1:53 AM -
Senyuman Sebagai Kecerdasan
No comments
Senyuman Sebagai Kecerdasan
Suatu hari ada anak kecil sedang menggali pasir di pinggir pantai menggunakan tangannya yang juga kecil. Tatkala ditanya apa yang ia lakukan, dengan polos anak kecil ini menjawab: “saya mau memasukkan semua air samudera ke dalam sumur bikinan saya sendiri”.
Seperti itulah nasib banyak manusia di zaman ini. Kehidupan dan Tuhan seluas samudera. Tapi pikiran manusia mirip dengan sumur kecil. Sedihnya, majunya pendidikan membuat sebagian manusia demikian percaya dirinya seolah-olah bisa mengerti semuanya dengan pikiran semata. Ujungnya mudah ditebak, di mana-mana terlihat mata manusia yang bercerita, kalau mereka terasing atau tidak betah dalam tubuh mereka sendiri.
Seorang sahabat yang menghabiskan waktu puluhan tahun menjadi konsultan sejumlah perusahaan besar, serta mengerti isi perut banyak organisasi korporasi bercerita, tidak sedikit orang yang pikirannya terlalu kuat yang menimbulkan kekeliruan-kekeliruan berbahaya. Tidak saja membuat organisasi yang ia pimpin merana, tapi juga membuat sebuah bangsa menderita.
Sebagian dari orang-orang yang pikirannya terlalu kuat itu bahkan harus wafat di usia muda. Serta menyisakan banyak luka jiwa pada orang-orang sekitar. Pikiran yang terlalu kuat mudah membatu. Sebagai akibatnya, mudah menimbulkan benturan di sana-sini. Dalam kisah sejumlah organisasi profesi yang diisi banyak orang dengan pikiran terlalu kuat, setiap kali mereka rapat setiap kali itu juga ada yang lempar kursi.
Angka bunuh diri yang menaik di mana-mana, tingkat perceraian yang juga menaik, korban narkoba yang meningkat di seluruh penjuru dunia, semuanya memiliki kaitan dengan pikiran yang terlalu kuat. Salah satu ciri penting pikiran yang terlalu kuat, ia diisi oleh harapan yang demikian mencengkram, terutama agar orang lain berperilaku sesuai dengan apa yang mereka harapkan.
Di sesi-sesi meditasi sering terbuka rahasianya. Sahabat-sahabat yang pernah mencoba bunuh diri berkali-kali, terkena penyakit berbahaya seperti kanker dan stroke, semuanya ditandai oleh pikiran sangat kuat sekaligus sangat mencengkram. Pikiran seperti ini tidak saja berbenturan ke luar, tapi juga berbenturan ke dalam. Sebagai akibatnya, seseorang jadi kehabisan banyak energi sehingga mudah sakit.
Dan sebelum kehidupan terjun ke jurang berbahaya, mari belajar melatih pikiran agar lebih lentur dan lebih luwes. Seperti air yang luwes dan lentur. Tidak saja lebih sedikit benturan yang terjadi dengan orang lain, tapi juga lebih sedikit energi yang terbuang percuma. Tidak saja badan jadi lebih sehat, tapi jiwa juga menjadi lebih bercahaya.
Salah satu kualitas penting dalam hal ini yang layak dikembangkan adalah penghargaan akan perbedaan. Meminjam pesan sebuah buku suci: “Ekam sat vipra bahudha vadanthi”. Kebenaran itu satu, tapi orang-orang suci memberinya banyak nama. Perhatikan kotoran sapi. Bagi orang kota yang tidak mengenal pertanian, kotoran sapi adalah kotoran yang harus dibuang. Namun bagi petani di desa, kotoran sapi adalah pupuk yang mempersubur tanaman.
Hal yang sama terjadi dengan perbedaan pandangan, perbedaan gagasan, perbedaan disiplin ilmu, perbedaan latar belakang serta perbedaan-perbedaan lainnya. Jika pikiran yang terlalu kuat meletakkan perbedaan sebagai musuh yang berbahaya, pikiran yang luwes dan lentur melihat perbedaan sebagai benih-benih yang bisa membuat jiwa jadi bercahaya. Jika pikiran terlalu kuat mengambil yang benar dan membuang yang salah, pikiran yang luwes mensintesakan salah-benar, buruk-baik menjadi benih-benih cahaya. Mirip dengan apa yang terjadi dengan cahaya listrik sebagai hasil sintesis negatif-positif.
Sebagai langkah keseharian yang mudah dicerna dan mudah dilaksanakan, senyuman sangat membantu dalam hal ini. Manakala seseorang tekun berlatih tersenyum, otot-otot keras di dalam pikiran semakin lentur. Pada saat yang sama, lebih sedikit energi yang terbuang. Senyuman juga sejenis sintesa negatif-positif di dalam diri yang mudah memunculkan cahaya. Dan di puncak senyuman, jiwa tidak menemukan apa-apa selain kedamaian.
Oleh: Gede Prama.