”Cangkul, cangkul, cangkul yang dalam....”
Kemiskinan badan berjumpa kemiskinan batin, demikian seorang murid mendengar bisikan gurunya pada akhir meditasi.
Rumah sakit yang seyogianya menjadi tempat penyembuhan, tidak saja mahal, malah mengirim pasiennya ke penjara. Sekolah yang dulu menggembirakan, kini pada saat ujian dijaga polisi, Bahkan, terjadi berbagai penangkapan, menakutkan.
Sekolah yang indah
Di banyak tempat, ditemukan home schooling. Anak-anak takut ke sekolah karena dipukuli teman, guru galak, pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya. Ini memberi inspirasi, saatnya merekonstruksi sekolah agar indah.
Di sebuah pelatihan sopir taksi pernah dilakukan latihan memberi yang menarik. Pada hari pertama peserta diminta membawa nasi bungkus karena tidak disediakan makan siang. Peserta berlomba membawa makanan yang enak. Ketika makan, peserta diminta meletakkan nasinya di kelas sebelah untuk dimakan peserta sebelah. Sementara yang bersangkutan memakan makanan yang dibawa orang lain.
Pada hari kedua juga diminta membawa nasi bungkus. Setelah tahu kalau nasi yang dibawa untuk kelas sebelah, banyak yang membawa nasi seadanya. Tidak sedikit hanya membawa nasi putih saja. Ternyata aturannya berubah, peserta harus memakan nasi yang dibawa sendiri.
Yang ingin diilustrasikan di sini, menyangkut perut sendiri betapa borosnya manusia memberi, bahkan banyak yang stroke. Namun terkait perut orang, betapa sedikit yang diberikan. Tiba-tiba para sopir tersentak, betapa egoisnya hidup. Ego inilah yang menciptakan penderitaan. Maka ada guru yang berpesan: ”Memberi, memberi, memberi. Lihat bagaimana hidupmu menjadi sejuk dan lembut setelah rajin memberi”.
Di sekolah guru boleh meniru pola pelatihan sopir itu, bisa juga mengajak anak didik ke panti asuhan, bermain bola bersama anak kampung. Intinya, menyadarkan pentingnya memberi.
Dalam bahasa manusia jenis ini, saat memberi sebenarnya orang tidak saja mengurangi beban pihak lain, tetapi juga sedang membangun potensi kebajikan dalam diri. Ini yang kelak memancarkan kebahagiaan.
Tiga tangga pemberian
Pemberian terdiri tiga tangga. Pertama, semua makhluk sama dengan kita: ”mau bahagia, tidak mau menderita”. Karena itu, jangan pernah menyakiti.
Kedua, para makhluk lebih penting. Nasi, udara, pekerjaan, semua yang memungkinkan hidup berputar, dihasilkan makhluk lain. Binatang bahkan terbunuh agar manusia bisa makan daging. Untuk itu, banyaklah menyayangi. Dari menanam pohon, melepas burung, menyayangi keluarga, bekerja jujur, tulus, sampai memberi beasiswa anak-anak miskin.
Ketiga, karena semua makhluk lebih penting, belajarlah memberi kebahagiaan, mengambil sebagian penderitaannya. Perhatikan doa Santo Fransiskus dari Asisi. Beri saya kesempatan menjadi budak perdamaian. Di mana ada kegelapan kemarahan, biar saya hadir membawa cahaya kasih. Di mana ada bara api kebencian, biar batin ini muncul membawakan air suci memaafkan. Mistikus sufi Kabir berkata, ”Nur terlihat hanya beberapa detik, tetapi ia mengubah seorang penyembah menjadi pelayan.”
Dalai Lama kerap menitikkan air mata saat membacakan doa ini, ”Semasih ada ruang, semasih ada makhluk. Izinkan saya terus terlahir ke tempat ini agar ada yang membantu semua makhluk keluar dari penderitaan.”
Penggalan lagu di awal tulisan mengingatkan, dengan mencangkul yang dalam, akar-akar pohon membantu batang, daun, bunga, dan buah bertumbuh. Kehidupan manusia juga serupa. Hanya pemberian yang memungkinkan seseorang ”mencangkul hidupnya” secara mendalam. Hasilnya, bunga kehidupan mekar: kaya rasa, kaya makna. Sampai di sini, guru berbisik: bahkan kematian pun bisa berwajah menawan.
Pertama, bagi yang terbiasa memberi (melepaskan), tidak lagi tersisa kelekatan yang membuat kematian menakutkan. Kematian menakutkan karena manusia belum terbiasa melepaskan.
Kedua, melalui kematian manusia melaksanakan kesempurnaan pemberian. Jangankan uang, tubuh pun diikhlaskan.
Tubuh menyatu dengan tanah, ikut menghidupi makhluk di bumi karena menghasilkan padi, sayur, buah. Unsur air bergabung dengan air agar makhluk tidak kehausan. Unsur api menyatu dengan api agar makhluk bisa memasak. Unsur udara bersatu dengan udara agar makhluk bisa bernapas. Unsur jiwa (ada yang menyebut kesadaran) menyatu dengan semua jiwa (kesadaran) agar semua makhluk teduh. Inilah kematian yang menawan. Melalui kematian manusia bukan kehilangan, malah memberikan.
Guru, semoga ada pemimpin yang tertarik mencangkul hidupnya secara mendalam. Lalu tersentuh untuk meringankan beban mereka yang kerap menangis oleh biaya sekolah, biaya berobat, biaya menemukan keadilan yang serba mahal.
Di Bali ada cerita seorang anak yang pintar, cerdas, ganteng bernama Nyoman. Karena itu ia disayangi orang. Bosan dengan semua ini, ia datang ke hutan menemui penyihir. Dan diberilah Nyoman seruling waktu yang hanya bisa diputar ke depan. Dan mulailah ia bereksperimen.
Pertama-tama ia putar ke masa remaja. Tidak berapa lama ia bosan, diputar lagi seruling waktunya ke masa tua. Ia lihat seorang ayah dengan seorang istri yang menua. Ini lebih membosankan lagi, ia putar ke masa lebih tua lagi. Dan di sini baru timbul penyesalan. Ada banyak momen kekinian yang lupa dinikmati. Masa kanak-kanak yang penuh tawa, masa remaja yang penuh persahabatan, masa kuliah yang penuh perdebatan. Dan menangislah Nyoman pergi ke hutan minta penyihir untuk mengembalikan hidupnya.
Kalau boleh jujur, setengah lebih manusia berperilaku serupa Nyoman: buru-buru ke masa depan. Dan sesampai di sana, baru menyesal ada banyak masa kini yang sudah jadi masa lalu lupa dinikmati. Manusia cerdas dan keras sekali mempersiapkan diri menyongsong masa depan. Namun sering gagal menikmati dan mensyukurinya. Dalam bahasa kawan yang suka mengeluh, dulu tidak bisa makan enak karena tidak punya uang. Sekarang juga tidak bisa makan enak karena keburu stroke.
Bangsa ini serupa. Pengap dengan orde lama kemudian ia ditumbangkan, datanglah orde baru. Orde terakhir serupa, nikmatnya sebentar, lagi-lagi harus ditumbangkan diganti orde reformasi. Ada tanda-tanda kuat, inipun sudah membawa kebosanan banyak orang.
Peradaban manusia setali tiga uang. Bergerak dari satu kebosanan ke kebosanan lain: perang dunia pertama, perang dunia kedua, perang dingin antara dua negeri adi kuasa, hantaman bom teroris.
Hari ini sebagai hadiah
Mungkin karena lelah dengan kehidupan yang terus berkejaran ke masa depan, kemudian banyak guru meditasi mengajari muridnya berpelukan dengan masa kini. Dan tidak perlu menunggu dengan syarat yang berat dan sulit, dengan badan sekarang, umur sekarang, kekayaan materi sekarang belajarlah memeluk semuanya dengan senyuman dan persahabatan.
Sebagaimana telah dibuktikan, lebih mudah menemukan kesehatan dan kebahagiaan dengan senyuman dan persahabatan dibandingkan dengan kemarahan dan kebencian. Makanya, tidak sedikit penulis (sebagai contoh Spencer Johnson dalam bukunya berjudul The Present) menyimpulkan kalau hari ini sama dengan the present (hadiah).
Suami, istri, anak-anak, orang tua, rumah, pekerjaan, kesehatan sekarang, memang tidak sempurna, namun semuanya menunggu untuk disyukuri. Indonesia sebagai rumah banyak manusia juga tidak sempurna. Namun ia menyisakan berlimpah hal yang layak disyukuri. Dari matahari terbit dan terbenam membawa keindahan, dengan pendapatan sedang-sedang saja sudah bisa menggaji pembantu lebih dari seorang, godaan bencana sering kali membukakan bukti kalau manusia Indonesia masih peduli dan punya hati.
Ada sahabat yang berfantasi seperti ini. Andaikan kita tersesat di luar angkasa, mimpi terindah yang ingin segera terealisasi adalah melangkahkan kaki di planet indah bumi ini. Pakistan boleh bergelora dengan politiknya, Timur-Tengah dengan Israel boleh masih berseteru, namun di sini di bumi ini masih tersedia berlimpah hal yang layak disyukuri.
Pernafasan adalah keindahan
Ada yang bertanya, kalau demikian kenapa begitu susah menikmati masa kini? Bila diibaratkan rumah, tubuh manusia berisi demikian banyak jendela terbuka. Mata, telinga, mulut, hidung, pikiran, keinginan, perasaan terbuka setiap hari tanpa dijaga. Sudah terbuka tanpa penjaga, kita membiarkannya menonton acara-acara menakutkan di televisi, mendengarkan dialog penuh kekerasan di radio. Dan jadilah kehidupan seperti rumah berantakan.
Dengan pemahaman mendalam akan hal inilah kemudian banyak orang menjaga jendela-jendela kehidupannya dengan penjaga yang bernama kesadaran dan kewaspadaan. Dan mengaktifkan penjaga ini amat dan teramat sederhana, murah meriah. Hanya dengan memperhatikan nafas. Bagi siapa saja yang perjalanan meditasinya sudah jauh, akan tahu ketika manusia rajin memperhatikan nafas, tidak saja penjaga bernama kesadaran dan kewaspadaan mulai bekerja, namun juga menemukan ada yang indah dalam bernafas penuh kesadaran: berpelukan dengan masa kini yang abadi!.
Masa lalu telah berlalu, masa depan belum datang, kedua-duanya tidak dalam genggaman. Satu-satunya waktu kehidupan yang menyediakan dirinya untuk bisa dipeluk adalah masa kini. Dan untuk memeluknya, ia sesederhana tersenyum, lihat, nikmati, syukuri udara masuk dan keluar melalui lubang hidung.
Akan lebih mudah lagi melakukannya kalau seseorang sudah bisa semengagumkan Jalalludin Rumi: all are sent as guides from the beyond. Semua yang terjadi membawa bimbingan-bimbingan dan tuntunan-tuntunan.
Sukses indah, gagal juga indah. Bukankah kegagalan memberi tahu batas-batas kemampuan diri? Disebut suci baik, disebut munafik juga baik. Bukankah sebutan munafik membuat kita jadi rendah hati? Semuanya menyediakan tuntunan-tuntunan.
Bila begini cara memandangnya, maka menyatu dengan masa kini yang abadi, bisa dilakukan dengan lebih mudah sekaligus indah. Ketenangan membuat semuanya lebih menawan.
Dan ini tidak hanya bisa dilakukan di ruang meditasi. Dari membuka mata di pagi hari, menyatu dengan air yang mengucur dari wastafel, tersenyum pada kemacetan, memimpin rapat, pulang memeluk pipi orang rumah. Inilah yang disebut damai dalam setiap langkah.
Dalam bahasa Dalai Lama, transformasi kedamaian dunia melalui kedamaian diri memang sulit tapi itu satu-satunya cara. Untuk itulah perlu melengkapi keindahan pernafasan dengan kesadaran dalam setiap kontak. Tatkala mata mengalami kontak (misalnya melihat orang menjengkelkan), ia menimbulkan perasaan tertentu. Latihannya kemudian, perasaan ini bersahabat dengan kewaspadaan atau bersahabat dengan kebodohan.
Diterangi kesadaran dan kewaspadaan, setiap langkah menjadi langkah kedamaian sekaligus langkah kesucian. Thich Nhat Hanh tidak memiliki saingan dalam hal ini. Dalam sejumlah karyanya (dari Present moment wonderful moment sampai Peace is every step), ia senantiasa menggaris bawahi pentingnya kedamaian saat ini. Di mana pun penulis ini akan terdiam sebentar, menarik nafas, terhubung dengan kekinian setiap mendengar bunyi bel. Di ruangan meditasinya di desa Plum Perancis ia menulis: bernafaslah, engkau masih hidup!
Cerita manusia adalah cerita derita, demikian bisik seorang kawan. Di Pakistan, belum lama Bhenazir Bhutto menginjakkan kaki di tanah kelahirannya, lehernya sudah ditembus peluru sampai tewas. Di Kamboja, pendeta Buddha berkelahi dengan polisi. Amerika Serikat yang menjadi tauladan dunia menjadi penghalang kesepakatan untuk mengurangi dampak pemanasan global. Gempa, tsunami, kelaparan, mengunjungi semua pojokan bumi.
Di negeri ini serupa. Banyak pemilihan kepala daerah berakhir rusuh. Kekerasan di kalangan remaja amat mengkhawatirkan. Di Bali, kadang kekerasan muncul bahkan ketika upacara dilaksanakan.
Membaca tanda-tanda seperti ini, ada yang mengeluh, bila demikian bukankah hidup manusia sama dengan neraka? Entahlah, yang jelas wajah kehidupan yang terlihat tergantung pada siapa diri kita di dalam. Bila di dalamnya cinta, manusia berjumpa cinta di mana-mana. Jika di dalamnya kebencian, manusia menemukan kebencian di mana-mana.
Membangun rumah cinta
Dilihat dari segi bahan, manusia berbahankan cinta. 0rang tua berpelukan penuh cinta ketika manusia dibikin. Disusui Ibu penuh dengan pelukan cinta. Banyak ayah yang tidak jadi memasukkan makanan ke mulut, hanya karena mau berbagi cinta dengan anak. Makanan dan minuman manusia datang dari alam yang berlimpah cinta. Ada yang mengandaikan kehidupan sebagai hujan cinta yang tidak pernah berhenti. Cuman sebagian memayungi dirinya dengan keangkuhan, sehingga badannya kering dari hujan cinta. Dengah bahan seperti itu, bila outputnya kebencian, mungkin kita perlu merenungkan prosesnya.
Perilaku kehidupan serupa matahari. Bila sudah waktunya terbit, ia terbit. Jika saatnya terbenam, ia terbenam. Dan di dalam pikiran yang dipenuhi rasa cinta, matahari akan disebut menerangi, memberi energi. Dalam pikiran yang penuh keluhan, ia diberi judul panas, sumber kekeringan, awal paceklik.
Berdiri di atas kesadaran seperti inilah kemudian banyak guru sepakat, fondasi awal membangun rumah cinta adalah pikiran yang terawasi secara rapi. Ketika senang diawasi, tatkala sedih juga diawasi. Persoalan dengan banyak manusia, terlalu melekat dengan hal-hal yang menyenangkan, menolak yang menjengkelkan, bosan dengan hal-hal biasa. Karena yang menyenangkan berpasangan dengan hal-hal yang menjengkelkan (seperti malam berpasangan dengan siang), maka berputarlah kehidupan dalam siklus tanpa akhir: senang, sedih, bosan dan seterusnya. Inilah awal dari banyak kelelahan emosi.
Sadar dengan akibat kelelahan inilah, kemudian sejumlah orang mengakhiri siklus terakhir hanya dengan mengamatinya. Being a compassionate witness, demikian saran seorang penulis meditasi. Lihat emosi dan pikiran yang naik turun seperti seorang nenek penuh cinta sedang melihat cucu-cucunya berlari ke sana ke mari. Semuanya sudah, sedang dan akan baik-baik saja. Atau lihat keseharian yang digerakkan senang, sedih, bosan seperti melihat aliran air di sungai. Kesenangan mengalir berlalu, kesedihan mengalir berlalu.
Di atas siklus yang terawasi rapi ini, kemudian dibangun tiang-tiang keseharian yang banyak membantu. ‘Bila tidak bisa membantu cukup jangan menyakiti’, demikian pesan sejuk seorang Lama. Atap rumah cinta kemudian bernama kaya karena rasa berkecukupan. Dalam bahasa seorang bapak yang amat mencintai anaknya: ‘dalam rasa berkecukupanlah letak kekayaan teragung’. Sebagai hasilnya, terbangunlah rumah-rumah cinta yang sejuk dan teduh.
Agar rumahnya tidak pengap, ia memerlukan pintu dan jendela. Pintunya bernama deep listening. Jendelanya berupa loving speech. Sebagaimana sudah menjadi rahasia banyak terapis, kesediaan untuk mendengarkan adalah sebuah penyegar banyak kepengapan jiwa di zaman ini. Tidak sedikit pasien yang sudah mendapatkan sebagian penyembuhan hanya dengan didengarkan. Dan bila harus berbicara, berbicaralah dengan bahasa-bahasa cinta.
Seorang sahabat dengan kata-kata yang berkarisma, pernah ditanya kenapa kata-katanya demikian berkarisma. Dengan tangkas ia menjawab, gunakan kata-kata hanya untuk membantu bukan untuk menyakiti. Kombinasi antara kesediaan mendengar dengan kata-kata yang penuh cinta inilah yang membuat rumah cinta dipenuhi udara segar.
Meminjam hasil kontemplasi orang suci, bila ada waktu merenung renungkanlah kekurangan-kekurangan Anda. Jika ada waktu berbicara bicarakanlah kelebihan-kelebihan orang lain. Mendengar penjelasan seperti ini, ada yang bertanya, kalau demikian apa itu cinta?. The Book of Mirdad menulis: ‘cintamu adalah dirimu yang sesungguhnya’. Dengan kata lain, di luar cinta adalah kepalsuan-kepalsuan. Laksanakan cinta, kemudian lihat bagaimana ia membuka keindahan dirinya. Kata-kata hanya penghalang pemahaman.
Rumah cinta berjalan
Di pulau Okinawa Jepang, pernah ada guru karate yang disegani. Di suatu latihan, muridnya bertanya apakah karate itu?. Dengan tersenyum ia menjawab: ‘karate means keep smiling in all situations‘. Karate berarti tersenyum di semua keadaan. Dan tentu muridnya bingung. Hanya karena segan, kemudian ia diam.
Sepulang latihan, murid ini menemui tentara Amerika mabuk yang mau membuat keributan di jalan. Murid karate ini panas. Begitu siap berkelahi, tiba-tiba gurunya muncul dengan penuh senyuman menyambut tentara-tentara tadi: ’selamat datang di Okinawa, Anda pasti sudah menikmati keindahan Okinawa’. Dan selanjutnya tidak saja perkelahian bisa dihindarkan, persahabatan dengan tentara Amerika juga berjalan baik-baik saja.
Ini mungkin yang disebut dengan rumah cinta berjalan. Ia menjadi contoh nyata cerita di awal: ‘bila di dalamnya cinta, maka manusia berjumpa cinta di mana-mana’. Berkaitan dengan momentum pergantian tahun, kebanyakan orang bertanya seberapa tua umur sekarang. Jarang yang mau bertanya, seberapa indah rumah cinta sekarang.
Melalui tatapan mata suami, kesetiaan isteri, rasa hormat putera/puteri, perlakuan atasan, senyuman tetangga, jabat tangan bawahan, bantuan teman atau keluarga, senyuman orang-orang yang pernah menyakiti, kita sedang melihat rumah cinta kita. Adakah ia lebih baik atau lebih buruk dari tahun lalu?. Perhatikan apa yang ditulis Thich Nhat Hanh dalam The diamond that cuts through illusion: ‘If you die with compassion in mind, you are a torch lightening our path‘. Ia yang meninggal dengan cinta kasih, menjadi lilin penerang banyak perjalanan. Mungkin ini yang membuat Yesus Kristus tidak pernah berhenti menerangi banyak sekali perjalanan.