang belum diberkahi perjumpaan dengan guru hidup, disarankan menjaga diri dengan etika. Praktik serius etika ini mungkin membimbing seseorang menjumpai guru simbolik. Di antara banyak guru simbolik, kematian adalah guru simbolik paling agung.

Perhatikan pendapat Dzogchen Ponlop dalam Mind beyond death: ”in order to die well, one must live well”. Agar matinya indah, belajarlah hidup secara indah (baca: hidup penuh cinta).


Maka, tidak sedikit guru meditasi yang menggunakan kematian sebagai sumber air perenungan yang tidak habis-habis. Pertama-tama meditator membayangkan tubuhnya mati. Badan kaku, membiru, orang-orang dekat menangis dan seterusnya.

Diterangi cahaya keikhlasan, kematian terlihat sebagai kembalinya unsur badan ke rumah aslinya. Unsur tanah kembali ke tanah, unsur air kembali ke air, unsur api kembali ke api, unsur udara kembali ke udara, unsur ruang kembali ke ruang. Dalam bahasa tetua Bali, kematian disebut mulih ke desa wayah (pulang ke rumah sesungguhnya).

Ia yang merenungkan kematian menjadi lebih tenang, santun, baik, dan rendah hati. Bukankah ketenangan dan kebajikan adalah teman paling berguna dalam kematian? Selain itu, kematian juga berubah wajah menjadi guru simbolik yang membimbing menapaki tangga kemuliaan. Mungkin ini sebabnya Santo Paulus mengemukakan l die every day.

Bila boleh jujur, tiap hari kita mengalami kematian. Seusai sarapan, kita berpisah dengan rasa enak (matinya rasa enak di mulut). Berangkat ke kantor, manusia berpisah dengan rasa nyaman di rumah (matinya rasa nyaman tinggal di rumah). Mengakhiri meditasi, meditator berpisah dengan keindahan konsentrasi (matinya kedamaian meditasi). Dalam wajahnya yang mendasar, kematian menakutkan karena ada perpisahan. Bila terbiasa dengan perpisahan sehari-hari, perpisahan melalui kematian akan menjadi suatu yang biasa.

Meminjam ajaran Tibetan book of the dead, wajah kematian terindah bertemu saat semua tahapan antara kematian dan kehidupan berikutnya (bardo) terlewati secara tenang-seimbang. Maka, disarankan untuk memperlakukan semua kejadian dalam hidup (dipuji-dicaci, sukses-gagal, meditasi sampai mimpi) sebagai bardo. Tidak ada apa- apa, yang menyenangkan maupun menakutkan hanya pancaran kesadaran murni. Sebagaimana dinyanyikan berulang-ulang oleh pertapa Milarepa: ”death is not a death for a yogi; it is a little enlightenment”. Dalam kehidupan pertapa, kematian muncul tanpa ditemani ketakutan, ia hanya sebuah pengalaman kecil pencerahan.

Inilah ujung terowongan kegelapan. Lalu muncul cahaya bimbingan. Kegagalan, ketakutan, bahkan kematian pun memancarkan sinar terang pengertian. Karena ketakutan akan kematian adalah ibu semua ketakutan, maka begitu ia lenyap, ketakutan lain pun sirna. Sebagai hasilnya, batin menjadi bersih dan jernih sempurna. Cirinya cara memandang, niat, kata-kata, perbuatan, sumber penghasilan, daya upaya, perhatian dan konsentrasi semua menjadi serba bijaksana. Kehidupan lalu berubah wajah menjadi lukisan indah kebijaksanaan. Gambarnya cinta, bingkainya keikhlasan.

Di Ubud Bali ada wanita bule yang tidak lagi muda tekun memelihara anjing-anjing liar tak bertuan. Kendati pengertiannya akan cinta tidak mendalam, dengan tekun ia melakukannya dalam waktu lama. Pengertian yang disertai keraguan kadang menjadi penghalang keikhlasan. Kehidupan wanita bule ini sedang menggoreskan tinta keindahan: cinta dan keikhlasan melukis kebijaksanaan.

Gede Prama Bekerja di Jakarta, tinggal di Desa Tajun Bali Utara



Sunday, October 19, 2008

Nur Dari Timur


Oleh: Gede Prama
Kompas, Sabtu, 18 Oktober 2008

Ia yang pernah hidup di Barat tahu kalau berbicara itu amat penting. Dibandingkan kehidupan di Timur, lebih banyak hal di Barat yang diekspresikan dengan kata-kata.

Fight, argue, dan complain, itulah ciri-ciri manusia yang disebut ”hidup” di Barat. Tanpa perlawanan, tanpa adu argumentasi, orang dianggap ”tidak hidup” di Barat. Intinya, melawan itu kuat, diam itu lemah, melawan itu cerdas, dan pasrah itu tolol.

Dengan latar belakang berbeda, pola hidup ala Barat ini menyebar cepat melalui televisi, internet, radio, media, dan lainnya. Dengan bungkus seksi demokrasi, hak asasi manusia, semua dibawa ke Timur sehingga dalam banyak keadaan (angka bunuh diri naik di Jepang, Thailand mengalami guncangan politik, Pakistan ditandai pembunuhan politik), banyak manusia di Timur mengalami kebingungan roh Timur dengan baju Barat.

Perhatikan kehidupan desa sebagai barometer. Tanpa banyak berdebat siapa yang akan menjadi presiden, ke mana arah masa depan, partai apa yang akan menang. Di desa yang banyak burungnya, tetapi manusianya banyak menonton televisi (sebagai catatan, realita di desa amat sederhana, tontonan di televisi amat menggoda), tema hidup setiap pagi adalah ”burung menyanyi, manusia mencaci”.

Berhenti melawan

Bayangkan seseorang yang tidak bisa berenang lalu tercemplung ke sungai yang dalam. Pertama-tama ia melawan. Setelah itu tubuhnya tenggelam. Karena tidak bisa bernapas, meninggallah ia. Anehnya, setelah meninggal tubuhnya mengapung di permukaan air. Dan alasan utama mengapa tubuh manusia meninggal kemudian mengapung karena ia berhenti melawan.

Ini memberi inspirasi, mengapa banyak manusia tenggelam (baca: stres, depresi, banyak penyakit, konflik, perang) karena terus melawan. Yang menjadi guru mau jadi kepala sekolah. Orang biasa mau jadi presiden. Pegawai mau cepat kaya seperti pengusaha. Intinya, menolak kehidupan hari ini agar diganti kehidupan yang lebih ideal kemudian. Tidak ada yang melarang seseorang jadi presiden atau pengusaha, hanya alam mengajarkan, semua ada sifat alaminya Seperti burung sifat alaminya terbang, serigala berlari, dan ikan berenang.

Suatu hari konon binatang iri dengan manusia karena memiliki sekolah. Tak mau kalah, lalu didirikan sekolah berenang dengan gurunya ikan, sekolah terbang gurunya burung, sekolah berlari gurunya serigala. Setelah mencoba bertahun-tahun semua binatang kelelahan. Di puncak kelelahan, baru sadar kalau masing-masing memiliki sifat alami. Dalam bahasa tetua di Jawa, puncak pencaharian bertemu saat seseorang mulai tahu diri.


Meditasi tanpa perlawanan


Nyaris semua manusia begitu berhadapan dengan persoalan, penderitaan langsung bereaksi mau menyingkirkannya. Bosan lalu cari makan. Jenuh kemudian cari hiburan. Sakit lalu buru-buru mau melenyapkannya dengan obat. Inilah bentuk nyata dari hidup yang melawan sehingga berlaku rumus sejumlah psikolog what you resist persist. Apa saja yang dilawan akan bertahan. Ini yang menerangkan mengapa sejumlah kehidupan tidak pernah keluar dari terowongan kegelapan karena terus melawan.

Berbeda dengan hidup kebanyakan orang yang penuh perlawanan, di jalan meditasi manusia diajari agar tidak melawan. Mengenali tanpa mengadili. Melihat tanpa mengotak-ngotakkan. Mendengar tanpa menghakimi. Bosan, sakit, sehat, senang, dan sedih semua dicoba dikenali tanpa diadili. Ia yang rajin berlatih mengenali tanpa mengadili, suatu hari akan mengerti.

Dalam bahasa Inggris, mengerti berarti understanding, bila dibalik menjadi standing under. Seperti kaki meja, kendati berat menahan, ia akan berdiri tegak menahan meja. Demikian juga dengan meditator. Persoalan tidak buru-buru dienyahkan, penderitaan tidak cepat disebut sebagai hukuman, tetapi dengan tekun ditahan, dikenali, dan dipelajari. Setelah itu terbuka rahasianya, ternyata keakuan adalah akar semua penderitaan. Semakin besar keakuan semakin besar penderitaan, semakin kecil keakuan semakin kecil persoalan. Keakuan ini yang suka melawan.

Indahnya, sebagaimana dialami banyak meditation master, saat permasalahan, penderitaan sering dimengerti dalam-dalam sampai ke akar-akarnya, diterangi dengan cahaya kesadaran melalui praktik meditasi, ia lalu lenyap. Ini mungkin penyebab mengapa Charlotte JokoBeck dalam Nothing Special menulis, ”Sitting is not about being blissful or happy. It’s about finally seeing that there is no real difference between listening to a dove and listening to somebody criticizing us”. Inilah berkah spiritual meditasi. Tidak ada perbedaan antara mendengar merpati bernyanyi dan mendengar orang mencaci. Keduanya hanya didengar. Yang bagus tak menimbulkan kesombongan. Yang jelek tak menjadi bahan kemarahan. Pujian berhenti menjadi hulunya kecongkakan. Makian berhenti menjadi ibunya permusuhan.

Saat melihat hanya melihat. Ketika mendengar hanya mendengar. Perasaan suka-tidak suka berhenti menyabotase kejernihan dan kedamaian. Meminjam lirik lagu Bob Marley dalam Three little birds: don’t worry about the things, every single thing would be allright. Tidak usah khawatir, semua sudah, sedang, dan akan berjalan baik. Burung tak sekolah, tak mengenal kecerdasan, tetapi terhidupi rapi oleh alam, apalagi manusia. Inilah meditasi tanpa perlawanan. Paham melalui praktik (bukan dengan intelek) jika keakuan akar kesengsaraan. Begitu kegelapan keakuan diterangi kesadaran, ia lenyap. Tidak ada yang perlu dilawan.

Seorang guru yang telah sampai di sini berbisik: the opposite of injustice is not justice, but compassion. Selama ketidakadilan bertempur dengan keadilan, selama itu juga kehidupan mengalami keruntuhan. Hanya saling mengasihi yang bisa mengakhiri keruntuhan. Sejumlah sahabat di Barat yang sudah membadankan kesempurnaan meditasi seperti ini kerap menyebut ini dengan Nur dari Timur. Cahaya penerang dari Timur di tengah pekatnya kegelapan kemarahan, kebencian, ketidakpuasan, dan kebodohan. Seperti listrik bercahaya karena memadukan positif-negatif, meditasi hanya perpaduan kesadaran-kelembutan, membuat batin bisa menerangi diri sendiri.

More Gede Prama Articles


Friday, September 12, 2008

Mengolah Kebakaran Menjadi Keteduhan


Oleh: Gede Prama
Kompas, Sabtu, 13 September 2008

Teriakan ”kebakaran, kebakaran” merupakan ekspresi panik tiap manusia yang rumahnya terbakar.

Hal serupa juga terjadi dalam peradaban manusia. Di mana- mana terjadi kebakaran. Jangankan pengusaha dan politisi yang dari asalnya sudah dibakar uang dan kekuasaan, para intelektual, seniman, bahkan dalam beragama pun banyak manusia terbakar. Jangankan negara berkembang yang baru mengenal pendidikan dan demokrasi, AS yang duduk lama sebagai guru dunia mengalami ribuan kasus pelecehan agama setiap tahun.

Akibatnya, sejarah seperti bergerak dari satu kebakaran ke kebakaran lain. Bunda Theresa punya pendapat menarik, The problem of the world is that we draw too narrow line on our concept of family. Tidak saja dalam konsep keluarga manusia mengalami penyempitan dan kepicikan, nyaris dalam segala hal terjadi penyempitan dan kepicikan. Dulu, hubungan sepupu itu dekat. Kini, banyak orang yang bersaudara kandung pun menjadi jauh. Dulu, begitu mudah membuat keputusan untuk kepentingan bersama. Kini, yang sederhana pun dibikin rumit. Akibatnya, terlalu banyak titik api dalam kehidupan manusia.

Api menjadi air

Salah satu perlambang alam yang membawa kesejukan adalah air yang secara kimiawi dirumuskan, H20. Hidrogen adalah bahan yang mudah terbakar. 0ksigen adalah yang memungkinkan kebakaran terjadi. Uniknya, ketika dua bahan sama-sama dekat api ini tepat diramu, ia menjadi air yang sejuk, teduh, dan lembut.

Ini memberi inspirasi, lingkungan boleh penuh kebakaran, zaman boleh berputar putaran yang banyak apinya, tetapi bila semua diolah secara tepat, manusia bisa mengalami hidup penuh keteduhan, kesejukan. Perhatikan banyak manusia yang tekun berlatih di jalan spiritual (zikir, kontemplasi, yoga, meditasi, dan lain-lain) sebelum berlatih banyak yang hidupnya terbakar. Namun, bahan-bahan kehidupan yang membakar itu diolah dengan latihan spiritual, banyak yang hidupnya menjadi teduh, sejuk, dan lembut.


Pema Chodron dalam When Things Fall Apart adalah contoh indah. Setelah 20 tahun lebih sebagai ibu rumah tangga, tiba-tiba hidupnya terbakar perceraian. Kebakaran ini membawanya berkenalan dengan meditasi. Di pusat-pusat meditasi umumnya, tangga pertama adalah etika dan tata susila. Ketekunan latihan yang dibimbing etika menghantar seseorang mengalami konsentrasi (semadi). Ia yang sering mengalami konsentrasi, suatu saat dibukakan pintu sejuk kebijaksanaan. Dalam pengalaman Pema Chodron, tak saja hidupnya menjadi sejuk dan lembut, bahkan diakui sebagai salah satu meditation master.

Thich Nhat Hanh dalam retretnya pernah cerita sampah dan bunga. Manusia yang terbakar punya ciri sama: serakah mau bunga, mencampakkan sampah. Menerima teman membuang musuh. Teman ibarat bunga, musuh ibarat sampah. Bunga yang tidak terawat baik besok jadi sampah. Sampah (asal bisa merawatnya) akan menjadi bunga.

Cara terbaik mengolah sampah kehidupan menjadi bunga indah kehidupan adalah dengan menerapkan etika dan tata susila. Hentikan kejahatan, perbanyak kebajikan, murnikan pikiran. Tidak kebetulan jika kemudian kata sila dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang membuat seseorang menjadi sejuk dan lembut.

Tidak sedikit guru yang menyebut ini sebagai jantung spiritualitas: bersihkan batin dari segala kekotoran (keserakahan, kemarahan, kebencian), lalu lihat dan rasakan sendiri bagaimana pintu keteduhan terbuka.

Memberi itu menyejukkan

Menyusul berita perampokan disertai pembunuhan di Jawa Tengah, seorang guru di Mendut ditanya muridnya apakah beliau mengenal korban perampokan. Guru ini menjawab dengan lembut, ”Sakit fisik (sebagaimana dialami korban perampokan) menimbulkan rasa kasihan. Sakit mental (sebagai sebab seseorang merampok) menimbulkan kebencian. Rasa kasihan maupun kebencian, keduanya kekotoran batin. Pancarkan sinar kasih pada keduanya.” Inilah ciri manusia yang sudah bisa mengolah kebakaran menjadi keteduhan: tidak serakah memilih baik di atas buruk, lalu memancarkan sinar kasih kepada siapa saja.

Dalam pemahaman seperti ini, masalah akan datang, godaan juga berkunjung, tetapi yang penting adalah bagaimana mengolahnya. Thich Nhat Hanh mengajarkan, saat hidup penuh bunga (baca: kaya, dipuja), jangan lupa semua bunga akan jadi sampah. Bila hidup penuh sampah (baca: cacian, hujatan), ingatlah untuk mengolahnya menjadi bunga.

Di tangan manusia yang cermat, sampah diolah menjadi bunga. Tak setitik debu pun tidak berguna. Larry Rosenberg memberi judul karyanya Living in the light of death. Dalam batin jenis ini, kematian pun menjadi cahaya penerang perjalanan. Perhatikan kesimpulan Larry Rosenberg: ”The awakened mind is the mind that is intimate with all things”. Batin tercerahkan adalah batin yang bersahabat dengan semua, termasuk dengan kematian.

Seorang wartawati AS yang bertugas ke Israel berjumpa dengan orang yang berdoa menghadap tembok pada pagi-sore tanpa henti setiap hari. Saat ditanya sudah berapa lama berdoa seperti ini, ia menjawab lebih dari 25 tahun. Saat ditanya hasilnya, ia bergumam: ”ada yang berdoa saja dunia seperti ini, tidak terbayang wajah kehidupan bila tidak ada yang berdoa”. Inilah wajah lain batin yang sejuk: berdoa untuk keselamatan semua.

Sejumlah sahabat bertanya, ada apa di Bali sehingga mudah menimbulkan kedamaian. Sebagaimana diajarkan tetua di Bali, hidup adalah persembahan. Untuk itu, mengerti tidak mengerti, berbuah tidak berbuah, ribuan orang Bali melakukan persembahan setiap hari. Tidak hanya sesajen sebagai persembahan, bertani, menari, memukul gamelan, semua adalah persembahan.

Dalam klasifikasi sederhana, persembahan luar (outer offering) adalah sesajen. Persembahan dalam (inner offering) adalah pikiran, kata-kata, dan tindakan yang teduh. Persembahan terdalam (innermost offering) hanya boleh diceritakan di antara para guru. Yang boleh dibuka hanya batin jadi teduh. Charlotte Joko Beck dalam Nothing Special menyimpulkan: practice is giving. Memberikan itu menyejukkan. Itu sebabnya manusia berlatih berbahagia dalam memberikan.

Gede Prama Bekerja di Jakarta, Tinggal di Desa Tajun Bali Utara

Sunday, August 31, 2008

Pertanyaan Yang Merubah Dunia


Bayangkan seorang pemuda bujangan yang bertemu gadis cantik nan menawan. Bila pemuda ini ingin tahu status gadis terakhir, pertanyaan apa yang harus diajukan, agar dua tujuan - tahu statusnya, dan ada simpati yang muncul - bisa dicapai melalui satu pertanyaan saja?

Saya sering mengajukan pertanyaan ini di depan ribuan pemimpin. Terutama, untuk mengetahui, seberapa cermat orang menggunakan pertanyaan sebagai sarana ampuh kepemimpinan.

Pemimpin yang belum terlalu biasa menggunakan pertanyaan sebagai sarana kepemimpinan, sering memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang bisa mengudang rasa tersinggung orang lain. Misalnya, ‘mbak, apa sudah punya pacar?’. Atau, ‘mbak, sudah menikah belum?’.

Kualitas pertanyaan, akan lain sekali jika seorang pemimpin sudah teramat cerdik menggunakan pertanyaan. Saya pernah bertemu seorang pemimpin yang pandai sekali menyiasati situasi di atas. Lengkap dengan ekspresi senyumnya yang bersahabat, ia melempar pertanyaan : ‘maaf mbak, suaminya lagi sibuk ya, koq jalan sendiri?’.

Apa yang mau saya ceritakan melalui ilustrasi di atas, melalui kecermatan bertanya, seseorang bisa memimpin, dan pada saat yang sama, pihak yang dipimpin tidak merasa dirinya sedang dipimpin. Lebih dari itu, sering terjadi, orang bahkan melaksanakan kehendak pemimpin dengan sepenunya, semata-mata karena sang pemimpin cermat sekali bertanya.

Lebih-lebih di zaman yang sudah sangat jenuh dengan segala bentuk pernyataan seperti pidato, pengarahan, petunjuk, dan perintah. Jangankan mereka yang berpendidikan tinggi. Kalangan bawahpun, tidak sedikit yang alergi terhadap pidato. Buktinya, begitu ada pidato di televisi, tidak sedikit yang langsung mematikan tv-nya.

Dunia penjualan pada umumnya, juga memiliki tuntutan yang tinggi akan kecermatan bertanya. Hampir tidak ada calon konsumen yang mau digurui. Namun, yang mau didengarkan ceritanya ada banyak sekali.

Untuk itulah, keberhasilan penjual sangat ditentukan oleh pertanyaan yang diajukan. Saya sering kali menilai kualitas calon pelamar dari pertanyaan yang ia ajukan. Pelamar yang bertanya ‘ceritakan ke saya, bagaimana prospek karir di tempat ini?’, akan lain sekali penilaiannya dengan mereka yang bertanya ‘kalau sudah diterima, mungkin tidak saya dipecat?’.

Seorang penjual polis asuransi jiwa, akan lain sekali ceritanya bila ia mengawali percakapan dengan pertanyaan : ‘pernahkah terfikir sebelumnya, tentang nasib sebuah keluarga yang ditinggal mati orang tuanya?’.

Digabung menjadi satu, pertanyaan, bagi saya, tidak sekadar alat pengumpul informasi. Jauh lebih penting dari itu, ia adalah cermin kualitas kepemimpinan seseorang. Dari segi tertentu, kepribadian seseorang bisa terlihat dari pertanyaan yang diajukan. Dan yang lebih penting lagi, peradaban dunia dirubah oleh kumpulan manusia yang berani bertanya.


Makanya, saya tidak heran bila Drucker pernah menulis : asking the right question is far more important than giving the dumb answer.

Sayangnya, saya tidak pernah bertemu satu sekolahpun, atau satu kursuspun yang khusus mendalami pertanyaan. Hampir semuanya sangat fasih menghafal pernyataan yang diberi judul teori, kiat, siasat, rumus, formula dan mahluk sejenis.

Belajar dari ini semua, saya mendidik diri untuk cermat bertanya. Dan sering diselamatkan oleh kecermatan terakhir.

Meminjam kerangka William Bethel dalam Questions That Make The Sales, ada beberapa jenis pertanyaan. Dari pertanyaan yang berakhir terbuka, pertanyaan reflektif, pertanyaan direktif, pertanyaan pilihan ganda dan pertanyaan tertutup. Masing-masing ada gunanya di tempat dan waktu yang berbeda.

Di tahap-tahap pengenalan persoalan, atau tahap memperkenalkan produk - menurut saya, pertanyaan terbuka akan sangat membantu. Coba bayangkan seorang calon pembeli yang menolak Anda. Pertanyaan dalam bentuk ‘bila uang bukan masalah bagi Anda, berminatkah Anda terhadap produk ini?’, tentu saja akan sangat membantu. Secara lebih khusus, untuk mengetahui secara lebih tajam alasan yang ada di balik penolakan pembelian.

Pertanyaan reflektif, sering saya gunakan untuk merubah orang lain. Atau, menginternalisasikan sejumlah ide. Sebagai konsultan manajemen SDM, saya sering bertanya begini. Berapa banyak uang yang dibuang percuma melalui manusia yang tidak tertata rapi?

Pertanyaan pilihan ganda lain lagi. Saya sering menggunakannya untuk kepentingan pembandingan yang kontras. Tatkala menemui orang yang enggan berubah, saya sering bertanya : ‘berubah sekarang, atau dipaksa berubah setelah keadaan sudah menyedihkan?’.

Pertanyaan tertutup yang membutuhkan jawaban ya atau tidak, digunakan untuk mempersempit pilihan. Yang paling menakutkan adalah jawaban tidak. Bethel memiliki sebuah contoh menarik berhadapan dengan pelanggan yang hanya menjawab tidak.

Di suatu kesempatan, seorang Ibu kaya yang biasa dengan jawaban tidak dipengaruhi dengan pertanyaan cermat seperti ini. Apakah kapal pesiar terlalu mahal bagi Anda? Apakah suami Anda keberatan jika Anda membeli satu? Apakah Anda ingin membayar melalui kartu kredit? Keberatankah Anda jika saya kirim hari ini? Jika semua jawabannya adalah ‘tidak’, tentu saja sukses sudah ada di tangan Anda.

Tentu saja semua ini harus dibungkus dengan bahasa tubuh yang memadai. Dan menyangkut bahasa terakhir, jam terbang sangat menentukan. Saya banyak belajar dari ribuan teriakan ‘goblok’ yang diarahkan ke saya.

Mata Rantai Kepuasan


Bagi penulis manapun, adalah sebuah kebahagiaan tersendiri jika mengetahui, bahwa tulisannya dibaca orang. Kebahagiaan ini juga yang menghinggapi saya, ketika Direktur Agensi BDNI Life - ketika mengundang saya sebagai nara sumber bagi para agennya -mengemukakan bahwa kumpulan tulisan saya di media ini, menjadi menu ‘wajib’ para agen di perusahaan asuransi ini.

Dengan tetap waspada akan bahayanya pujian, ketika mengawali presentasi di depan agen asuransi ini, saya sempat terpesona oleh sebuah kegiatan yang selalu dilakukan mengawali pertemuan.

Pembawa acara, ketika pertemuan baru dimulai, meminta seluruh peserta menyalami semua orang di dekat mereka, dan mengatakan ‘Andalah orang paling ganteng/cantik di dunia‘.

Sebagai sebuah pujian, ini sebenarnya biasa-biasa saja. Namun, ia mengingatkan saya pada sebuah buku menarik dengan judul The Ten Commandements of Business and How to Break Them. Salah satu hukum bisnis yang mesti dilanggar adalah hukum ‘pelanggan adalah raja’. Sebagai gantinya, sebelum meminta karyawan memperlakukan pelanggan sebagai raja, jauh lebih penting memperlakukan karyawan sebagai raja terlebih dahulu.

Nah, kegiatan menyalami karyawan dan menyebut mereka paling ganteng/cantik, mendatangkan mereka dari jauh untuk diberi pencerahan, dipersenjatai pengetahuan tentang produk dan cara menjualnya, diberi semangat dan motivasi, diperhatikan kesejahteraan dan masa depannya, adalah serangkaian kegiatan yang menempatkan karyawan sebagai raja.

Terus terang, di masa yang lebih parah dari sekadar krisis ini, saya terkejut mendengar ada perusahaan asuransi yang omsetnya meningkat melebihi angka tiga puluh persen. Masih bisa menyewa hotel berbintang sebagai tempat pertemuan dan menginap. Mampu membayar pembicara publik sebagai bahan pencerahan. Dan yang paling penting, di tengah maraknya gelombang PHK, masih bisa menciptakan ‘bintang-bintang’ pencetak penghasilan dengan delapan angka perbulannya !.

Dalam perspektif pengembangan organisasi, hanya organisasi perusahaan yang memiliki mata rantai kepuasan yang amat kuatlah yang bisa mencapai kinerja tinggi di zaman krisis.

Apa yang saya sebut dengan mata rantai kepuasan, adalah kepuasan karyawan sebagai syarat kepuasan pelanggan.

Sebagai konsultan manajemen yang pernah masuk ke berbagai perusahaan, banyak sekali perusahaan yang amat dan teramat lemah pada mata rantai kepuasan. Mau bukti? Masuklah ke kantor-kantor bank, perhatikan pelayanan publik dari telepon, air sampai dengan taksi, lihat bagaimana rakyat (baca : pelanggan) diperlakukan oleh penguasa. Semua ini memberi satu warna organisai yang sama : meminta karyawan memperlakukan pelanggan sebagai raja, tanpa pernah dihargai sedikit sekalipun.

Sebagai bagian dari upaya penataan SDM, saya pernah melakukan penghitungan terhadap indeks kepuasan karyawan. Hampir semuanya menunjukkan indeks angka yang memprihatinkan. Lebih-lebih di bagian belakang seperti operasi, keuangan, akuntansi, gudang, perpustakaan, dan sejenis.


Bila benar keyakinan sejumlah pakar di negara maju, bahwa modal intelektual - bukan modal uang, teknologi dan alam - yang menentukan kemajuan organisasi kini dan nanti, bisa dibayangkan bagaimana daya saing kita sebagai bangsa bila mata rantai kepuasannya masih hancur lebur.

Sebagaimana pernah ditulis Dennis G. McCarthy dalam The Loyalty Link, Xerox pernah meneliti 500.000 pelanggan di tahun 1991. Pada skala satu hingga lima, Xerox menemukan bahwa pelanggan yang benar-benar puas (skala lima), kemungkinan untuk membeli kembali enam kali lebih besar dibandingkan dengan pelanggan yang puas (skala empat). Sedangkan untuk pelanggan dengan skala empat, hanya sedikit lebih besar kemungkinan membelinya dibandingkan dengan pelanggan puas (skala tiga).

Anda bisa bayangkan, bagaimana perilaku pelanggan yang tidak puas, atau yang ditipu.

Sayang kita tidak memiliki angka indeks kepuasan konsumen sebagaimana di Amerika. Namun yang jelas, kalau Anda rajin membaca keluhan di surat pembaca media cetak, yang namanya konsumen di negeri ini masih menjadi mahluk mainan yang sering menderita.

Daftar konsumen yang kena tipu, kecewa, dikadalin, ditodong, atau malah ditelantarkan masih demikian panjang.

Kembali ke cerita awal tentang mata rantai kepuasan, sebab dari parahnya sektor pelayanan kita memang cukup banyak. Namun, bagaimana karyawan diperlakukan, memberi warna yang sangat dominan terhadap persoalan besar yang tidak selesai-selesai ini.

Anda bisa bayangkan, bagaimana pegawai negeri bisa memberikan pelayanan yang memadai jika gajinya di bawah UMR. Lebih-lebih menyaksikan gaya hidup pimpinannya yang jauh dari kapasitas gaji formalnya. Bagaimana seorang satpam bisa menghormati tamu, jika bossnya setiap lewat sangat pelit tersenyum dan mengucapkan selamat pagi. Bagaimana bagian customer service bisa memberikan pelayanan prima, jika belum apa-apa sudah dijegal bagian pendukung yang sarat akan kebutuhan untuk diperhatikan.

Dirangkum menjadi satu, kita memang memerlukan perbaikan mendasar dalam mata rantai kepuasan.

Mengingat kepuasan pelanggan bersifat eksternal, dan merupakan hasil ikutan dari kepuasan karyawan, tidak ada salahnya memulai perbaikan mendasar di sektor kepuasan karyawan.

Saya melakukannya dengan menghitung employee satisfaction index secara rutin. Membandingkannya antarbagian. Malakukan rotasi dalam rangka menjaga keseimbangan antara pusat kepuasan dan pusat ketidakpuasan. Bagaimana dengan Anda?

Organisasi Berbasiskan Pengetahuan


Membaca argumen Brian Arthur dari Institut Santa Fe - sebagaimana dikutip Thomas A Stewart dalam buku Intelectual Capital - yang dibangun di atas tumpukan data yang meyakinkan, mengingatkan saya kembali akan pentingnya organisasi dan juga ekonomi berbasiskan pengetahuan.

Coba cermati kesimpulan Arthur : ‘Economy that are resources based are still subject to diminishing return. The parts of the economy that are knowledge based are largely subject to increasing returns‘.

Kesimpulan terakhir ini sebenarnya tidak hanya berlaku di Amerika sana. Namun juga membumi di sini. Indikatornya sederhana saja. Coba perhatikan kecenderungan nilai tukar barang-barang hasil pertanian dari pedesaan, dibandingkan barang berbasiskan pengetahuan dari perkotaan. Angkanya semakin menyedihkan dan menyedihkan. Ketika saya masih remaja dulu, sebuah mobil Chevrolet Luv bisa dibeli hanya dengan beberapa karung cengkeh. Sekarang, berapa karung cengkeh yang dibutuhkan untuk membeli mobil yang sama?

Di dunia korporasi juga sama. Lihat perusahaan-perusahaan yang prestasinya menjulang. Sebut saja Microsoft, General Electric, IBM atau perusahaan sejenis. Hampir semuanya maju pesat bertumpu pada intensitas penggunaan pengetahuan.

Dalam persaingan antarnegara juga setali tiga uang. Amerika Serikat yang dikenal sebagai pelopor pembentuk masa depan, menghabiskan uang yang sangat besar untuk mendalami teknologi dan pengetahuan masa depan. Anggaran litbangnya melimpah. Sektor-sektor yang dijadikan konsentrasi hampir semuanya bersifat knowledge intensive.

Dalam persaingan antar pekerja juga tidak banyak berbeda. Semakin intensif sebuah profesi menggunakan pengetahuan, semakin besar kemungkinan diberi kompensasi yang lebih tinggi. Sebagai contoh, sebuah tabloid pernah membuka rahasia gaji konsultan asing yang membantu BPPN (badan penyehatan perbankan nasional). Awalnya, saya tidak hanya terkejut. Malah, tidak pernah membayangkan sebuah negara yang dililit krisis total bisa menggaji konsultan dengan gaji yang demikian besar.

Lebih dari itu, coba cermati lagi beberapa fenomena kehidupan. Perhatikan knowledge content dari barang dan jasa yang kita konsumsi. Bukankah knowledge content- nya semakin besar dari hari ke hari?. James Brian Quinn pernah menyebutkan, tiga perempat dari seluruh nilai tambah masyarakat bersumber dari pengetahuan.


Saya memang tidak sepenuhnya setuju dengan klasifikasi ala Alvin Toffler. Seolah-olah setelah pertanian, hanya ada industri. Setelah industri hanya ada informasi. Sejauh perut masih mau makan, pertanian akan tetap ada. Semasih kita hidup didukung peralatan, industrialisasi akan senantiasa eksis. Demikian juga dengan informasi dan pengetahuan yang semakin perlu di abad jaringan ini.

Akan tetapi, di bidang manapun, tuntutan akan penerapan pengetahuan tidak bisa ditunda. Dalam pasar buah-buahan, kita sudah lama tertinggal oleh tetangga kita yang kekayaan alamnya tidak senilai dengan sebuah pulau kita sekalipun. Dengan tanah persawahan yang demikian melimpah, telah lama kita mengimport beras. Di dunia industri, telah menjadi rahasia umum kalau Indonesia dijadikan ‘tong sampah’-nya Singapura. Banyak hal yang tidak laku di negeri pulau kecil ini, dibawa lari ke sini dan laku. Di sektor informasi dan pengetahuan apa lagi.

Digabung menjadi satu, menyongsong masa depan bagi siapapun - bangsa, perusahaan dan juga pekerja - tidak ada tawar menawar dalam intensitas penerapan pengetahuan.

Oleh karena itulah, membangun organisasi berbasiskan pengetahuan, menjadi kebutuhan semua pihak. Sayangnya, Thomas A. Stewart yang menjadi pionir di bidang intellectual capital tidak memberikan jawaban memuaskan dalam hal ini.

Klasifikasi Stewart tentang human capital, structural capital dan customer capital memang sedikit membantu, tetapi misteri organisasi berbasiskan pengetahuan tetap masih tersembunyi.

Dengan halaman yang terbatas, saya mencoba membuka sebagian kecil saja dari misteri di atas. Fundamennya sebenarnya sederhana saja. Mulailah mengklasifikasikan manusia dengan cara yang bisa memperlihatkan intensitas pengetahuannya.

Sebagai konsultan, saya mengembangkan klasifikasi dengan lima tingkatan : tidak tahu, tahu, trampil, sistimatis dan kreatif.

Bermodalkan lima tingkatan ini, kita perlu melakukan evaluasi ulang terhadap seluruh manusia yang ada, sekaligus memagari pintu depan recruitment dengan cara yang sama. Demikian juga dengan pengembangan, penggajian dan pemeliharaan manusia. Pengembangan sebagai contoh, difokuskan untuk mentransformasikan manusia dari sekadar trampil menuju kreatif. Siapa yang dipelihara, hanyalah manusia sistimatis dan kreatif. Atau mereka yang berpotensi ke arah itu. Demikian juga dengan penggajian.

Kriteria dan alat ukurnya memang teramat panjang untuk diungkapkan di sini. Namun, inilah saatnya untuk mulai meletakkan pilar-pilar organisasi hanya ke orang-orang yang sistimatis dan kreatif. Mereka yang sekadar trampil, apalagi hanya tahu, lebih-lebih tidak tahu, tidak punya pilihan lain selain segera merubah diri secepatnya. Kecuali, siap dibuat minggir oleh kecenderungan dan perkembangan.

Dalam setting organisasi seperti ini, organisasi tidak hanya menjadi a place of production, tetapi juga a place of thinking. Bila Anda setuju dengan saya akan faedah fantastis kreativitas, organisasi juga a place for fun.

Manusia Paling Beruntung


Di sebuah seminar yang diadakan Asosiasi Manajer Indonesia cabang Bandung akhir Januari 1999, seorang peserta bertanya ke saya tentang feng Shui. ‘Adakah keyakinan ini benar, atau hanya sugesti belaka?’, demikianlah kira-kira bunyi pertanyaannya.

Terus terang, ini memang bukan bidang kajian saya. Namun, setelah mendengar dan membaca sejumlah cerita tentang feng shui, saya menemukan dua jenis penjelasan. Pertama, sebagian teori feng Shui memiliki akar rasionalitas. Contohnya, rumah tidak boleh tusuk sate tentu saja bisa dimaklumi. Sebab, kalau ada mobil yang remnya blong, maka celakalah akibatnya. Kedua, kendati sebagian teori feng Shui kelihatannya tidak masuk akal, namun karena dipercayai dan diyakini banyak orang maka ia menjadi collective beliefs. Apapun yang diyakini - apalagi secara berlebihan - bisa menjadi magnet yang bisa membuat wajah kehidupan persis seperti yang diyakini.

Digabung menjadi satu, berguna tidaknya feng shui bagi seseorang, amat tergantung pada kemampuan melihat rasionalitas yang ada di baliknya, serta sudah tentu keyakinan yang menyertainya.

Lepas dari soal feng shui, keberuntungan adalah sebuah bidang kajian yang menarik minat banyak sekali orang. Dari orang terkenal sampai orang biasa ingin mengetahui keberuntungan dirinya.

Lebih-lebih di zaman krisis yang super langka akan kemajuan. Bila saja ada orang yang bisa merubah keberuntungan - dengan garansi uang kembali - pasti akan laris manis dicari orang.

Di forum seminar, dalam proses konsultasi, maupun di lapangan golf, saya termasuk orang yang sering ditanya urusan seperti ini. Kendatipun sampai sekarang masih bingung, kenapa mereka bertanya ke saya. Mereka tahu, saya hanya seorang pembicara publik dan konsultan manajemen. Seorang pengusaha yang baru saja kenal beberapa menit, pernah mengajak saya berbisnis, hanya karena bentuk hidung dan telinga - yang menurut dia penuh keberuntungan.

Anda boleh percaya, boleh juga tidak. Namun, kalau ada ramalan positif tentang diri saya, saya akan mempercayainya. Sebaliknya, kalau negatif saya akan melupakannya. Sebab, saya tidak mau mensugesti diri dengan hal-hal negatif. Sebagai hasilnya, saya memang bukan orang kaya secara materi, tetapi saya yakin sudah mengucapkan terimakasih ke Tuhan dalam frekuensi yang lebih besar dibandingkan kebanyakan orang.

Memakan makanan apa saja, melihat ikan koi di depan rumah, mendengar suara gemercik air sungai di belakang rumah, melihat mimik putera-puteri saya ketika mengucapkan thanks a lot daddy, mendengar suara isteri di telepon kala di luar kota, luput dari kecelakaan, apa lagi diberi rezeki, lebih dari cukup bagi saya untuk berucap secara otomatis : thanks God !.

Sahabat saya Ignas G. Sidik dari Prasetiya Mulya pernah bertutur : ‘Tuhan hanya bisa mengangguk !’. Bila Anda bilang uang masih kurang, mobilnya kurang mewah, isteri terlalu cerewet, atau rumah sudah cukup layak, Tuhan-pun mengiyakannya.


Dibandingkan diiyakan untuk urusan yang bikin susah, saya memilih diiyakan untuk persoalan yang menimbulkan rasa senang. Makanya, ke banyak rekan saya sering berucap : the only certain thing in life is only fun. Dan, kita bisa merekayasa fun tadi dalam kehidupan. Persoalannya hanya satu : di mana kita meletakkan sudut pandang kita. Itu saja, tidak lebih tidak kurang.

Saya pernah bertemu dengan seorang yang berumur 70 tahun lebih. Namun, masih tampak sehat, awet muda dan mukanya sering berseri-seri. Di suatu pagi menjelang sarapan, saya tanya resep hidupnya. Ternyata amat sederhana : katakan cukup pada Tuhan !. ‘Lihat saja‘, demikian tuturnya sambil mengambil makanan, ’setiap pagi saya hanya butuh semangkok bubur dan segelas air putih, menjelang tidur malam makan dua buah pisang serta segelas jus, untuk itu tidak diperlukan uang dalam jumlah yang teramat banyak’. Luar biasa !

Di kesempatan lain, saya pernah bertemu seorang ibu dengan umur menjelang 70, yang menurut ukuran saya, hidupnya banyak kalah dan dikalahkan suaminya. Ketika saya tanya, kenapa justru suaminya yang lebih banyak ke dokter dan masuk rumah sakit, ia hanya berucap sederhana : ‘saat kita memberi, kita justru menerima dalam jumlah yang jauh lebih banyak‘. Mengagumkan sekali !

Apa yang mau saya ceritakan melalui pengalaman dua tokoh pujaan ini, ditambah dengan cerita awal tentang feng shui, beserta teori Tuhan yang hanya bisa mengangguk, rupanya rekayasa tidak menjadi monopoli kaum insinyur. Pakar-pakar kehidupan seperti Andapun bisa melakukan rekayasa keberuntungan hidup.

Feng shui merekayasa keberuntungan melaui peningkatan keyakinan dengan cara penataan rumah. Ignas G. Sidik sahabat saya merekayasa keberuntungannya dengan meyakini Tuhan selalu mengangguk. Bapak Tua tadi merekayasanya dengan mengatakan cukup kepada Tuhan. Ibu berbahagia di atas merekayasanya dengan kegiatan memberi.

Seorang rekan secara bercanda pernah menyebutkan bahwa wanita yang memiliki tahi lalat di mukanya pasti beruntung. Ketika saya tanya balik kenapa, ia menjawab sambil tertawa : ‘untung tahi lalat, kalau tahi kebo habis mukanya tertutup‘.

Terlepas dari semua ini, saya menghormati teori feng shui, keyakinan cukup, Tuhan mengangguk dan teori memberi. Melengkapi perbendaharaan Anda akan ilmu rekayasa keberuntungan hidup, sebuah pepatah Zen pernah mengatakan : ‘berhasil mengatasi baik dan buruk, kalah dan menang, adalah keberuntungan sejati‘.

Hari Ini, Hari Terbaik


Di sejumlah daerah, ada orang yang mencari hari terbaik untuk melakukan berbagai kegiatan. Ada hari baik untuk menikah. Hari baik untuk bercocok tanam, membangun rumah dan masih banyak lagi yang lain. Sayangnya, saya tidak pernah bertemu - kendati sudah tanya sana sini - ada hari terbaik untuk menjalani hidup dan kehidupan.

Saya punya seorang rekan yang teramat jarang memiliki rasa senang. Ketika di Jakarta, dia fikir di Bali lebih enak. Setiap kali bangun di pagi hari, ia selalu berharap ada mukjizat di hari itu. Hampir setiap hari yang ia jalani, diisi penuh dengan harapan : besok baru datang kebahagiaan.

Sebagai hasilnya, tubuhnya banyak sekali dimakan oleh fikirannya. Penyakit sering datang berkunjung. Stress apa lagi, ia datang tanpa pernah mengenal tahu diri.

Setahun lebih setelah krisis melanda republik ini, saya menemukan semakin banyak manusia yang mirip dengan rekan di atas. Tatapan mata kosong. Penuh harap akan masa depan. Dan, tidak melihat satu titik cahaya terangpun di hari ini.

Sebagaimana saya tulis di buku saya berjudul Sukses Berdasarkan Prinsip Sungai, dalam bahasa Inggris masa lalu di sebut past - telah lewat. Masa depan diberi nama future - belum jelas. Dan masa sekarang diberi judul present, alias hadiah. Bila diandaikan dengan uang, masa lalu adalah cek yang sudah kadaluwarsa. Masa depan, mirip dengan cek dengan tanggal yang akan datang. Satu-satunya uang tunai yang tersedia adalah hari ini. Ia adalah hadiah yang diberikan Tuhan ke kita.

Bayangkan jika Anda memberi hadiah ke orang lain. Kemudian,ia mencacampakkan hadiah tersebut di hadapan Anda. Nah, orang-orang yang tidak menghargai hari ini, setali tiga uang dengan manusia yang mencampakkan hadiah di depan mata pemberi hadiah.

Sebuah pepatah pernah menyatakan : ‘kita tidak pernah melewati sungai yang sama dua kali’. Ini benar, sebab tiap detik air sungai berganti. Demikian juga dengan waktu, tiap detik yang lewat tidak akan pernah bisa terulang kembali.

Karena tidak bisa diulang lagi, satu-satunya pilihan yang tersedia buat kita hanya satu : menikmatinya !. Ketika artikel ini sedang dibuat, saya sedang mendengar bunyi hujan yang jatuh menimpa atap rumah. Burung gereja duduk bertengger di kabel telepon saling mengasihi dengan yang lain. Air sungai di belakang rumah mendekati penuh. Bunga teratai di halaman rumah sedang mengembang. Saya mencoba membuat rangkaian yang bisa menjadikan detik itu nikmat. Kombinasi antara suara hujan, cicit burung gereja serta gemercik air di sungai, merajut sebuah kesejukan hidup yang memaksa saya berucap lirih : terimakasih Tuhan.


Secara materi, memang ada banyak manusia yang lebih kaya dibandingkan dengan saya. Mobil tetangga lebih bagus. Sebagian rumah mereka lebih mewah. Namun, rajutan kehidupan yang menempatkan suara hujan, cicit burung dan gemercik air sungai sebagai sebuah kesejukan, boleh jadi, hanya milik saya seorang diri.

Ketika kejenuhan datang berkunjung, saya menyiasatinya dengan mengobrol kecil bersama satpam, tukang kebun, atau malah pergi ke rumah sakit serta melewati kuburan. Salah satu alasan kenapa saya tinggal di Bintaro Jaya, karena setiap datang dan pergi harus melewati kuburan Tanah Kusir. Dan, tidak ada cahaya pantulan refleksi kehidupan yang lebih besar dibandingkan kuburan.

Sejumlah rekan yang mau berkunjung ke rumah mengeluh dengan kemacetan sebelum memasuki Bintaro. Bagi mereka, kemacetan adalah salah satu bentuk neraka. Kendati kadang dibuat stres olehnya, saya belajar untuk menempatkan kemacetan sebagai kursus kesabaran yang paling efektif. Dan, ternyata memang demikianlah adanya.

Kembali ke cerita awal tentang hari terbaik dalam kehidupan, Anda memang boleh punya pilihan hari yang lain. Namun, bagi saya karena hari ini adalah satu-satunya hari yang paling riil dalam kehidupan, maka inilah hari terbaik saya dalam kehidupan. Baik untuk dinikmati, untuk digunakan sebagai turning point perbaikan, tempat menabung bagi masa depan, menyayangi anak isteri, atau mulai mengumpulkan teman baik sebanyak-banyaknya.

Mirip dengan berada di tengah terowongan yang gelap gulita. Dibandingkan meratapi keputusan kenapa saya bisa sampai di sini. Atau berharap besok akan ada mukjizat bahwa terowongan penuh dengan sinar, lebih baik berhenti sejenak, melihat kiri kanan barangkali ada yang bisa dinikmati, kemudian baru berfikir bagaimana keluar dari sini.

Sayangnya, ada banyak sekali rekan yang pusing, stres bahkan ada yang sakit dibuat oleh ‘gelapnya terowongan’ kehidupan di masa krisis. Coba perhatikan alam sekitar Anda. Dari orang yang berjalan, suara yang Anda dengar, sampai bau yang masuk lewat hidung. Dengan sedikit ketrampilan merajut, hari ini bisa menjadi hari terbaik dalam kehidupan Anda.

Anda yang terkena PHK, menunggu mendapatkan pekerjaan, baru memulai usaha secara mandiri, atau dicampakkan oleh kenaikan harga bahan pokok yang sudah sangat tidak sopan lagi, dengan sedikit kreativitas, coba rajut lagi kehidupan.

Isteri rekan saya berhasil memasak banyak sekali menu baru yang enak tetapi hemat. Rekan saya yang dulu gemuk, sekarang langsing dan segar karena memakan banyak sayur. Sahabat saya yang kurang pergaulan, sekarang merasakan nikmatnya punya banyak teman setelah punya banyak waktu luang. Inilah rangkaian kegiatan yang saya sebut dengan merajut kembali hari ini sebagai hari terbaik.

Orang Brengsek Guru Sejati



Entah apa dan di mana menariknya, Bank Indonesia amat senang mengundang saya untuk menyampaikan presentasi dengan judul Dealing With Difficult People. Yang jelas, ada ratusan staf bank sentral ini yang demikian tertarik dan tekunnya mendengar ocehan saya. Motifnya, apa lagi kalau bukan dengan niat untuk sesegera mungkin jauh dan bebas dari manusia-manusia sulit seperti keras kepala, suka menghina, menang sendiri, tidak mau kerja sama dll.

Di awal presentasi, hampir semua orang bernafsu sekali untuk membuat manusia sulit jadi baik. Dalam satu hal jelas, mereka yang datang menemui saya menganggap dirinya bukan manusia sulit, dan orang lain di luar sana sebagian adalah manusia sulit.

Namun, begitu mereka saya minta berdiskusi di antara mereka sendiri untuk memecahkan persoalan kontroversial, tidak sedikit yang memamerkan perilaku-perilaku manusia sulit. Bila saya tunjukkan perilaku mereka - seperti keras kepala, menang sendiri, dll - dan kemudian saya tanya apakah itu termasuk perilaku manusia sulit, sebagian dari mereka hanya tersenyum kecut.

Bertolak dari sinilah, maka sering saya menganjurkan untuk membersihkan kaca mata terlebih dahulu, sebelum melihat orang lain. Dalam banyak kasus, karena kita tidak sadar dengan kotornya kaca mata maka orangpun kelihatan kotor. Dengan kata lain, sebelum menyebut orang lain sulit, yakinlah kalau bukan Anda sendiri yang sulit. Karena Anda amat keras kepala, maka orang berbeda pendapat sedikitpun jadi sulit. Karena Anda amat mudah tersinggung, maka orang yang tersenyum sedikit saja sudah membuat Anda jadi kesal.

Nah, pembicaraan mengenai manusia sulit hanya boleh dibicarakan dalam keadaan kaca mata bersih dan bening. Setelah itu, saya ingin mengajak Anda masuk ke dalam sebuah pemahaman tentang manusia sulit. Dengan meyakini bahwa setiap orang yang kita temui dalam hidup adalah guru kehidupan, maka guru terbaik kita sebenarnya adalah manusia-manusia super sulit. Terutama karena beberapa alasan.



Pertama, manusia super sulit sedang mengajari kita dengan menunjukkan betapa menjengkelkannya mereka. Bayangkan, ketika orang-orang ramai menyatukan pendapat, ia mau menang sendiri. Tatkala orang belajar melihat dari segi positif, ia malah mencaci dan menghina orang lain. Semakin sering kita bertemu orang-orang seperti ini, sebenarnya kita sedang semakin diingatkan untuk tidak berperilaku sejelek dan sebrengsek itu. Saya berterimakasih sekali ke puteri Ibu kost saya yang amat kasar dan suka menghina dulu. Sebab, dari sana saya pernah berjanji untuk tidak mengizinkan putera-puteri saya sekasar dia kelak. Sekarang, bayangan tentang anak kecil yang kasar dan suka menghina, menjadi inspirasi yang amat membantu pendidikan anak-anak di rumah. Sebab, saya pernah merasakan sendiri betapa sakit hati dan tidak enaknya dihina anak kecil.

Kedua, manusia super sulit adalah sparring partner dalam membuat kita jadi orang sabar. Sebagaimana sering saya ceritakan, badan dan jiwa ini seperti karet. Pertama ditarik melawan, namun begitu sering ditarik maka ia akan longgar juga. Dengan demikian, semakin sering kita dibuat panas kepala, mengurut-urut dada, atau menarik nafas panjang oleh manusia super sulit, itu berarti kita sedang menarik karet ini (baca : tubuh dan jiwa ini) menjadi lebih longgar (sabar). Saya pernah mengajar sekumpulan anak-anak muda yang tidak saja amat pintar, namun juga amat rajin mengkritik. Setiap di depan kelas saya diuji, dimaki bahkan kadang dihujat. Awalnya memang membuat tubuh ini susah tidur. Tetapi lama kelamaan, tubuh ini jadi kebal. Seorang anggota keluarga yang mengenal latar belakang masa kecil saya, pernah heran dengan cara saya menangani hujatan-hujatan orang lain. Dan gurunya ya itu tadi, manusia-manusia pintar tukang hujat di atas.

Ketiga, manusia super sulit sering mendidik kita jadi pemimpin jempolan. Semakin sering dan semakin banyak kita memimpin dan dipimpin manusia sulit, ia akan menjadi Universitas Kesulitan yang mengagumkan daya kontribusinya. Saya tidak mengecilkan peran sekolah bisnis, tetapi pengalaman memimpin dan dipimpin oleh manusia sulit, sudah terbukti membuat banyak sekali orang menjadi pemimpin jempolan. Rekan saya menjadi jauh lebih asertif setelah dipimpin lama oleh purnawirawan jendral yang amat keras dan diktator.



Keempat, disadari maupun tidak manusia sulit sedang memproduksi kita menjadi orang dewasa. Lihat saja, berhadapan dengan tukang hina tentu saja kita memaksa diri untuk tidak menghina balik. Bertemu dengan orang yang berhobi menjelekkan orang lain tentu membuat kita berefleksi, betapa tidak enaknya dihina orang lain.

Kelima, dengan sedikit rasa dendam yang positif manusia super sulit sebenarnya sedang membuat kita jadi hebat. Di masa kecil, saya termasuk orang yang dibesarkan oleh penghina-penghina saya. Sebab, hinaan mereka membuat saya lari kencang dalam belajar dan berusaha. Dan kemudian, kalau ada kesempatan saya bantu orang-orang yang menghina tadi. Dan betapa besar dan hebatnya diri ini rasanya, kalau berhasil membantu orang yang tadinya menghina kita.

Terakhir dan yang paling penting, manusia super sulit sebenarnya menunjukkan jalan ke surga, serta mendoakan kita masuk surga. Pasalnya, kalau kita berhasil membalas hinaan dengan senyuman, batu dengan bunga, bau busuk dengan bau harum, bukankah kemungkinan masuk surga menjadi lebih tinggi?


Berani Gagal


Untuk dapat menikmati hidup, hal terpenting yang perlu Anda lakukan adalah menjadi SADAR. Inti kepemimpinan adalah kesadaran. Inti spiritualitas juga adalah kesadaran. Banyak orang yang menjalani hidup ini dalam keadaan ”tertidur.” Mereka lahir, tumbuh, menikah, mencari nafkah, membesarkan anak, dan akhirnya meninggal dalam keadaan ”tertidur.”

Analoginya adalah seperti orang yang terkena hipnotis. Anda tahu di mana menyimpan uang. Anda pun tahu persis nomor pin Anda. Dan Andapun menyerahkan uang Anda pada orang tidak dikenal. Anda tahu, tapi tidak sadar. Karena itu, Anda bergerak bagaikan robot-robot yang dikendalikan orang lain, lingkungan, jabatan, uang, dan harta benda.

Pengertian menyadari amat berbeda dengan mengetahui. Anda tahu berolah raga penting untuk kesehatan, tapi Anda tidak juga melakukannya. Anda tahu memperjualbelikan jabatan itu salah, tapi Anda menikmatinya. Anda tahu berselingkuh dapat menghancurkan keluarga, tapi Anda tidak dapat menahan godaan. Itulah contoh tahu tapi tidak sadar!

Ada dua hal yang dapat membuat orang menjadi sadar. Pertama, peristiwa-peristiwa pahit dan musibah. Musibah sebenarnya adalah ”rahmat terselubung’ ‘ karena dapat membuat kita bangun dan sadar. Anda baru sadar pentingnya kesehatan kalau Anda sakit. Anda baru sadar pentingnya olahraga kalau kadar kolesterol Anda mencapai tingkat yang mengkhawatirkan.

Anda baru sadar nikmatnya bekerja kalau Anda di-PHK. Seorang wanita karier baru menyadari bahwa keluarga jauh lebih penting setelah anaknya terkena narkoba. Seorang sopir taksi pernah bercerita bahwa ia baru menyadari bahayanya judi setelah hartanya habis.


Kematian mungkin merupakan satu stimulus terbesar yang mampu menyentakkan kita. Banyak tokoh terkenal meninggal begitu saja. Mereka sedang sibuk memperjualbelikan kekuasaan, saling menjegal, berjuang meraih jabatan, lalu tiba-tiba saja meninggal. Bayangkan kalau Anda sedang menonton film di bioskop. Pertunjukan sedang berlangsung seru ketika tiba-tiba listrik padam. Petugas bioskop berkata,

”Silakan Anda pulang, pertunjukan sudah selesai!”

Anda protes, bahkan ingin menunggu sampai listrik hidup kembali. Tapi, si penjaga hanya berkata tegas,

”Pertunjukan sudah selesai, listriknya tidak akan pernah hidup kembali.”

Itulah analogi sederhana dari kematian. Kematian orang yang kita kenal, apalagi kerabat dekat kita sering menyadarkan kita pada arti hidup ini. Kematian menyadarkan kita pada betapa singkatnya hidup ini, betapa seringnya kita meributkan hal-hal sepele, dan betapa bodohnya kita menimbun kekayaan yang tidak sempat kita nikmati.

Hidup ini seringkali menipu dan meninabobokan orang. Untuk menjadi bangun kita harus sadar mengenai tiga hal, yaitu siapa diri kita, darimana kita berasal, dan ke mana kita akan pergi. Untuk itu kita perlu sering mengambil jarak dari kesibukan kita dan melakukan kontemplasi.

Ada sebuah ungkapan menarik dari seorang filsuf Perancis, Teilhard de Chardin,

”Kita bukanlah manusia yang mengalami pengalaman-pengalaman spiritual, kita adalah makhluk spiritual yang mengalami pengalaman-pengalaman manusiawi.”

Manusia bukanlah ”makhluk bumi” melainkan ”makhluk langit.” Kita adalah makhluk spiritual yang kebetulan sedang menempati rumah kita di bumi. Tubuh kita sebenarnya hanyalah rumah sementara bagi jiwa kita. Tubuh diperlukan karena merupakan salah satu syarat untuk bisa hidup di dunia. Tetapi, tubuh ini lama kelamaan akan rusak dan akhirnya tidak dapat digunakan lagi. Pada saat itulah jiwa kita akan meninggalkan ”rumah” untuk mencari ”rumah” yang lebih layak. Keadaan ini kita sebut meninggal dunia. Jangan lupa, ini bukan berarti mati karena jiwa kita tak pernah mati. Yang mati adalah rumah kita atau tubuh kita sendiri.

Coba Anda resapi paragraf diatas dalam-dalam. Badan kita akan mati, tapi jiwa kita tetap hidup. Kalau Anda menyadari hal ini, Anda tidak akan menjadi manusia yang ngoyo dan serakah. Kita memang perlu hidup, perlu makanan, tempat tinggal, dan kebutuhan dasar lainnya.

Bila Anda sudah mencapai semua kebutuhan tersebut, itu sudah cukup!

Buat apa sibuk mengumpul-ngumpulkan kekayaan — apalagi dengan menyalahgunakan jabatan — kalau hasilnya tidak dapat Anda nikmati selama-lamanya. Apalagi Anda sudah merusak jiwa Anda sendiri dengan berlaku curang dan korup. Padahal, jiwa inilah milik kita yang abadi.

Lantas, apakah kita perlu mengalami sendiri peristiwa-peristiwa yang pahit tersebut agar kita sadar? Jawabnya: ya! Tapi kalau Anda merasa cara tersebut terlalu mahal, ada cara kedua yang jauh lebih mudah:

Belajarlah MENDENGARKAN.

Dengarlah dan belajarlah dari pengalaman orang lain. Bukalah mata dan hati Anda untuk mengerti, mendengarkan, dan mempertanyakan semua pikiran dan paradigma Anda. Sayang, banyak orang yang mendengarkan semata-mata untuk memperkuat pendapat mereka sendiri, bukannya untuk mendapatkan sesuatu yang baru yang mungkin bertentangan dengan pendapat mereka sebelumnya. Orang yang seperti ini masih tertidur dan belum sepenuhnya bangun.

Sekantong Tahi Sapi


Bayangkan di suatu pagi, ada seorang tetangga yang memberi Anda sekantong tahi sapi. Tanpa basa basi, langsung saja kantong tadi diletakkan di depan rumah.

Bagi mereka yang sentimen dengan tetangga, mala petakalah akhir dari kejadian ini. Namun, bagi mereka yang menempatkan pemberian sebagai sebuah kemuliaan, maka tahi sapi tadi bisa menjadi awal persahabatan.

Nah, Anda dan saya juga sedang diberi tahi sapi (baca : krisis). Persoalannya, apakah krisis ini akan menjadi awal petaka atau awal kemajuan, sangat ditentukan oleh bagaimana kita menempatkan krisis.

Salah satu karya terbaik Deepak Chopra adalah Ageless Body, Timeless Mind. Di sini penyembuh ini bertutur tentang bagaimana hidup awet muda. Fundamental dalam tesis Chopra, tubuh ini terbuat dari pengalaman-pengalaman yang didagingkan (dimasukkan ke dalam tubuh).

Sebagai salah satu bukti dari tesis terakhir, Chopra mengutip pengalaman seorang Ibu yang baru menerima sumbangan jantung dari orang lain. Begitu keluar dari rumah sakit, sang Ibu meminta dua hal yang tidak pernah disukai sebelumnya : bir dan ayam goreng. Setelah diselidik, ternyata donatur jantung yang telah meninggal, memiliki hobi berat meminum bir sambil memakan ayam goreng.

Pengalaman terakhir mengingatkan saya dengan pendapat Norman Cousin yang pernah menyebut bahwa “kepercayaan itu menciptakan biologi“. Ini berarti, garis batas antara biologi dan psikologi sebenarnya sangat dan teramat tipis - kalau tidak mau dikatakan tidak ada.

Semua ini berati, cara kita menempatkan krisis, tidak hanya terkait dengan sukses gagal di hari ini. Lebih dari itu, kita sedang mendagingkan serangkaian sistim nilai ke dalam tubuh kita. Untuk kemudian, memberi pengaruh yang amat besar ke dalam rautan wajah dan tubuh kita kemudian.


Coba cermati ciri-ciri manusia awet muda dan panjang umur sebagaimana ditemukan oleh Chopra. Dari meraup kesenangan dari kegiatan sehari-hari, menganggap hidup bermakna, yakin telah mencapai sasaran utama, menganut citra diri positif, sampai dengan optimis.

Semuanya menunjukkan upaya membadankan sistim nilai positif. Larry Scherwitz dari Universitas California pernah merekam hasil percakapan dengan 600 pria. Sepertiganya mengidap penyakit jantung, dan sisanya sehat-sehat saja. Scherwitz menemukan, pria yang menggunakan kata ganti “saya” lebih banyak dari rata-rata orang, mempunyai resiko kena serangan jantung lebih tinggi.

Pengalaman saya juga menunjukkan hal yang sama. Dari ratusan eksekutif yang pernah dikumpulkan karangannya, mereka yang otoriter, egois dan mau menang sendiri, menggunakan kata ganti “saya” jauh lebih banyak dibandingkan yang lain. Chopra juga menemukan hal yang mirip, angka kematian karena kanker dan penyakit jantung terbukti lebih tinggi diantara orang yang mengalami jiwa murung, dan lebih rendah diantara orang yang mempunyai maksud yang tegas serta jiwa yang sehat.

Dari penemuan-penemuan semacam ini, Scherwitz merekomendasikan untuk semakin membuka hati kepada orang lain. Salah seorang responden Scherwitz yang umurnya sudah tua namun memiliki jantung yang amat sehat berargumen : “seseorang yang terbuka dan penuh cinta akan menua dengan baik“.

Nah, lebih dari sekadar terbuka terhadap orang lain, kita juga memerlukan keterbukaan dalam memandang kehidupan. Persis seperti kasus tetangga yang memberi sekantong tahi sapi. Keterbukaan dan kesediaan untuk mencintai, membuat semua kejadian kehidupan - dari dapat tahi sapi sampai dengan berlian - menjadi penuh dengan warna keindahan.

Egoisme - sebagaimana tercermin dari banyaknya penggunaan kata saya - memang tidak selalu buruk. Namun, ia kerap membadankan serangkaian nilai, yang membuat badan ini cepat tua, lapuk serta rentan penyakit.

Meminjam hasil sebuah penemuan di dunia kedokteran, kemanapun perginya fikiran, senantiasa ada bahan kimia yang menyertainya. Atau keadaan-keadaan mental yang murung dirubah menjadi bahan-bahan kimia yang menimbulkan penyakit. Demikian juga sebaliknya.

Belajar dari semua ini, dibandingkan dengan mengumpat dan memaki tahi sapi yang bernama krisis, saya mendidik diri untuk menempatkan krisis sebagai “pupuk“-nya kehidupan.

Beberapa periode lalu, RUPS sebuah perusahaan besar menunjuk saya sebagai direktur SDM. Awalnya, tentu saja ini sebuah berkah yang dirayakan oleh keluarga saya. Sebab, sebelah kaki menjadi manusia bebas (konsultan, penulis dan pembicara publik) namun mengalami siklus keuangan yang naik turun, sebelah kaki jadi eksekutif puncak dengan siklus keuangan yang pasti dan menjanjikan.

Sayangnya, saya kehilangan dua kemewahan : menjadi raja bagi waktu, dan kemewahan hanya memberi saran tanpa perlu memantau pelaksanaan dan tanggungjawab.

Akibat dari kehilangan ini, saya sempat mengalami gejala insomnia (susah tidur). Belakangan, setelah membuka-buka lagi khasanah tentang fikiran yang memproduksi bahan kimia dalam tubuh, semua ini saya rombak secara perlahan. Belum sempurna memang ! Yang jelas, ritme tidur saya sudah kembali ke sedia kala.

Kembali ke cerita awal tentang sekantong tahi sapi, Anda dan saya setiap hari ada yang membawakan “tahi sapi“. Mirip dengan tahi sapi, kita tidak bisa merubah kehidupan. Akan tetapi, kita bisa merubah diri bagaimana mesti melihat dan menempatkan kehidupan.

Sadar akan penemuan bahwa keyakinan memproduksi biologi, saya memilih untuk melihat segi positif dari tahi sapi. Terserah Anda!.

Merajut Sutera Keberhasilan



Untuk pertama kali dalam kehidupan saya sebagai pembicara publik, saya bertatapan dengan ratusan pasang mata yang lapar motivasi. Anak-anak muda korban likuidasi perbankan ini, membawa refleksi mendalam dalam kehidupan saya. Baru saja memulai karir dalam beberapa tahun, tiba-tiba saja langit karir mereka bergoyang. Itupun ditutup dengan cerita kurang sedap tentang pesangon yang belum menentu.

Sebagaimana pernah saya alami, umur-umur muda baru selesai sekolah, adalah umur pembentukan yang masih ditandai sejumlah kelabilan psikologis. Bangunan karir masih jauh sekali dari selesai. Bahkan, fondasinyapun sebagian saja belum terbentuk.

Bila di tahap prematur seperti ini ada goncangan PHK, tentu ini bukanlah sebuah godaan yang ringan. Namun, apapun yang dilakukan orang di tahapan manapun, kita tidak pernah berhenti merajut sutera kehidupan (baca : keberhasilan) selama masih bernafas.

Sebagaimana pernah ditulis Swami Vivekananda, “Fikiran, kata-kata dan tindakan kita, semuanya adalah benang-benang rajutan yang kita tenun pada diri kita“. Sayangnya, banyak manusia - terutama yang sedang dilanda sejumlah godaan seperti PHK - bukannya merajut keberhasilan, melainkan menghancurkannya. Baik melalui fikiran, kata-kata maupun tindakannya.

Mari kita mulai dengan dunia fikiran. Setiap orang dewasa memiliki kerangka dalam fikirannya. Begitu bertemu dengan kerangka orang yang mirip dengan keinginan kita, maka mudah sekali timbul keakraban. Demikian juga sebaliknya. Ini yang bisa menjelaskan, kenapa seseorang dengan ‘kerangka‘ maling cepat akrab di komunitas maling. Atau seseorang dengan ‘kerangka‘ kiai cepat merasa kesepian di tengah pembohong.

Proses bagaimana kerangka tadi terbentuk, tidaklah cepat dan mudah. Ia mirip dengan proses air yang menetes kemudian melobangi batu : lama, panjang namun konsisten. Sebagian proses ini bersifat sengaja, sebagian lagi berjalan di luar kesengajaan.

Orang-orang yang hidupnya penuh frustrasi, tanpa disadari sebenarnya sedang membangun ‘kerangka’ tertentu dalam dirinya. Pada awalnya, diri kita menolak dibawa ke wilayah baru ini. Namun, begitu ajakan-ajakan frustrasi tadi dilakukan dalam waktu yang lama dan panjang, diri kita mulai merasa nyaman dengan kerangka baru ini. Makanya, orang yang tadinya pemalu (sebagai contoh penyanyi Madonna) bisa menjalani kehidupan yang jauh dari rasa malu kemudian.

Aspek kedua dari rajutan sutera keberhasilan adalah kata-kata. Yang terakhir ini sebenarnya tidak hanya rangkaian huruf yang membentuk makna. Kata-kata juga membentuk kehidupan.



Coba perhatikan manusia-manusia yang suka berkata-kata kasar, jorok, dan dengki. Bila itu dilakukan dalam kurun waktu yang lama dan panjang - tanpa perbaikan berarti - jangan terkejut kalau mereka memasuki gerbang kehidupan yang kasar, jorok dan dibenci orang. Saya pernah menemukan orang demikian dalam jumlah yang tidak sedikit. Sebaliknya, coba buka catatan sejarah tentang pemimpin-pemimpin besar. Rangkaian kata-katanya banyak yang menggugah, menyentuh dan memberi inspirasi. Kalau setelah mereka meninggal, banyak orang berkomentar seindah kata-kata yang pernah diucapkan pemimpin, ini bukanlah sebuah kebetulan belaka.

Ini bisa terjadi, karena kata-kata yang kita keluarkan sebenarnya terpantul ke diri kita. Diri kita sebagian adalah hasil echo dari kata-kata yang kita ucapkan.

Aspek ketiga sekaligus yang paling riil dari sutera keberhasilan adalah tindakan. Diri kita, sebenarnya hasil dari keputusan dan tindakan yang diambil di masa lalu. Saya menjadi pembicara publik dan konsultan karena pernah dan konsisten memutuskan untuk tetap di jalur ini. Orang bisa menjadi penjudi karena pernah memutuskan untuk menjadi penjudi.

Siapapun tanpa terkecuali, bisa memberikan warna terhadap kehidupannya melalui keputusan dan tindakannya. Namun, impak yang ditimbulkannya menjadi kecil jika seseorang sering melakukan zig-zag dalam kehidupan. Hari ini mau jadi agen asuransi, besok mau jadi pegawai bank.

Disamping itu, kita juga sedang membentuk diri sendiri melalui percobaan-percobaan kehidupan yang dilakukan setiap hari. Seorang sahabat saya di masa muda tidak bisa keluar dari profesi judi karena pernah mencoba dan menang besar. Ada teman yang sangat menikmati kehidupan menjadi pendeta, karena pernah mencoba dan ternyata cocok dengan apa yang dicari.

Digabung menjadi satu, fikiran, kata-kata dan tindakan adalah bahan-bahan sutera keberhasilan yang amat menetukan.

Syukurnya, ketiga-tiganya diizinkan untuk berada dalam kontrol kita. Sayangnya, karena ketidaktahuan, kekhilafan atau ketidakmampuan belajar, kita sering membiarkan wajah kehidupan kita ‘dibentuk’ oleh fikiran, kata-kata dan tindakan yang kita buat sendiri.

Kembali ke cerita awal saya tentang ratusan anak muda korban PHK, yang saya temui dalam seminar yang diadakan BPPN (Badan Penyeehatan Perbankan Nasional), umur muda sebenarnya sebuah peluang emas. Sutera Anda belum terlalu terbentuk. Sebagian besar fikiran Anda masih bersih. Tabungan kata-kata kotor Anda masih sedikit. Demikian juga dengan tindakan, masih terlalu banyak yang bisa dilakukan.

Kahlil Gibran dalam Sang Nabi pernah menulis :


Dan apakah kerja dengan rasa cinta itu?
Laksana menenun kain dari benang
Yang ditarik dari jantungmu
Seolah-olah kekasihmulah
Yang akan mengenakan kain itu

Mendengarkan Bocah Dalam Diri


Anak-anak, bagi saya, adalah sebuah kekayaan yang amat berharga dalam kehidupan. Mereka tidak hanya penerus kehidupan, dalam dimensi kekinian juga sumber tawa dan canda. Bayangkan, sesuatu bila diucapkan orang dewasa menjadi biasa-biasa saja, namun bila terucap dari mulut bocah, tawa dan bangga mudah keluar.

Sayangnya, tidak demikian halnya dengan bocah di dalam diri kita. Sedikit saja timbul kesalahan, kita mudah sekali menyebut diri kekanak-kanakan. Kita menyebut semua bentuk perilaku kanak-kanak sebagai perilaku yang perlu disembunyikan.

Coba perhatikan pegolf dunia Tiger Wood tatkala baru memperoleh birdie, ia menampilkan perilaku kanak-kanaknya dengan menyatukan siku dengan lututnya. Amati pemain sepak bola yang berhasil merobohkan gawang lawan, ia berlari, berteriak, memeluk semua temannya persis seperti anak-anak. Iklan sebuah telepon seluler menunjukkan, bahkan pemimpin dunia sedingin Margareth Thatcher-pun bisa mempertontonkan perilaku anak-anak di depan umum.

Sebagaimana pernah dikerangkakan melalui analisis transaksional, anak-anak adalah bagian dari diri kita selama kita masih bernafas. Mau dimusnahkan sekalipun, ia akan senantiasa menjadi bagian integral dari tubuh kita.

Bila ditekan, disamping menjadi sumber daya tidak terpakai, ia juga bisa membuat hidup tidak seimbang. Sesuatu yang kerap menjadi awal kecelakaan hidup.

Lebih dari itu, energi kanak-kanak juga menjadi sumber dari kejernihan, kreatifitas, dan kepolosan-kepolosan alami. Coba perhatikan pertanyaan-pertanyaan polos anak-anak di rumah. Bukankah ia teramat jujur? Kendati naif, tidakkah ia menyimpan fundamentalisme hidup? Meskipun lucu, tidak jarang kita dibuat terperanjat oleh pertanyaan-pertanyaan anak-anak.

Setali tiga uang dengan anak-anak di rumah, bocah di dalam diri kita juga sama. Ia sering bertanya, bercanda, menimbulkan tawa, atau kadang sarkastis terhadap diri kita.

Saya sering mentertawai hidung saya yang dulu ditertawai orang. Rambut rontok saya, tidak hanya menjadi bahan tertawaan saya, tetapi juga konsumsi orang lain.

Sebagai hasilnya, lebih dari sekadar tertawa sendiri maupun bersama orang lain, kegiatan mentertawai diri sendiri ini sering menjadi sumber kedewasaan, dan kearifan hidup. Penyakit mudah tersinggung yang menghinggapi saya dulu, pelan-pelan berkurang secara meyakinkan. Kekakuan bergaul dengan orang lain, luntur bersamaan dengan semakin seringnya saya mentertawai diri sendiri. Tidak sedikit uang yang saya peroleh yang bersumber dari imajinasi ala anak-anak. Paradigma anak-anak yang polos dan lentur, tidak hanya mengurangi konflik dengan orang lain, tetapi juga membuat saya semakin kaya secara filsafat.

Karena demikian seringnya bocah dari dalam ini didengar, ia teramat sering menjadi rem etika yang mengagumkan. Di hotel tempat saya sering menginap, ada banyak godaan, namun kanan-kanak saya bertanya : “bukankah kamu menjadi guru buat orang lain?“. Di perusahaan tempat saya bekerja, sering ada peluang uang yang tidak sedikit, tetapi bocah dalam diri ini sering berucap lirih : “bukankah Anda sering berucap di seminar, bahwa etika adalah sesuatu yang Anda lakukan ketika orang lain tidak ada?“.


Bocah ini tidak saja berfungsi menjadi rem. Ia kerap menjadi penyeimbang kehidupan yang mengagumkan. Tatkala badan sudah diperkosa pekerjaan, kanak-kanak di dalam diri permisi untuk diajak teriak-teriak di karaoke, lapangan golf, atau malah di sungai belakang rumah. Ketika mood lagi jenuh, ia mulai merengek untuk diajak bertemu teman yang menimbulkan tawa. Di saat rasa marah muncul, ia meledek saya sebagai orang yang hanya bisa bicara di depan umum tanpa bisa melaksanakan.

Saya tidak tahu bagaimana pengalaman Anda, bagi saya energi kanak-kanak yang tersembunyi dalam diri kita amatlah luar biasa jika dimanfaatkan.

Ada beberapa ciri yang melekat dalam energi yang sering tidak diizinkan untuk muncul ini. Polos, naif, jujur, tidak masuk akal, lucu, egois, adalah sebagian dari ciri-ciri dorongan kekanak-kanakan.

Anda boleh punya cara lain untuk belajar mendengarkan bocah dalam diri Anda. Saya melakukannya dengan beberapa langkah berikut.

Pertama, miliki minimal setengah jam setiap hari untuk meledek atau mentertawakan diri sendiri. Waspadai jangan sampai membuat diri Anda minder.

Kedua, daftar kelucuan, kobodohan dan kekhilapan Anda selama hidup, dan temukan cara untuk mentertawakannya.

Ketiga, luangkan waktu untuk memuaskan anak-anak di dalam diri Anda. Saya melakukannya dengan berkaraoke, berteriak di lapangan golf, mencoret-coret foto orang yang saya tidak suka.

Keempat, setiap kali melihat persoalan - apa lagi saat kepala mampet - tanyalah diri Anda : “bagaimana saya melihat persoalan ini tatkala saya masih anak-anak?“.

Sebagaimana pernah ditulis fisikawan Fritjof Capra dalam The Uncommon Wisdom : “Krishnamurti told with all his charisma and persuasion to stop thinking, to liberate my self from all knowledge, to leave reasoning behind.“

Keberanian untuk berhenti berfikir, meletakkan reason di belakang, membebaskan diri dari semua pengetahuan - yang saya yakin menjadi titik awal dari kreatifitas dan kepekaan kemanusiaan, bisa dilakukan bila kita kembali ke posisi innocent sebagaimana anak-anak. Ini bisa dicapai, bila kita rajin mendengarkan bocah dalam diri.

Bebas Dari Belenggu Ketakutan


Untuk urusan menjadi pembicara publik bagi sejumlah perusahaan minyak terkemuka, saya menghabiskan banyak waktu di kota Bandung. Satu hal yang membedakan Bandung dengan Jakarta dan sejumlah kota besar lainnya, adalah wajah-wajah manusia yang kita temui di jalan raya. Begitu sampai di Bandung, langsung terasa ekspresi takut dan curiga manusianya amatlah berbeda.

Di Jakarta, kita bertemu jutaan manusia dengan tatapan mata kosong, memandang curiga ke orang lain, pelit sekali dengan senyum buat orang lain, dan diliputi rasa takut dan was-was setiap saat.

Hidup dan kehidupan - dalam keadaan demikian - adalah pengalaman yang diisi dengan rasa takut, curiga dan was-was. Membaca koran, sebagian isinya pembunuhan dan perampokan. Mendengar radio, tidak sedikit yang berisi cerita menakut-nakuti. Menonton televisi, ada gambar-gambar penuh darah dan kebencian. Di kantor, hampir semua bermain politik saling menjatuhkan. Di lingkungan tetangga, orang pamer dan berperilaku lebih kaya dibandingkan orang lain.

Di suatu kesempatan berjalan-jalan kaki bersama isteri di kota Bandung, saya amat merasakan suasana yang amat lain. Terutama, dalam hal ketakutan dan rasa curiga yang melingkupi wajah mahluk-mahluk ciptaan Tuhan yang ada di jalan raya.

Digabung menjadi satu, hidup di kota besar seperti Jakarta, sebenarnya mirip dengan memproduksi diri sendiri menjadi manusia yang dibelenggu ketakutan. Di lampu merah, kita harus awas dengan pencopet. Di mal, kita dipaksa waspada terhadap siapa saja yang tidak dikenal. Di rumah, begitu ada orang yang tidak pernah kelihatan sebelumnya, otomatis pintu dan jendela ditutup.

Jangan tanya saya tentang kesehatan jiwa dalam masyarakat seperti ini. Yang jelas, Irish Barrow pernah menulis : ‘Holding a grudge is a subtle form of suicide‘. Hidup dalam dendam - demikian juga dalam ketakutan - adalah bentuk halus dari bunuh diri.

Kadang, ada dorongan untuk lari dan keluar dari lingkungan seperti ini. Kerap, saya protes kenapa saya membunuh diri sendiri dan keluarga saya dengan mesin-mesin ketakutan yang tidak ada hentinya. Sering, saya berucap lirih ke diri sendiri, bagaimana saya bisa kerasan hidup di tengah lautan kecurigaan dan ketakutan.

Tadinya, saya fikir hanya sedikit manusia Jakarta yang protes seperti saya ini. Namun, belakangan setelah bertemu lebih dari seratus ribu orang di seminar pertahunnya, keluyuran di banyak tempat di Jakarta dari lapangan golf sampai pesta pernikahan, rupanya saya tidak kesepian. Ada banyak manusia lainnya yang juga membunuh dirinya dengan mesin ketakutan.

Lebih parah lagi, kalau saya masih menyimpan sedikit kewaspadaan dengan mesin terakhir. Ada ribuan manusia lain, yang diproduksi oleh mesin ketakutan, tetapi sedikitpun tidak menyadari akan bahaya di balik itu.


Saya tidak tahu apakah Anda menyimpan kekhawatiran terhadap semua ini. Tetapi saya sangat mengkahawatirkan akan akibat jangka panjang yang ditimbulkan dari belenggu ketakutan ini. Kreativitas, inovasi, imajinasi, ketulusuan, kecintaan pada orang lain, kesegaran berfikir, kepekaan kemanusiaan adalah sebagian anugerah Tuhan yang sedang kita basmi habis-habisan melalui mesin ketakutan ala Jakarta.

Tidak usah terlalu muluk bercerita tentang sumber daya manusia, daya saing manusia Indonesia, atau apalah namanya. David Mc. Clleland boleh saja berteori tentang achieving society. Max Weber bisa saja menjual idenya tentang The Protestan Ethics and The Spirit of Capitalism. Dimana keduanya sama-sama mengagungkan persaingan dan ketakutan sebagai motor kemajuan.

Akan tetapi, bisakah kejernihan, kepekaan dan imajinasi lahir dari kumpulan manusia yang sedang didorong habis-habisan oleh mesin ketakutan? Anda bisa saja punya bukti yang memungkinkan jawaban positif terhadap pertanyaan terakhir. Namun, saya meragukan bila kepekaan jiwa manusia bisa diasah dalam lingkungan sosial seperti ini.

Ada ratusan manusia yang pernah bertanya karena kehilangan kepekaan terakhir. Tidak sedikit manajer yang sudah menyadari bahwa dirinya kesepian di keramaian. Sejumlah pengusaha yang saya kenal, merasakan kekeringan di tengah basahnya kekayaan yang mereka miliki.

Kendati majalah Infobank pernah menyebut saya sebagai seorang ‘resi’, saya terus terang masih jauh dari kualitas seorang resi. Jangan-jangan menjadi guru saja belum buat orang lain. Namun, masih teramat sering saya bertemu dengan manusia yang mencari ketenangan dan kejernihan dari luar. Seolah-olah ada ilmu kejernihan, kepekaan dan imajinasi. Ada rumus dan jurus yang bisa siap pakai. Ada guru dan pelatih yang bisa menyulap Anda.

Setelah melalui berbagai proses belajar. Dari hidup dalam kemiskinan, sekolah drop out, miskin perhatian, dianggap bodoh oleh banyak orang, masuk rumah sakit karena kebanyakan belajar, sampai dengan dikagumi oleh sejumlah orang. Serta saya padukan dengan berbagai pengalaman meditatif. Saya sampai pada sebuah kesimpulan sederhana : ‘lihatlah ke dalam, di mana hanya ada kedamaian‘.

Percuma saja, Anda mencari pembebas ketakutan dari luar. Ia ada di sini : dalam diri kita sendiri. Di manapun, dalam keadaan apapun, serta dengan siapapun, kebebasan itu bisa kita temukan. Persoalannya cuma satu : maukah kita mencarinya ? Bukankah ketakutan hanyalah hasil rekayasa dari fikiran yang terikat? Sekali kita tidak lagi terikat dengan mobil, rumah, masa depan, anak, isteri, suami, bukankah kebebasan tadi otomatis rajin berkunjung?