tag:blogger.com,1999:blog-30780771796465556432023-11-15T23:26:57.074-08:00Lentera Hati Gede Prama~ kehidupan dan semesta adalah guru tertinggi ~.:: me ::.http://www.blogger.com/profile/09404175544344878135noreply@blogger.comBlogger41125tag:blogger.com,1999:blog-3078077179646555643.post-73397901860444227362020-05-03T03:47:00.000-07:002020-05-03T03:48:15.779-07:00Jaga Diri Dengan Bhakti<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhqKSTgrZSgmDry4m6DXrz4zCS-bSZPdGW4Jz97_GIodmfuUJGf18ztWD8YCIsJnov7mvrKR7xBSNyOERjmyXvz3PVsWBYtojUQBs_tCrEjfGhb4Mucpp-bP6j9ZVekA_s9qxVr9d2pZ4Er/s1600/gedeprama.jpg" imageanchor="1"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhqKSTgrZSgmDry4m6DXrz4zCS-bSZPdGW4Jz97_GIodmfuUJGf18ztWD8YCIsJnov7mvrKR7xBSNyOERjmyXvz3PVsWBYtojUQBs_tCrEjfGhb4Mucpp-bP6j9ZVekA_s9qxVr9d2pZ4Er/s1600/gedeprama.jpg" width="100%" /></a></div>
<br />
Tidak kebayang dunia akan segelap ini. DI AS, sebuah negara yang sering disebut tanah pencari kebebasan, aparat pemerintah sudah mulai menangkap warga yang keluar rumah. Sedih tentu saja. Agar para sahabat dekat selamat, jaga diri dengan bhakti. Dan bentuk bhakti yang terbaik bagi publik pemula adalah melaksanakan apa yang diajarkan. Berikut bahan renungan.<br />
<br />
<ol>
<li>Setiap kali melihat apa saja dan siapa saja, yakini itu sebagai tubuh meta-fisika Guru sejati yang sedang menyelamatkan</li>
<li>Ketika melihat orang pakai masker, ingat untuk lebih sedikit berbicara, perbanyak mendalami alam rasa</li>
<li>Saat melihat langit biru, jangan lupa pesan lawas Guru: “Memandanglah seperti langit, bertindaklah seperti bumi”</li>
<li>Bila melihat Ibu (wanita dewasa atau tua), ingatkan diri bahwa semua mahluk pernah jadi Ibu kita</li>
<li>Tatkala melihat gelombang laut, pikiran, perasaan, kejadian mirip gelombang. Semua lenyap di pantai kedamaian</li>
<li>Jika menemukan awan, ingatkan diri semua hanya muncul-lenyap. Anda adalah langit yang menyaksikan</li>
<li>Seumpama tidak terlihat perlambang di luar, temukan simbol Guru sejati di dalam</li>
<li>Penerimaan diri adalah Tirtha (air suci) yang dipercikkan Guru sejati di dalam</li>
<li>Memaafkan adalah obat sangat indah yang diberikan Guru sejati ke Anda</li>
<li>Senyuman ke dalam adalah perjumpaan pribadi dengan Guru sejati</li>
<li>Rasa syukur yang melahirkan cinta kasih, itulah Guru sejati di dalam diri</li>
</ol>
<br />
<b>Penulis: Guruji Gede Prama (Bel Kedamaian)</b>
<br />
<br />
<div>
<br /></div>
<br />
<br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Sky -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-slot="5590796064" style="display: inline-block; height: 600px; width: 300px;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3078077179646555643.post-22103171148248378162020-04-20T01:53:00.003-07:002020-04-20T01:53:53.673-07:00Senyuman Sebagai Kecerdasan<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjS0HLOcvpiRJabt7hRVo-X0_R7qGM3VbcR2rkutrYPGyVZ1ArxNE6_B4ylktLWkNmtuZ-nj0vP_RFYJ86bD9SWLIXPyujG4iFbIn0NopDlvJKKmoDvKAeYdvLs_rxmbBbiQHvHXDcENVjq/s1600/kamboja%252Bkuning.jpg" imageanchor="1"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjS0HLOcvpiRJabt7hRVo-X0_R7qGM3VbcR2rkutrYPGyVZ1ArxNE6_B4ylktLWkNmtuZ-nj0vP_RFYJ86bD9SWLIXPyujG4iFbIn0NopDlvJKKmoDvKAeYdvLs_rxmbBbiQHvHXDcENVjq/s1600/kamboja%252Bkuning.jpg" width="100%" /></a></div>
<br />
Suatu hari ada anak kecil sedang menggali pasir di pinggir pantai menggunakan tangannya yang juga kecil. Tatkala ditanya apa yang ia lakukan, dengan polos anak kecil ini menjawab: “saya mau memasukkan semua air samudera ke dalam sumur bikinan saya sendiri”.<br />
<br />
Seperti itulah nasib banyak manusia di zaman ini. Kehidupan dan Tuhan seluas samudera. Tapi pikiran manusia mirip dengan sumur kecil. Sedihnya, majunya pendidikan membuat sebagian manusia demikian percaya dirinya seolah-olah bisa mengerti semuanya dengan pikiran semata. Ujungnya mudah ditebak, di mana-mana terlihat mata manusia yang bercerita, kalau mereka terasing atau tidak betah dalam tubuh mereka sendiri.<br />
<br />
Seorang sahabat yang menghabiskan waktu puluhan tahun menjadi konsultan sejumlah perusahaan besar, serta mengerti isi perut banyak organisasi korporasi bercerita, tidak sedikit orang yang pikirannya terlalu kuat yang menimbulkan kekeliruan-kekeliruan berbahaya. Tidak saja membuat organisasi yang ia pimpin merana, tapi juga membuat sebuah bangsa menderita.<br />
<br />
Sebagian dari orang-orang yang pikirannya terlalu kuat itu bahkan harus wafat di usia muda. Serta menyisakan banyak luka jiwa pada orang-orang sekitar. Pikiran yang terlalu kuat mudah membatu. Sebagai akibatnya, mudah menimbulkan benturan di sana-sini. Dalam kisah sejumlah organisasi profesi yang diisi banyak orang dengan pikiran terlalu kuat, setiap kali mereka rapat setiap kali itu juga ada yang lempar kursi.<br />
<br />
Angka bunuh diri yang menaik di mana-mana, tingkat perceraian yang juga menaik, korban narkoba yang meningkat di seluruh penjuru dunia, semuanya memiliki kaitan dengan pikiran yang terlalu kuat. Salah satu ciri penting pikiran yang terlalu kuat, ia diisi oleh harapan yang demikian mencengkram, terutama agar orang lain berperilaku sesuai dengan apa yang mereka harapkan.<br />
<br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
Di sesi-sesi meditasi sering terbuka rahasianya. Sahabat-sahabat yang pernah mencoba bunuh diri berkali-kali, terkena penyakit berbahaya seperti kanker dan stroke, semuanya ditandai oleh pikiran sangat kuat sekaligus sangat mencengkram. Pikiran seperti ini tidak saja berbenturan ke luar, tapi juga berbenturan ke dalam. Sebagai akibatnya, seseorang jadi kehabisan banyak energi sehingga mudah sakit.<br />
<br />
Dan sebelum kehidupan terjun ke jurang berbahaya, mari belajar melatih pikiran agar lebih lentur dan lebih luwes. Seperti air yang luwes dan lentur. Tidak saja lebih sedikit benturan yang terjadi dengan orang lain, tapi juga lebih sedikit energi yang terbuang percuma. Tidak saja badan jadi lebih sehat, tapi jiwa juga menjadi lebih bercahaya.<br />
<br />
Salah satu kualitas penting dalam hal ini yang layak dikembangkan adalah penghargaan akan perbedaan. Meminjam pesan sebuah buku suci: “Ekam sat vipra bahudha vadanthi”. Kebenaran itu satu, tapi orang-orang suci memberinya banyak nama. Perhatikan kotoran sapi. Bagi orang kota yang tidak mengenal pertanian, kotoran sapi adalah kotoran yang harus dibuang. Namun bagi petani di desa, kotoran sapi adalah pupuk yang mempersubur tanaman.<br />
<br />
Hal yang sama terjadi dengan perbedaan pandangan, perbedaan gagasan, perbedaan disiplin ilmu, perbedaan latar belakang serta perbedaan-perbedaan lainnya. Jika pikiran yang terlalu kuat meletakkan perbedaan sebagai musuh yang berbahaya, pikiran yang luwes dan lentur melihat perbedaan sebagai benih-benih yang bisa membuat jiwa jadi bercahaya. Jika pikiran terlalu kuat mengambil yang benar dan membuang yang salah, pikiran yang luwes mensintesakan salah-benar, buruk-baik menjadi benih-benih cahaya. Mirip dengan apa yang terjadi dengan cahaya listrik sebagai hasil sintesis negatif-positif.<br />
<br />
Sebagai langkah keseharian yang mudah dicerna dan mudah dilaksanakan, senyuman sangat membantu dalam hal ini. Manakala seseorang tekun berlatih tersenyum, otot-otot keras di dalam pikiran semakin lentur. Pada saat yang sama, lebih sedikit energi yang terbuang. Senyuman juga sejenis sintesa negatif-positif di dalam diri yang mudah memunculkan cahaya. Dan di puncak senyuman, jiwa tidak menemukan apa-apa selain kedamaian.<br />
<b><br /></b>
<b>Oleh: Gede Prama.</b><br />
<div>
<br /></div>
<br />
<br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Sky -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-slot="5590796064" style="display: inline-block; height: 600px; width: 300px;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3078077179646555643.post-86152802057364025062020-04-18T22:02:00.000-07:002020-04-18T22:02:58.137-07:00Tiga Bunga Jiwa Di Dalam<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhOx3FvVgtbhu39xVBHoI20xEUMV_2b1ebkUTn6BwhVma2Oe20bqI-asjTkFVYPat_BFOnSKqRvETNxk_2_SyxzIqTHqsiHMjm3p16FAobxiOEgffmCKgMPe_sXFrirTI3jqFCUmJx3yHTN/s1600/lotus.JPG" imageanchor="1"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhOx3FvVgtbhu39xVBHoI20xEUMV_2b1ebkUTn6BwhVma2Oe20bqI-asjTkFVYPat_BFOnSKqRvETNxk_2_SyxzIqTHqsiHMjm3p16FAobxiOEgffmCKgMPe_sXFrirTI3jqFCUmJx3yHTN/s1600/lotus.JPG" width="100%" /></a></div>
<br />
<b>Tanpa bunga indah, tidak mungkin kupu-kupu indah berkunjung ke taman. Tanpa bunga jiwa di dalam, tidak mungkin sang Cahaya terbit di dalam. Sebagai bahan renungan, berikut 3 bunga jiwa yang mekar di dalam.</b><br />
<br />
<b>1. Luka jiwa sebagai sumber Cahaya</b>. Dalam kehidupan orang biasa, luka jiwa membuat perjalanan jiwa berbahaya. Di tangan jiwa dewasa, luka jiwa membuat jiwa bercahaya. Orang tua bubar sebagai contoh, ia bisa digunakan sebagai tekad kuat untuk membuat keluarga selamat. Pelecehan seksual di masa kecil bisa digunakan sebagai pengingat kuat agar hati-hati dengan energi seks.<br />
<br />
<b>2. Berbahagia melihat orang lain bahagia.</b> Sementara jiwa menderita tersiksa melihat tetangga berbahagia. Ia yang bunga jiwanya mekar bisa tersenyum melihat tetangga bahagia. Sekurang-kurangnya kalau ia bahagia tidak akan menyusahkan orang lain.<br />
<br />
<b>3. Keheningan yang melahirkan kasih sayang. </b>Tangan boleh sibuk di keramaian, tapi pikiran istirahat dalam keheningan (baca: bebas dari penghakiman). Bukan sembarang keheningan, tapi keheningan yang menjadi rahim bagi lahirnya bayi cantik kasih sayang.<br />
<br />
<b>Oleh: Gede Prama</b>
<br /><br>
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Sky -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-slot="5590796064" style="display: inline-block; height: 600px; width: 300px;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3078077179646555643.post-31261151011871891122019-09-28T06:10:00.001-07:002019-11-08T18:53:22.514-08:00Tiga Tangga Kedamaian<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgYjMoMXWE1w7TWWbjPsINhwKTZ7AXXt036sD7b3p5WUoNEOtxy6MmLcM1M_D-_SEa9KYx_AJ96R-jGeSqBlEuA4RRkc3KETrNZPil4PVQZWeqM6CwfRcq0G9Mkozm44HHxrmT0L6BycVud/s1600/GalliardoJose.jpg" imageanchor="1"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgYjMoMXWE1w7TWWbjPsINhwKTZ7AXXt036sD7b3p5WUoNEOtxy6MmLcM1M_D-_SEa9KYx_AJ96R-jGeSqBlEuA4RRkc3KETrNZPil4PVQZWeqM6CwfRcq0G9Mkozm44HHxrmT0L6BycVud/s1600/GalliardoJose.jpg" width="100%" /></a></div>
<br />
Pada akhirnya jiwa hanya membutuhkan kedamaian, demikian sering terdengar di dunia spiritual mendalam. Buku suci Weda bahkan secara eksplisit menyebutkan: “Kedamaian adalah wajah Tuhan yang paling tinggi”. Kendati pesan ini sudah berumur sangat tua, manusia sudah melakukan terlalu banyak upacara, tapi tetap saja manusia yang penuh kedamaian sangat-sangat langka.<br />
<br />
Lingkungan yang semakin rumit adalah salah satu sebab di balik langkanya kedamaian. Semakin kerasnya cengkraman keinginan dan kekuasaan adalah sebab lain. Perlombaan tiada akhir untuk selalu disebut lebih juga sebentuk racun kedamaian. Namun di atas semua itu, yang paling menentukan adalah keindahan taman jiwa seseorang di dalam.<br />
<br />
Sahabat-sahabat yang bertumbuh jauh di jalan meditasi mengerti, tangga pertama yang mesti dilewati seorang pencari kedamaian adalah drama tua tentang diri yang palsu. Agar wajah diri yang palsu ini lebih konkrit, coba bayangkan seseorang yang pernah melukai jiwa Anda sampai dalam sekali. Emosi yang memanas, pikiran yang diseret amarah, bibir yang spontan bercerita buruk, itulah bentuk konkrit diri yang palsu.<br />
<br />
Diri seperti inilah yang membuat tembok tinggi-tinggi sehingga seseorang kehilangan kesempatan untuk mengalami keterhubungan. Bagi manusia yang tidak disentuh meditasi mendalam, diri palsu ini terus menerus membesar. Terutama dengan cara menjelekkan orang, menyebut diri lebih tinggi, mengatakan orang lain sesat. Diri yang palsu ini terus menerus membesar. Ia bisa berujung pada penyakit kronis, keluarga yang berantakan, atau jiwa yang masuk jurang berbahaya.<br />
<br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
Sebelum diri yang palsu ini membuat kehidupan betul-betul terbakar, sangat disarankan untuk menyembuhkan diri dengan langkah ke dua. Yakni mempraktikkan kesadaran penuh (mindfulness). Dalam bentuknya yang sederhana namun mendalam, kapan saja diri yang palsu datang dengan wajah pikiran yang penun amarah, atau emosi yang mau terbakar, belajar hadir sepenuhnya di sana.<br />
<br />
Konkritnya, tidak perlu memberi judul negatif. Tidak perlu melawan. Lihat ia seperti anak-anak yang melihat semuanya dengan mata yang polos apa adanya. Yang dibutuhkan dari Anda hanya pikiran yang bersih dan jernih. Perasaan yang hening dan bening. Sebagai bahan renungan, kehidupan yang selalu aman dan nyaman tidak ada. Bahkan Avatara (reinkarnasi Tuhan) seperti Sang Rama dan Shri Krisna harus bertempur, Sang Buddha berkali-kali mau dilukai orang.<br />
<br />
Oleh karena itu, lupakan mimpi untuk memiliki kehidupan yang selalu nyaman. Kemudian latih diri agar bersahabat dekat dengan ketidaknyamanan. Awalnya ketidaknyamanan menimbulkan ketegangan di dalam. Tapi kalau seseorang tidak berreaksi, membiarkan ia lewat bersama sang waktu seperti membiarkan ombak berlalu di pantai, lama-lama cengkraman ketidaknyamanan melemah.<br />
<br />
Sejalan dengan melemahnya cengkraman ketidaknyamanan, kwalitas kedamaian di dalam mulai bertumbuh sehat. Lebih-lebih kalau benih kedamaian ini disirami dengan praktik meditasi mendalam, lingkungan yang mendukung, serta bersahabat dekat dengan ajaran suci. Persoalan waktu jika diberkati, benih kedamaian ini akan berbunga indah.<br />
<br />
Bunga indah kedamaian inilah yang membuat seseorang bisa memasuki tangga yang ke tiga. Sebagaimana ombak tidak perlu berjuang menjadi air, mirip dengan kupu-kupu yang tidak perlu mempercantik dirinya agar tampak indah, manusia yang sudah bersahabat dekat dengan ketidaknyamanan, tidak perlu berjuang untuk menjadi baik. Sifat alami hati mereka penuh kebaikan.<br />
<br />
Bagi jiwa-jiwa jenis ini, mereka melaksanakan kebaikan bukan karena takut neraka, bukan juga karena rindu surga. Tapi karena menemukan kebahagiaan dan kedamaian dengan cara melaksanakan kebaikan. Ia senatural kupu-kupu yang memperindah taman, sealami burung-burung yang bernyanyi setiap hari. Dalam bahasa tetua Tibet, musim hujan tidak menambahkan jumlah air di alam. Musim kemarau tidak mengurangi jumlah air di alam. Demikian juga dengan sedih-senang, duka-suka. Ia tidak melakukan pengurangan, tidak melakukan penambahan. Semuanya mengalir damai apa adanya.<br />
<br />
- Gede Prama
<br /><br>
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Sky -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-slot="5590796064" style="display: inline-block; height: 600px; width: 300px;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3078077179646555643.post-79286637681474523872014-05-12T21:15:00.000-07:002019-11-08T18:55:42.476-08:00Tarian Cahaya<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
<div class="p1">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjOctO5Gp3HWsufzeqvbf_fOnQqmougqzArnA0th14K0M-23tr-m68GPXGQWfXCFjQtpAa10VJXkSOKNYEjN7umeXryf28aje9-uTW21GGb1r6R1KNDemFFL4MzX4tpfNvvncaMpxyvEB5i/s1600/gede+prama.jpg" imageanchor="1"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjOctO5Gp3HWsufzeqvbf_fOnQqmougqzArnA0th14K0M-23tr-m68GPXGQWfXCFjQtpAa10VJXkSOKNYEjN7umeXryf28aje9-uTW21GGb1r6R1KNDemFFL4MzX4tpfNvvncaMpxyvEB5i/s1600/gede+prama.jpg" width="100%" /></a></div>
<br />
Suatu hari seorang sahabat yang tidak bisa melihat sekaligus pintar berdebat datang ke seorang Guru. Ia minta diterangkan soal cahaya. Asal cahaya bisa ia rasakan, sentuh, cium baunya, ia akan percaya bahwa cahaya itu ada. Di akhir permintaannya, orang buta ini mengeluh sambil marah-marah: “orang-orang kebanyakan menuduh saya buta cahaya, padahal merekalah yang bohong soal cahaya”.</div>
<div class="p1">
<br /></div>
<div class="p1">
<b>Pengetahuan Yang Membutakan</b></div>
<div class="p1">
<b><br /></b></div>
<div class="p1">
Dalam kadar dan bentuk yang berbeda, manusia kebanyakan seperti orang buta di atas. Menduga kehidupan hanya seluas mata memandang, hanya sejauh apa yang bisa dipikirkan, hanya sesempit perasaan. Dan bahayanya, berbekalkan wawasan yang terbatas kemudian menyerang dan menghakimi orang.</div>
<div class="p1">
<br /></div>
<div class="p1">
Dalam keadaan demikian, pengetahuan bukan menjadi sumber cahaya, sebaliknya ia menjadi sumber kegelapan. Kalau filsuf Descartes menulis “saya berfikir maka saya ada”, orang-orang jenis ini kalau tidak terbimbing baik bisa jatuh ke jurang berbahaya dalam bentuk “saya berfikir maka saya menyerang”. Di tangan manusia seperti ini, pengetahuan menjadi senjata yang sangat melukai.</div>
<div class="p1">
Itu sebabnya pengikut Socrates mengembangkan dialog Socrates. Sebentuk pertukaran pengetahuan yang dilakukan dengan cara yang sangat santun, ia dimulai dengan niat saling berbagi cahaya, ia jauh dari sikap bermusuhan dan saling menyerang. Dialog Socrates dilakukan mengikuti hukum alam, telinga ada dua, mulut ada satu. Artinya, seseorang belajar mendengar dua kali lebih banyak dibandingkan berbicara. Dengan cara ini, pengetahuan tidak lagi membutakan.</div>
<div class="p1">
<br /></div>
<div class="p1">
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
<b>Pengetahuan Yang Menerangi</b></div>
<div class="p1">
<b><br /></b></div>
<div class="p1">
Kembali ke cerita orang buta di awal cerita yang menyebut orang lain bohong soal cahaya, oleh Guru orang ini ditangani secara sangat baik dan halus. Dengan tenang Guru bergumam: “Hari ini bukan waktu baik untuk berdebat. Tapi saya punya seorang teman dekat sekaligus dokter spesialis mata. Tolong Anda pergi ke sana, sepulang dari sana baru ada waktu baik untuk berdialog”.</div>
<div class="p1">
<br /></div>
<div class="p1">
Beberapa waktu kemudian, setelah orang buta ini bisa melihat, ia lari mencium kaki Guru dengan penuh rasa hormat, kemudian sambil berbisik ia bergumam: “ternyata cahaya itu ada”. Di tangan seorang Guru bijaksana, pengetahuan jauh dari kegelapan yang penuh penghakiman, pengetahuan menjadi cahaya yang sangat menerangi. Dan pengetahuan yang menerangi dimulai dengan pertanyaan siapa diri ini. Dengan pengetahuan akan diri, kemudian seseorang bisa melangkah sesuai dengan panggilan alami masing-masing.</div>
<div class="p1">
<br /></div>
<div class="p1">
Keadaannya mirip dengan memasuki hutan tua kehidupan. Jika Anda seorang nelayan, cari danau tempat Anda memancing. Bila Anda seorang tukang kayu, cari pohon kering untuk dipotong. Tanpa pengetahuan akan diri, kebanyakan orang akan tersesat di hutan tua kehidupan. Itu sebabnya, sebelum berdialog dengan orang buta di atas, Guru mengirim orang buta tadi ke dokter mata.</div>
<div class="p1">
<br /></div>
<div class="p1">
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
<b>Anda Adalah Cahaya</b></div>
<div class="p1">
<b><br /></b></div>
<div class="p1">
Dibimbing oleh pengetahuan akan diri, kemudian seseorang akan lebih mudah melangkah. Ia sesederhana supir yang menikmati sekali pekerjaannya menyetir mobil, tukang masak yang menyatu dengan kesehariannya yang memasak. Itu sebabnya, seorang Guru zen menjelaskan meditasi secara sederhana tapi sangat mendalam: “meditasi adalah makan tatkala lapar, minum saat haus”.</div>
<div class="p1">
<br /></div>
<div class="p1">
Sederhananya, apa pun kesehariannya ingat selalu untuk menyatu dengan kekinian. Dalam pesan yang sering diungkapkan di kelas-kelas meditasi: “terima, mengalir, senyum”. Dengan pengalaman kebersatuan seperti ini, Anda adalah cahaya. Serupa dengan cahaya listrik yang mensintesakan positif dan negatif, dalam pendekatan meditatif seperti ini semua bentuk pengalaman kekinian disintesakan. Dan tidak perlu terkejut kalau kemudian Anda bisa melihat cahaya, tidak perlu terkejut jika pengetahuan Anda demikian bercahaya.</div>
<div class="p1">
<br /></div>
<br />
<div class="p1">
Di jajaran Guru yang sudah berjumpa cahaya, membadankan cahaya, memancarkan cahaya, kerap terdengar pesan seperti ini: “bila orang biasa suka melihat cahaya, Guru bijaksana suka memancarkan cahaya”. Dan diantara demikian banyak cahaya yang dipancarkan, kebaikan adalah yang paling kerap dipancarkan. Dan setiap jiwa yang kerap memancarkan cahaya, suatu hari bisa mengerti ternyata kehidupan adalah sebuah tarian cahaya.</div>
<br />
<br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Sky -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-slot="5590796064" style="display: inline-block; height: 600px; width: 300px;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>.:: me ::.http://www.blogger.com/profile/09404175544344878135noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3078077179646555643.post-53710905880366766942010-04-10T01:53:00.000-07:002019-11-08T18:58:49.515-08:00Osama, Obama, Olala<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjg1umLVXUfTCEL_kMAy1ohctIFLsWyKNrg5rzvza3rseS00uADVVNHBgUm0lj7x2itK3SIFdMKkqYit3b1SSfD2cwmfjsrhSThM_9PiNFFQuKjpbrDydrK9D3_-A6HO4n8KPXCK3cbq9Hp/s1600/gede%252BPrama%252B2016.jpg" imageanchor="1"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjg1umLVXUfTCEL_kMAy1ohctIFLsWyKNrg5rzvza3rseS00uADVVNHBgUm0lj7x2itK3SIFdMKkqYit3b1SSfD2cwmfjsrhSThM_9PiNFFQuKjpbrDydrK9D3_-A6HO4n8KPXCK3cbq9Hp/s1600/gede%252BPrama%252B2016.jpg" width="100%" /></a></div>
<br />
Mungkin sudah jadi kebiasaan tua manusia untuk bikin stigma. Bila orang terlihat cocok dengan kriteria, ia disebut baik. Tatkala tidak cocok, buruk judulnya. Perang, pertempuran, pertengkaran, semuanya bermula dari sini. Yang disebut baik jadi kawan, yang disebut munafik jadi lawan.<br />
<br />
Padahal, dari segi yang bersangkutan lain lagi. Teroris dan orang-orang seperti 0sama bin Laden sebagai contoh juga menyebut dirinya baik. Bahkan, ada yang menyebut diri sedang berperang membela Tuhan.<br />
<span class="fullpost"><br />0rang-orang yang dinobatkan dunia sebagai orang baik (Presiden Amerika Serikat Barack 0bama sebagai contoh karena diberi hadiah Nobel Perdamaian), jangan-jangan memiliki keraguan, apakah layak disebut baik. Buktinya, ia perlu waktu lama untuk memutuskan mengirim pasukan ke Afganistan atau tidak. Dan ujungnya semua sudah tahu, ribuan tentara dengan tidak terhitung senjata dimasukkan ke Afganistan.<br /><br />Perhatikan percakapan keseharian orang Indonesia beberapa tahun terakhir. Dari cicak-buaya, Century, sampai dengan makelar kasus (markus). Mana berita mana cerita rekayasa, mana wacana mana propaganda, mana hasil penelitian mana rekayasa penjualan, semuanya campur aduk. Bagi yang sentimen akan menyebut mafialah yang melakukan, bagi yang diuntungkan akan mengatakan semuanya baik-baik saja. Ini tidak saja terjadi di negara berkembang, bahkan negara yang telah mengenal peradaban lebih dulu, seperti Inggris (sebagaimana ditulis Norman Fairclough dalam Discourse and social change), juga mengalami.<br /><br />Begitulah dunia dan dinamikanya. Kalau dalam geografi berlaku rumus bentuk wilayah menentukan bentuk peta, dalam kehidupan manusia (tanpa disadari sepenuhnya) berlaku rumus sebaliknya: peta (cara memandang) menentukan bentuk wilayah yang dilihat (pemahaman).<br /><br />
</span><br />
<center>
<span class="fullpost">
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
<span class="fullpost">
<br />
<b>Kehidupan nyanyian</b><br /><br /><div style="text-align: left;">
Karena tahu bahaya dikacaukan pikiran, penekun kejernihan memilih terserap dalam-dalam (menyatu) dengan kekinian, kemudian mendengarkan kehidupan sebagai nyanyian (”0lala”). Nyanyian kehidupan serupa langit, ada saatnya terang benderang cerah bercahaya (baca: bersih jernih). Ada kala kelam ditutupi awan gelap (kesedihan). Di waktu lain, langit dibungkus awan putih (kebahagiaan). Namun, awan gelap tak membuat langit jadi hitam. Awan putih tak membuat langit jadi putih. Apa pun yang terjadi, langit tetap biru. Dalam meditasi, ini disebut pencerahan.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Ciri pertama, batin sudah bangun dari tidur panjang (the awakened mind). Terlalu lama batin tidur lelap bersama gonjang-ganjing pikiran. Seolah-olah gonjang-ganjing pikiran itulah kehidupan. Ciri kedua, muncul rasa lapar untuk berbakti kepada yang di atas (devotion), serta berbagi welas asih kepada semua makhluk (infinite compassion). Bagi yang telah sampai di sini mengerti, kebahagiaan tak melakukan penambahan, kesedihan tak melakukan pengurangan. Demi kasih sayang kepada semua makhluk, nyanyian suci kehidupan tetap harus didendangkan.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Jalalludin Rumi punya puisi bagus sekali: ”Kehidupan serupa tinggal di losmen. Setiap hari tamunya berganti. Tapi siapa pun tamunya, jangan lupa selalu tersenyum”. Thich Nhat Hanh menyebut keadaan batin seperti ini present moment wonderful moment. Bila manusia kebanyakan hanya berbahagia jika menjadi majikan, Santo Fransiscus dari Asisi justru damai tatkala menjadi pelayan. Dalam bahasa kebanyakan, orang-orang seperti ini disebut ”berkorban”. Namun, bagi yang melaksanakan, mereka merasa damai sekali menjaga keseimbangan alam. Kadang disebut menyatu dengan nyanyian alam. Di tengah miliaran manusia yang hanya mau menang, harus ada yang mengambil kekalahan. Dalam arus zaman yang mengagungkan kemewahan, harus ada yang mengenakan baju kesederhanaan. Ketika kehidupan bergejolak seperti samudra keriuhan, mesti ada yang istirahat dalam keheningan.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Inti jalan ini hanya satu, melihat, melakoni, mengakhiri kehidupan dengan keindahan. Inilah kehidupan sebagai kidung (nyanyian) suci. Dalam bahasa orang Hindu, ia disebut Satchittananda. Siapa saja yang senantiasa terserap jadi satu ke dalam kekinian, ia akan melihat keindahan di mana-mana.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Makanya tetua Jawa (ditiru tetua Bali) di pekarangan rumahnya sering menanam sawo kecik. Dalam bahasa Bali diterjemahkan menjadi sarwa becik (semuanya baik). Harapannya agar setiap manusia yang bertumbuh di rumah bisa melihat bahwa semuanya baik. Karena demikianlah, orang-orang yang memperlakukan kehidupan sebagai nyanyian suci mengisi kesehariannya dengan praktik kesadaran dan keindahan. Bangun tidur sebagai contoh, dimulai dengan bergumam pelan: ”Hidup adalah sebuah pilihan lengkap dengan konsekuensinya. Bila memilih kemarahan, penderitaan akibatnya. Jika mengisi kehidupan dengan welas asih, maka kebahagiaan hadiahnya”.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Membuka pintu sebagai contoh lain, kelompok ini akan melafalkan renungan: ”Pikiran berisi terlalu banyak burung riuh bernyanyi. Tuhan ditabrakkan dengan setan, orang baik dimusuhkan dengan orang munafik. Dengan membuka pintu ini, biarlah burung-burung riuh itu lepas ke angkasa. Menyisakan batin sunyi-sepi yang menyentuh hati”. Bila dilanda sial, ia akan memanggil guru di dalam diri: ”Guru terima kasih terus-menerus membimbing. Dalam sukacita guru sedang memotivasi. Dalam dukacita guru sedang mengajarkan untuk selalu rendah hati”.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
</span><div style="text-align: left;">
<br /></div>
<center>
<span class="fullpost">
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</span></center>
<span class="fullpost"><div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Dalam kehidupan yang diisi praktik kesadaran mendalam, semua tempat jadi tempat suci. Semua suara (termasuk pujian dan cacian) jadi mantra suci. Semua ciptaan jadi makhluk suci.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Sebagai hasil dari praktik mendalam seperti ini, manusia tak saja bisa tersenyum dengan bibir, juga bisa tersenyum dengan mata (baca: memandang semua dengan senyuman). Kadang ada yang menyebutnya memandang kehidupan dengan pandangan mendalam karena penuh pengertian dan permakluman. Hidup sesungguhnya serangkaian kidung suci. Cuma, semakin lama semakin sedikit yang menyanyikan kidung suci kehidupan. Dan di tengah hamparan samudra tangisan di mana-mana (bencana alam, bom teroris, bunuh diri, kriminalitas, korupsi, dan lain-lain), alangkah menyejukkan bila sebagian pojokan kehidupan mendendangkan nyanyian.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<b>Oleh: Gede Prama, <i><span class="Apple-style-span" style="font-weight: normal;">Penulis Buku Sadness, Happiness, Blissfulness: Transforming Suffering into the Ultimate Healing</span></i></b><br /><b>Sumber: Kompas, 10 April 2010</b></span><br />
<div>
<span class="fullpost"><b><br /></b></span></div>
<span class="fullpost"><br /></span>
<br />
<br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Sky -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-slot="5590796064" style="display: inline-block; height: 600px; width: 300px;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
</span></center>
.:: me ::.http://www.blogger.com/profile/09404175544344878135noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-3078077179646555643.post-55065147765702010582010-01-29T20:42:00.000-08:002019-11-08T18:48:16.352-08:00Kuasa, Kisruh, Jernih<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
Bila menoleh ke tahun 2009, mungkin layak menyebutnya dengan tahun kekisruhan. Negeri ini kisruh oleh kisah cicak-buaya, cerita korupsi Bank Century.<br />
<br />
Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun lalu ditandai perobekan piagam PBB oleh Presiden Libya Moammar Khadafi, diikuti teriakan protes keras Perdana Menteri (PM) Inggris Gordon Brown sambil berdiri. PM Italia Silvio Berlusconi dilempar patung sehingga mukanya berdarah. Mantan Presiden Amerika Serikat George Walker Bush pernah dilempar sepatu. Merenung di atas sejarah seperti ini, kekuasaan seperti tidak habis-habisnya menghasilkan kekisruhan.<br />
<span class="fullpost"><br />Meminjam penghitungan perputaran waktu di beberapa tradisi, putaran waktu kali ini adalah putaran waktu yang gelap. Oleh karena itu, terjadi kekacauan kosmik di mana-mana. Tempat-tempat di mana dahulunya turun kesejukan berupa wahyu dan nabi (India, Pakistan, dan Timur Tengah) sekarang menjadi tempat membara oleh perang. Lembah Swat di Pakistan adalah salah satu tempat langka yang menyimpan kisah langka, di situ sekitar seratus ribu manusia pernah mengalami pencerahan secara bersamaan. Sekarang, Lembah Swat berdarah-darah oleh tembakan senjata.<br /><br />Dengan demikian, jangankan kekuasaan yang dari dulunya sudah kotor, berdarah, dan menakutkan, tempat-tempat di mana cahaya penerang itu pernah turun pun menakutkan. Memang, kadang lahir wajah kekuasaan yang membawa kelembutan. Nelson Mandela, Mahatma Gandhi, Mohammad Hatta, dan Dalai Lama hanya sebagian contoh. Namun, sebagian kekuasaan tergelincir ke dalam kegilaan seperti Ferdinand Marcos dan Hitler, sehingga memberi pilihan kepada setiap pemimpin yang sedang berkuasa, akankah dibikin mulya atau dibikin gila oleh kekuasaan?<br /><br />
</span><br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
Sunyi yang mengabdi</span><br /><br />Kendati lahir di tempat dan waktu berbeda, ada yang sama di antara pemimpin yang dibikin mulya oleh kekuasaan, yakni batinnya Brahmana, badannya Ksatria. Setelah melewati kesalehan asketik yang keras, puncak perjalanan seorang Brahmana tercapai ketika batin seseorang telah mencapai apa yang disebut tetua di Jawa sebagai suwung. Tidak ada keakuan, ketakutan, keinginan, apa lagi kerakusan yang tersisa. Semuanya lenyap ditelan suwung . Seperti ruang yang memberi tempat bertumbuh pada apa saja dan siapa saja. Kendati terlihat tidak ada apa-apa, tetapi ruang melimpahkan kasih sayang secara tidak terbatas.<br /><br />Karena ada ruang, maka cahaya matahari bisa melaksanakan tugasnya, pohon bertumbuh, manusia menjadi lebih dewasa. Begitulah batin yang suwung . Ia kerap disebut mengetahui yang satu kemudian membebaskan semuanya. Karena ketidakterbatasan kasih sayangnya itulah yang menyebabkan mereka dikenang jauh lebih lama dari umur badannya.<br /><br />Namun, dalam badan ksatria (setelah melewati disiplin ketentaraan yang ketat), kaki selalu melangkah tegap tanpa tersisa sedikit pun ketakutan, tangan selalu siap menembak tanpa sedikit pun keraguan. Tak ada tempat bagi keragu-raguan. Keragu-raguan hanya cermin batin belum suwung . Diterangi batin yang suwung, kemudian pemimpin bisa memutuskan apa saja yang harus diputuskan tanpa beban.<br /><br />Ksatria yang bertindak cepat tanpa dibimbing oleh batin yang suwung , serupa dengan tentara yang menembak kesetanan ke segala arah. Pemimpin Brahmana yang suwung tanpa disertai oleh kesigapan dan kecepatan bertindak hanya akan menjadi tukang doa yang salah alamat. Karena bukan untuk itu dia lahir. Pemimpin dilahirkan untuk bertindak, biar segala macam bentuk kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, dan keterbelakangan segera bisa dikurangi.<br /><br>
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
<span style="font-weight: bold;">Intisari kepemimpinan</span><br /><br />Makanya, seorang ayah pernah berpesan kepada putranya: memandanglah seperti langit, bertindaklah seperti bumi. Dalam pandangan langit (baca: suwung ), semuanya dipayungi dan dilindungi tanpa mengenal pengotak-ngotakan. Namun, dalam bertindak, laksanakan hukum bumi secara ketat: bila menanam ketela dapatnya ketela, menanam kelapa buahnya kelapa. Siapa yang korupsi akan dicaci, ia yang mengabdi akan dihormati. Itu sebabnya tetua menyaring intisari kepemimpinan dalam kalimat sederhana: batin yang sunyi, badan yang mengabdi.<br /><br />Pesan ini yang dibadankan secara mendalam oleh pemimpin seperti Mohammad Hatta, Nelson Mandela, dan HH Dalai Lama. Tatkala berselisih paham dengan atasannya, tanpa beban Pak Hatta kembali ke profesinya yang semula sebagai dosen di Universitas Gadjah Mada. Menyisakan pesan jelas sekali, keegoan dan keakuan pemimpin mesti kalah dibandingkan ketertiban dan kesejahteraan rakyat.<br /><br />Ketika rezim kulit putih jatuh, Nelson Mandela yang dipenjara lebih dari seperempat abad plus nyaris mati berkali-kali, lebih memilih memaafkan dibandingkan mengumbar dendam. Pelajarannya terang sekali, kekuasaan bukan sarana untuk mengumbar dendam dan keserakahan. Namun, hanya kendaraan untuk meninggalkan pulau keterbelakangan.<br /><br />HH Dalai Lama lahir dan bertumbuh di lahan penuh kesedihan dan penderitaan. Umur belasan tahun, negaranya diambil orang. Mengungsi di tempat amat sederhana di India Utara lebih dari setengah abad. Rakyatnya menjadi minoritas di negeri sendiri. Ketika melafalkan doa ini, beliau sering menangis di depan umum: semasih ada ruang, semasih ada makhluk, izinkan saya terus-menerus lahir ke tempat ini, biar ada yang membimbing para makhluk keluar dari kegelapan kemarahan, keserakahan, dan kebingungan.<br /><br />Cahaya pengertiannya terang sekali, kesedihan dan penderitaan bukanlah api untuk mengobarkan amarah ke mana-mana. Ia hanya sapu pembersih yang membuat hati manusia semakin jernih dari hari ke hari. Andaikan suatu hari nanti peradaban bisa melahirkan pemimpin dengan batin yang sunyi dan badan yang mengabdi mungkin di situ baru kekuasaan bisa menjadi sahabatnya kejernihan.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Kompas, 30 Januari 2010</span></span>
<br />
<br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Sky -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-slot="5590796064" style="display: inline-block; height: 600px; width: 300px;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
.:: me ::.http://www.blogger.com/profile/09404175544344878135noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3078077179646555643.post-35236639862867818132009-10-17T20:48:00.000-07:002019-11-08T19:01:57.810-08:00Melenggang Pulang<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
<i>Mari pulang, marilah pulang, Pulanglah kita bersama-sama.</i><br />
<br />
Ketika bencana menerjang Indonesia dengan jumlah korban ratusan ribu manusia, ada yang menulis Indonesia, Natural disaster or mass murder.<br />
<br />
Dengan cara pandang ini, bencana tidak punya wajah lain terkecuali buruk.<br />
<span class="fullpost"><br />Namun, ia yang merenung di tengah bentangan sejarah, bercakap-cakap dengan alam, melihat tidak ada satu pun putaran waktu di mana kehidupan hanya berisi kebahagiaan. Amerika Serikat sebagai contoh, sebelum menjadi kekuatan ekonomi nomor satu, dunia sempat mengalami sejarah yang berdarah-darah. Jepang sebagai kekuatan ekonomi nomor dua dunia bangkit justru setelah dua kotanya hangus oleh bom atom. China yang kini duduk sebagai kekuatan ekonomi nomor tiga juga serupa. Beberapa puluh tahun lalu, bahkan memakan nasi pun sudah terhitung mewah.<br /><br />Becermin dari sini, mendengar ada korban manusia akibat gempa tentu mengundang keprihatinan sekaligus doa semoga semua berbahagia. Berbuat untuk meringankan beban korban tentu lebih mulia. Namun yang layak direnungkan, alam sebagai guru sedang berbicara apa?<br /><br />Di Timur dikenal beberapa jenis guru. Dari guru hidup, guru buku suci, guru simbolik, sampai dengan guru rahasia di dalam diri. Menyangkut guru hidup dan guru buku suci, lebih mudah mencapai kesepakatan. Namun menyangkut guru simbolik, apa lagi guru rahasia di dalam diri, hanya mereka yang dibekali kepekaan yang bisa merasakan.<br /><br />Bila boleh lari, semua mau lari dari bencana. Karena tidak bisa lari, para suci kemudian merenung dalam-dalam dan menemukan cahaya. Yesus bercahaya ribuan tahun karena disakiti. Mahatma Gandhi menerangi banyak jiwa karena ditembak mati. Jalalludin Rumi rangkaian katanya menggetarkan sukma juga karena mengalami kesedihan kehilangan guru.<br /><br />Pelajarannya, bencana tidak saja hulunya air mata. Ia juga awal kehidupan yang bercahaya. Kehilangan orang dekat akibat bencana tentu menyedihkan. Cacat tubuh karena terkena reruntuhan bangunan, sungguh kejadian yang menyentuh hati.<br /><br />Namun, kehidupan penuh guru simbolik. Di antara demikian banyak simbolik, kematian adalah yang teragung. Di tengah kebahagiaan, sedikit yang mau merenung dalam-dalam. Namun di depan kematian, kita terpaksa kita menggali dalam-dalam.<br /><br /><b>
</b></span><br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
Wajah dukacita</b><br /><br />Siapa saja yang pernah ”bercakap-cakap” dengan kematian akan dibukakan makna, dukacita memiliki dua wajah.<br /><br />Pertama, ia membuat manusia menjadi semakin terhubung ke atas, samping, bawah. Terutama karena melalui dukacita, kita sadar ternyata manusia hanya makhluk tidak berdaya. Dalam ketidakberdayaan, kita hanya saling menyayangi yang menyembuhkan.<br /><br />Kedua, dukacita berfungsi seperti mesin turbo yang mendorong manusia keluar dari alam derita ini. Andaikan kehidupan hanya berisi kebahagiaan, maka manusia akan terus berputar dalam lingkaran kelahiran, penderitaan, kematian.<br /><br />Bila begini cara memandangnya, Indonesia bukanlah neraka yang hanya berisi hukuman dan kesalahan. Indonesia adalah lahan subur pertumbuhan jiwa. Perhatikan apa yang terjadi ketika Aceh diterjang tsunami, tidak saja sahabat Islam yang menyediakan tangan untuk membantu. Orang Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu ikut bersama-sama berdoa sekaligus mengulurkan bantuan. Dalam bahasa seorang guru, saat manusia membantu, sesungguhnya tidak saja sedang meringankan beban pihak lain, tetapi juga membangkitkan energi kasih sayang yang ada dalam dirinya.<br /><br />Di Peru pernah ditulis oleh para tetua ribuan tahun lalu, tidak ada yang kebetulan, semuanya hanya rangkaian pesan. Di tempat di mana alam kerap menggoda manusia dengan dukacita, mungkin layak bertanya, seberapa banyak manusia yang sudah menemukan cahaya di balik dukacita kemudian mengizinkan cahaya itu membimbing dirinya?<br /><br />
</span><br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
<b>Serupa rumah</b><br /><br />Kehidupan serupa rumah. Bila rumahnya kotor penuh sampah, ia mengundang lalat dan nyamuk berdatangan. Jika taman penuh bunga bermekaran, ia mengundang kupu-kupu warna-warni berdatangan dari segala penjuru.<br /><br />Di hadapan alam yang kerap berbicara dengan bahasa dukacita, memaki dan mencaci mungkin hanya akan menambah tumpukan sampah. Mencari cara bertumbuh di tengah lumpur dukacita mungkin lebih membuat Indonesia menjadi taman jiwa yang menawan.<br /><br />Dalam perspektif ini, bisa dimaklumi bila Ezra Bayda memberi judul karyanya At Home In The Muddy Water. Di Timur, puncak perjalanan ke dalam kerap disimbolkan dengan bunga padma yang bertumbuh dan mekar di lumpur, tetapi tidak kotor oleh lumpur.<br /><br /><b>Ibarat lumpur</b><br /><br />Bencana ibarat lumpur. Hanya mereka yang penuh cinta dan keikhlasan yang bisa mekar seperti bunga padma. Dikatakan demikian, karena kekuatan suci dari atas sedang memancing manusia dengan kasih sayang, dan siapa yang mengisi hidupnya dengan cinta dan keikhlasan, sedang mencoba memakan kail yang datang dari atas.<br /><br />Bila ini terjadi, bencana bukan hukuman, ia hanya bimbingan untuk segera pulang. Persis seperti lirik lagu anak-anak yang dikutip di awal. Senang-sedih dan dualitas lainnya ada dalam pikiran. Belajar melampauinya dengan memeluk semua apa adanya. Inilah yang dilakukan para guru tercerahkan di Timur.</span>
<br />
<br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Sky -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-slot="5590796064" style="display: inline-block; height: 600px; width: 300px;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
.:: me ::.http://www.blogger.com/profile/09404175544344878135noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3078077179646555643.post-29632140884031296112009-10-17T19:49:00.000-07:002016-03-18T22:08:37.849-07:00Bunga Tidak Pernah Bersuara<center>
<script async src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle"
style="display:block"
data-ad-client="ca-pub-1490382089461992"
data-ad-slot="4114062862"
data-ad-format="auto"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br>
Riuh, ribut, demikianlah kira-kira suasana komunikasi antarmanusia di tahun 2009. Mantan presiden AS George W. Bush mengakhiri jabatannya dengan dilempar sepatu. Negeri ini juga riuh dan ribut urusan presiden dan pemilu.<br />
<br />
Di tengah-tengah suhu komunikasi yang memanas ini, ada indahnya bila sekali-sekali sepi-sunyi yang mengemuka. Bukan sebagai lawan keributan. Hanya mengemuka seperti menarik nafas dalam-dalam sekali waktu setelah lama tidak merasakan segarnya bernafas.<br />
<span class="fullpost"><br />Dalam menelusuri segarnya kehidupan, ada dua jalur yang tersedia. Ada yang berjalan dengan intelektualitas, ada yang melangkah di jalan-jalan bakti (devotion). Pada pendekatan pertama, semuanya dianalisis. Itu sebabnya para master meminta penekun meditasi di Barat (yang kebanyakan berjalan di jalan intelektualitas) segera merealisasikan kekosongan (emptiness). Begitu mengalami langsung kekosongan (bukan mengerti melalui intelek) baru bisa mengagumi sepi-sunyi.<br /><br />Di jalan bakti, tidak diperlukan terlalu banyak perdebatan. Yang ada hanya bakti yang tulus, penuh sujud, rasa hormat yang mendalam. Dan ujung-ujungnya sama, mengalami kekosongan. Dalam bahasa seorang guru yang sudah sampai di puncak, lakukan terus menerus bakti. Sampai di sebuah titik sehingga yang memberi, yang diberi maupun pemberian sesungguhnya tidak ada. Itulah sepi-sunyi.<br /><br /><b>
<center>
<script async src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle"
style="display:block"
data-ad-client="ca-pub-1490382089461992"
data-ad-slot="4114062862"
data-ad-format="auto"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br>
Sembah rasa</b><br /><br />Di Timur dulunya kebanyakan manusia berjalan di jalan-jalan bakti. Itu sebabnya berdoa dipadankan dengan sembahyang. Ada kata sembah di sana. Awalnya memang dimulai dengan dualitas antara penyembah dan yang disembah, namun kemudian keduanya menjadi satu, serta ujungnya yang satu pun lenyap dalam keheningan.<br /><br />Dan semua sembah mulai dengan sembah raga. Namun karena badan terbuat dari bahan-bahan yang bertentangan (air-api, tanah-udara), banyak manusia yang hanya menggunakan sembah raga kemudian mengalami guncangan-guncangan. Seberguncang bahan-bahan yang membentuk tubuh. Dari sinilah lahir kebutuhan melakukan sembah rasa. Di mana lebih dari sekadar menggunakan raga, badan mulai dibimbing oleh getaran-getaran rasa. Bukan rasa suka yang bertentangan dengan duka, bukan suci yang diseberangkan dengan kotor. Melainkan rasa yang memeluk mesra semuanya.<br /><br />Seperti seorang Ibu yang merawat putera tunggalnya. Tatkala puteranya tersenyum, ia gendong. Manakala puteranya menangis sambil menyisakan kotoran di tempat tidur, lagi-lagi ia gendong puteranya dengan penuh kasih sayang. Sembah rasa juga serupa, belajar tersenyum pada apa saja yang datang dalam kehidupan. Sebagai hasilnya, hidup berputar lentur bersamaan dengan irama alam. Siang tersenyum pada cahaya terang dengan jalan bekerja. Malam berpelukan dengan kegelapan melalui istirahat di tempat tidur.<br /><br />Di jalan ini, semuanya menjadi sembahyang. Tatkala makan maka makanlah dengan penuh rasa syukur. Di hari yang sama ada jutaan manusia kelaparan. Ketika menyapu, menyapulah sambil bersiul. Di menit yang sama ada jutaan manusia sakit di rumah sakit. Bila begini caranya, every act is a rite. Setiap langkah adalah sembah.<br /><br />Puisi Jalalludin Rumi menjadi wakil dalam hal ini. Hidup serupa bawang merah. Di luar kotor kecoklatan. Tatkala dibuka jadi putih. Semakin dibuka semakin putih. Tambah dibuka tambah putih. Dan tatkala tidak ada lagi yang bisa dibuka, yang tersisa hanya air mata yang meleleh.<br /><br /><b>
<center>
<script async src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle"
style="display:block"
data-ad-client="ca-pub-1490382089461992"
data-ad-slot="4114062862"
data-ad-format="auto"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br>
Sembah rahasia</b><br /><br />Ia yang sudah berjalan jauh dengan sembah rasa, suatu waktu akan melihat bila alam menyimpan banyak rahasia. Di Timur, Tantra adalah salah satu jalan rahasia. Tidak banyak orang yang bisa membuka pintu Tantra. Di samping berat juga berbahaya. Ada yang mengandaikan Tantra dengan jalan tol yang cepat sampainya. Namun mengalami kecelakaan di jalan tol amat sangat berbahaya.<br /><br />Itu sebabnya ada yang membagi perjalanan Tantra ke dalam tiga gerbang. Kehidupan diandaikan dengan pohon beracun karena banyak godaannya. Di tahap pertama, manusia disuruh menjauh dari pohon beracun. Makanya banyak imbauan melakukan puasa, pengendalian diri, hidup berkecukupan, penuh rasa syukur. Begitu lewat gerbang pertama yang ditandai oleh kemampuan menguasai diri (self mastery) yang baik, kemudian di langkah kedua murid akan diminta untuk menjadi penjaga pohon beracun. Mulailah seorang penekun menjadi “penggembala domba” bagi banyak kehidupan.<br /><br />Ada yang jadi guru, penulis, pemimpin upacara, pemimpin yang jujur. Intinya satu, menjaga jangan sampai terlalu banyak kehidupan keracunan. Begitu jam terbang menjadi penggembala domba sudah cukup, baru boleh masuk ke inti sari Tantra: mengolah racun menjadi obat kehidupan. Makanya, bila di kebanyakan jalur hawa nafsu dilarang, di Tantra ada pendekatan menggunakan hawa nafsu (khususnya seks) sebagai kendaraan transformasi spiritual. Bukan untuk dibawa hanyut oleh nafsu, namun menghanguskan nafsu dengan nafsu.<br /><br />Itu sebabnya di banyak tempat di Jawa, Sumatera, Kalimantan, India, Amerika Latin banyak peninggalan-peninggalan tua yang memamerkan hubungan seksual. Di Bali disebut lingga-yoni, nyegara-gunung. Siapa saja yang sudah membumihanguskan semua keinginan (termasuk keinginan menjadi suci atau tercerahkan), ia mulai belajar melihat rahasianya rahasia.<br /><br />Persembahan di banyak tradisi (tidak saja di Bali) seringkali berisi bunga. Di sejumlah negara (seperti Jepang) bahkan menempatkan bunga secara amat istimewa. Seperti ada rahasia di sana. Bunga mekar mewakili keindahan. Namun seberapa indah pun bunga, beberapa waktu kemudian harus ikhlas menjadi sampah. Dan baik tatkala diberi sebutan indah maupun sebutan sampah, bunga tidak pernah bicara. Siapa yang hidupnya mengalir sempurna dari bunga (sukses, dipuja) menjadi sampah (gagal, dicerca), kemudian (bila bisa mengolahnya) menjadi bunga lagi, ia sudah membuka salah satu pintu rahasia.<br /><br />Seorang guru yang sudah sampai di sini pernah menulis: Physical isolation is not the true solitude. Totally free from any grasping, that’s the true solitude. Lepas bebas dari segala kemelekatan (baik-buruk, benar-salah), itulah keheningan sesungguhnya.<br /><br />Ada yang bertanya, bila sudah lepas-bebas, lantas apa pedoman bertindak? Seorang guru berbisik pada muridnya: memandanglah seperti langit, bertindaklah seperti ibu pertiwi. Langit memayungi semuanya, ibu pertiwi bertindak ketat mengikuti hukum alam. Bila menanam jagung, buahnya jagung. Kalau memelihara kelapa, buahnya kelapa.</span><br />
<div>
<span class="fullpost"><br /></span></div>
<span class="fullpost"><br /></span>
<br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Sky -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-slot="5590796064" style="display: inline-block; height: 600px; width: 300px;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>.:: me ::.http://www.blogger.com/profile/09404175544344878135noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3078077179646555643.post-73115688262506838532009-09-04T20:43:00.000-07:002019-11-08T18:40:56.296-08:00Bunga Cinta untuk Teroris<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh3nugKxMID77Im2OIVOc_MfBCQY4uA1zH-xL6xn3F5vHFjVNvnPWOBc3AUmnhdeLr4wnLLg_pHwxky9dzMGNzKZh7zPt1tq6hakCcg1M8jz1JfknKgItvW6paVL2Ka9HuPedLLmUpoqdXO/s1600-h/gedeprama.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 161px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh3nugKxMID77Im2OIVOc_MfBCQY4uA1zH-xL6xn3F5vHFjVNvnPWOBc3AUmnhdeLr4wnLLg_pHwxky9dzMGNzKZh7zPt1tq6hakCcg1M8jz1JfknKgItvW6paVL2Ka9HuPedLLmUpoqdXO/s200/gedeprama.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5377829081256881298"></a>Ada yang serupa dalam cara manusia berespons di muka bumi, yakni mencampakkan hal-hal yang menjengkelkan, berebut hal- hal yang menyenangkan.<br /><br />Jangankan dalam perang dan perceraian, dalam spiritualitas juga serupa. Tuhan dipuja setan dicerca, orang suci dipuji orang jahat dimaki. Hasilnya dicatat rapi oleh sejarah, berbagai guncangan tidak kian menjauh, malah kian dekat dengan kadar yang semakin menakutkan. Bom teroris, nuklir Korea Utara hanya sebagian bukti.<br /><br /><b>Bahan pertumbuhan<br /></b><br /><span class="fullpost"><br />Amerika Serikat dan George W Bush adalah salah satu guru. Kedigdayaan AS mau menghentikan teroris dengan kekerasan. Dalam usaha ini, terang-terangan menyebut segelintir negara sebagai ”poros setan”. Setelah sekian tahun berlalu, tidak saja teroris kian menyeramkan, Afganistan dan Irak menyedihkan, AS pun mengalami penurunan menakutkan.<br /><br />Ini memberi pelajaran bermakna. Menyelesaikan kekerasan dengan kekerasan, menghentikan kekejaman dengan kekejaman, serupa dengan menambah bensin pada api membara, makin lama makin berkobar.<br /><br />Bila boleh jujur, setiap putaran waktu selalu ada penggoda. Yesus digoda Judas, istri Rama dilarikan Rahwana, Shri Krishna terpaksa turun perang karena keserakahan Duryodana, Buddha berkali-kali dicoba dibunuh Devadatta. Rangkaian sejarah ini bercerita, mencoba melenyapkan penggoda tidak saja sia-sia, tetapi juga melanggar hukum alam. Lebih dari itu, tidak ada pertumbuhan tanpa godaan.<br /><br />Pesan seorang papa kepada putranya, ”Semakin tua umurmu, semakin banyak masalah yang datang. Namun, tolong diingat, persoalan muncul tidak untuk menghancurkan, tetapi untuk membuatmu tambah dewasa.”<br /><br />Semesta memang semakin tua, akibatnya masalah semakin menumpuk. Namun, hanya tangan kebijaksanaan yang bisa mengolah persoalan menjadi berkah pertumbuhan. When sorrow invades the mind, compassion arises. Saat kegelapan kesedihan mengguncang, ia tidak mengundang kegelapan kemarahan, tetapi memunculkan cahaya kasih sayang.<br /><br />Di salah satu majelis taklim di Jakarta pernah terdengar pesan indah, ”Sahabat-sahabat yang keras dan ganas itu jangan dijauhi. Harus ada yang mendekati, menyayangi, mencintai mereka. Terutama agar mereka keluar dari lingkaran gelap kekerasan”.<br /><br />Undangan kebijaksanaan itu sungguh menyejukkan, sekaligus memberi masukan, masih banyak tersisa wajah yang sejuk, teduh, dan memayungi.<br /><br />Seorang kakek mengelus cucu yang sedang marah dan sedih sambil berucap lembut: ”Sesakit apa pun tubuhmu, seberat apa pun beban jiwamu, ingatlah manusia tidak pernah menjadi musuh kita. Musuh sesungguhnya adalah kesalahpahaman.”<br /><br /><b>
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
Bermesraan<br /></b><br />Coba perhatikan para teroris, mereka dibikin oleh sepasang orangtua yang berpelukan dan bermesraan. Didoakan orangtua agar menjadi manusia berguna. Bertumbuh di sekolah yang mengajarkan kebaikan. Berdoa di tempat ibadah yang mendoakan keselamatan. Namun, karena berbagai hal yang tak sepenuhnya dimengerti, mereka diselimuti sejumlah awan kesalahpahaman. Dan awan ini tak menjadi hasil kerja mereka seorang diri.<br /><br />Ketidakadilan tatanan dunia, pemberitaan yang penuh kekerasan, pemerintah yang tidak sepenuhnya terkelola, sekolah yang menakutkan, keluarga yang mengalami keruntuhan, miskinnya keteladanan tokoh, iklan yang terus menggoda nafsu, hanyalah sebagian jejaring yang menggiring mereka masuk terowongan gelap kesalahpahaman. Mencaci mereka hanya akan mempertebal kesalahpahaman.<br /><br />Dalam bingkai pemahaman seperti ini, tidak adil bila menempatkan teroris sebagai terdakwa yang hanya layak disalahkan. Menyadari pendidikan, pergaulan, dan pemahaman agama para teroris yang terbatas, mereka lebih layak disebut ”korban” kesalahpahaman dibandingkan menjadi ”penyebab” kesalahpahaman.<br /><br />Serupa dengan seseorang yang amat marah kepada lalat yang masuk rumahnya, sementara rumahnya penuh kotoran menjijikkan. Sebenarnya dengan semua kekerasan dan kekisruhan yang ditimbulkan, umat manusialah yang mengundang kekerasan teroris. Padahal, bila rumahnya bersih dan wangi, otomatis lalatnya menghilang.<br /><br />Untuk itulah, setelah kekerasan tak kunjung pergi dengan jalan memaki-maki teroris, mungkin ini saatnya membersihkan rumah keseharian. Meminjam bahasa tetua, orang baik terlihat baik, orang jahat pun terlihat baik, bila kita di dalamnya cukup baik.<br /><br />Seorang pertapa berkali-kali menggigil menangis saat bom teroris meledak, mendengar suara guru di dalam, ”Bawa orang-orang pulang. Kebencian, kemarahan, apalagi kekejaman bukan rumah sebenarnya. Rumah jiwa adalah cinta dan keikhlasan”. Ini mengingatkan kisah Nabi Nuh. Kendati tempat tinggalnya padang pasir tak berair, ia ikuti suara saat diminta membuat perahu.<br /><br />Diterangi cahaya spiritual seperti ini, mungkin layak dipertimbangkan mengirim bunga cinta bagi teroris. Bagi pemimpin dan tokoh, hati-hatilah karena menjadi teladan yang ditiru. Bagi para guru (terutama guru agama), ajarkan wajah agama yang indah di awal, di tengah, dan di akhir. Bagi orangtua, sayangi putra-putri di rumah. Bagi sahabat media, wartakan kelembutan. Pengelola televisi, tayangkan gambar-gambar yang bisa membangunkan energi kasih dalam diri manusia. Itulah sebagian contoh mengirim rangkaian bunga cinta untuk mereka yang berpotensi menjadi teroris pada masa depan.<br /><br />Mengirim bunga cinta kepada pihak-pihak yang berpotensi menyakiti adalah bukti rumah batin sudah bersih sekaligus jernih. Dengan batin seperti inilah kita songsong masa depan yang lebih membahagiakan. Mistikus sufi Jalaludin Rumi menulis, hidup seperti tinggal di losmen, tiap hari ganti tamu. Siapa pun tamunya (senang-sedih, suka-duka), jangan lupa tersenyum.<br /><br /><i>Kompas, 05 September 2009<br />Gede Prama, Penulis Buku Sadness, Happiness, Blissfulness: Transforming Suffering Into The Ultimate Healing</i><br /></span>
<br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Sky -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-slot="5590796064" style="display: inline-block; height: 600px; width: 300px;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>.:: me ::.http://www.blogger.com/profile/09404175544344878135noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-3078077179646555643.post-2067091408864467512009-07-18T01:39:00.000-07:002019-11-08T18:38:23.339-08:00Kaya Rasa, Kaya Makna<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
<i>”Cangkul, cangkul, cangkul yang dalam....”</i><br />
<br />
Kemiskinan badan berjumpa kemiskinan batin, demikian seorang murid mendengar bisikan gurunya pada akhir meditasi.<br />
<br />
Rumah sakit yang seyogianya menjadi tempat penyembuhan, tidak saja mahal, malah mengirim pasiennya ke penjara. Sekolah yang dulu menggembirakan, kini pada saat ujian dijaga polisi, Bahkan, terjadi berbagai penangkapan, menakutkan.<br />
<span class="fullpost"><br /><b>Sekolah yang indah</b><br /><br />Di banyak tempat, ditemukan home schooling. Anak-anak takut ke sekolah karena dipukuli teman, guru galak, pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya. Ini memberi inspirasi, saatnya merekonstruksi sekolah agar indah.<br /><br />Di sebuah pelatihan sopir taksi pernah dilakukan latihan memberi yang menarik. Pada hari pertama peserta diminta membawa nasi bungkus karena tidak disediakan makan siang. Peserta berlomba membawa makanan yang enak. Ketika makan, peserta diminta meletakkan nasinya di kelas sebelah untuk dimakan peserta sebelah. Sementara yang bersangkutan memakan makanan yang dibawa orang lain.<br /><br />Pada hari kedua juga diminta membawa nasi bungkus. Setelah tahu kalau nasi yang dibawa untuk kelas sebelah, banyak yang membawa nasi seadanya. Tidak sedikit hanya membawa nasi putih saja. Ternyata aturannya berubah, peserta harus memakan nasi yang dibawa sendiri.<br /><br />Yang ingin diilustrasikan di sini, menyangkut perut sendiri betapa borosnya manusia memberi, bahkan banyak yang stroke. Namun terkait perut orang, betapa sedikit yang diberikan. Tiba-tiba para sopir tersentak, betapa egoisnya hidup. Ego inilah yang menciptakan penderitaan. Maka ada guru yang berpesan: ”Memberi, memberi, memberi. Lihat bagaimana hidupmu menjadi sejuk dan lembut setelah rajin memberi”.<br /><br />Di sekolah guru boleh meniru pola pelatihan sopir itu, bisa juga mengajak anak didik ke panti asuhan, bermain bola bersama anak kampung. Intinya, menyadarkan pentingnya memberi.<br /><br />Dalam bahasa manusia jenis ini, saat memberi sebenarnya orang tidak saja mengurangi beban pihak lain, tetapi juga sedang membangun potensi kebajikan dalam diri. Ini yang kelak memancarkan kebahagiaan.<br /><br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
<b>Tiga tangga pemberian</b><br /><br />Pemberian terdiri tiga tangga. Pertama, semua makhluk sama dengan kita: ”mau bahagia, tidak mau menderita”. Karena itu, jangan pernah menyakiti.<br /><br />Kedua, para makhluk lebih penting. Nasi, udara, pekerjaan, semua yang memungkinkan hidup berputar, dihasilkan makhluk lain. Binatang bahkan terbunuh agar manusia bisa makan daging. Untuk itu, banyaklah menyayangi. Dari menanam pohon, melepas burung, menyayangi keluarga, bekerja jujur, tulus, sampai memberi beasiswa anak-anak miskin.<br /><br />Ketiga, karena semua makhluk lebih penting, belajarlah memberi kebahagiaan, mengambil sebagian penderitaannya. Perhatikan doa Santo Fransiskus dari Asisi. Beri saya kesempatan menjadi budak perdamaian. Di mana ada kegelapan kemarahan, biar saya hadir membawa cahaya kasih. Di mana ada bara api kebencian, biar batin ini muncul membawakan air suci memaafkan. Mistikus sufi Kabir berkata, ”Nur terlihat hanya beberapa detik, tetapi ia mengubah seorang penyembah menjadi pelayan.”<br /><br />Dalai Lama kerap menitikkan air mata saat membacakan doa ini, ”Semasih ada ruang, semasih ada makhluk. Izinkan saya terus terlahir ke tempat ini agar ada yang membantu semua makhluk keluar dari penderitaan.”<br /><br />Penggalan lagu di awal tulisan mengingatkan, dengan mencangkul yang dalam, akar-akar pohon membantu batang, daun, bunga, dan buah bertumbuh. Kehidupan manusia juga serupa. Hanya pemberian yang memungkinkan seseorang ”mencangkul hidupnya” secara mendalam. Hasilnya, bunga kehidupan mekar: kaya rasa, kaya makna. Sampai di sini, guru berbisik: bahkan kematian pun bisa berwajah menawan.<br /><br />Pertama, bagi yang terbiasa memberi (melepaskan), tidak lagi tersisa kelekatan yang membuat kematian menakutkan. Kematian menakutkan karena manusia belum terbiasa melepaskan.<br /><br />Kedua, melalui kematian manusia melaksanakan kesempurnaan pemberian. Jangankan uang, tubuh pun diikhlaskan.<br /><br />Tubuh menyatu dengan tanah, ikut menghidupi makhluk di bumi karena menghasilkan padi, sayur, buah. Unsur air bergabung dengan air agar makhluk tidak kehausan. Unsur api menyatu dengan api agar makhluk bisa memasak. Unsur udara bersatu dengan udara agar makhluk bisa bernapas. Unsur jiwa (ada yang menyebut kesadaran) menyatu dengan semua jiwa (kesadaran) agar semua makhluk teduh. Inilah kematian yang menawan. Melalui kematian manusia bukan kehilangan, malah memberikan.<br /><br />Guru, semoga ada pemimpin yang tertarik mencangkul hidupnya secara mendalam. Lalu tersentuh untuk meringankan beban mereka yang kerap menangis oleh biaya sekolah, biaya berobat, biaya menemukan keadilan yang serba mahal.</span>
<br>
<br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Sky -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-slot="5590796064" style="display: inline-block; height: 600px; width: 300px;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>.:: me ::.http://www.blogger.com/profile/09404175544344878135noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3078077179646555643.post-45740528429347231632009-07-16T06:23:00.000-07:002019-11-08T18:36:34.127-08:00Damai dalam Setiap Langkah<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
Di Bali ada cerita seorang anak yang pintar, cerdas, ganteng bernama Nyoman. Karena itu ia disayangi orang. Bosan dengan semua ini, ia datang ke hutan menemui penyihir. Dan diberilah Nyoman seruling waktu yang hanya bisa diputar ke depan. Dan mulailah ia bereksperimen.<br />
<br />
Pertama-tama ia putar ke masa remaja. Tidak berapa lama ia bosan, diputar lagi seruling waktunya ke masa tua. Ia lihat seorang ayah dengan seorang istri yang menua. Ini lebih membosankan lagi, ia putar ke masa lebih tua lagi. Dan di sini baru timbul penyesalan. Ada banyak momen kekinian yang lupa dinikmati. Masa kanak-kanak yang penuh tawa, masa remaja yang penuh persahabatan, masa kuliah yang penuh perdebatan. Dan menangislah Nyoman pergi ke hutan minta penyihir untuk mengembalikan hidupnya.<br />
<span class="fullpost"><br />Kalau boleh jujur, setengah lebih manusia berperilaku serupa Nyoman: buru-buru ke masa depan. Dan sesampai di sana, baru menyesal ada banyak masa kini yang sudah jadi masa lalu lupa dinikmati. Manusia cerdas dan keras sekali mempersiapkan diri menyongsong masa depan. Namun sering gagal menikmati dan mensyukurinya. Dalam bahasa kawan yang suka mengeluh, dulu tidak bisa makan enak karena tidak punya uang. Sekarang juga tidak bisa makan enak karena keburu stroke.<br /><br />Bangsa ini serupa. Pengap dengan orde lama kemudian ia ditumbangkan, datanglah orde baru. Orde terakhir serupa, nikmatnya sebentar, lagi-lagi harus ditumbangkan diganti orde reformasi. Ada tanda-tanda kuat, inipun sudah membawa kebosanan banyak orang.<br /><br />Peradaban manusia setali tiga uang. Bergerak dari satu kebosanan ke kebosanan lain: perang dunia pertama, perang dunia kedua, perang dingin antara dua negeri adi kuasa, hantaman bom teroris.<br /><br /><b>
Hari ini sebagai hadiah</b><br /><br />Mungkin karena lelah dengan kehidupan yang terus berkejaran ke masa depan, kemudian banyak guru meditasi mengajari muridnya berpelukan dengan masa kini. Dan tidak perlu menunggu dengan syarat yang berat dan sulit, dengan badan sekarang, umur sekarang, kekayaan materi sekarang belajarlah memeluk semuanya dengan senyuman dan persahabatan.<br /><br />Sebagaimana telah dibuktikan, lebih mudah menemukan kesehatan dan kebahagiaan dengan senyuman dan persahabatan dibandingkan dengan kemarahan dan kebencian. Makanya, tidak sedikit penulis (sebagai contoh Spencer Johnson dalam bukunya berjudul The Present) menyimpulkan kalau hari ini sama dengan the present (hadiah).<br /><br />Suami, istri, anak-anak, orang tua, rumah, pekerjaan, kesehatan sekarang, memang tidak sempurna, namun semuanya menunggu untuk disyukuri. Indonesia sebagai rumah banyak manusia juga tidak sempurna. Namun ia menyisakan berlimpah hal yang layak disyukuri. Dari matahari terbit dan terbenam membawa keindahan, dengan pendapatan sedang-sedang saja sudah bisa menggaji pembantu lebih dari seorang, godaan bencana sering kali membukakan bukti kalau manusia Indonesia masih peduli dan punya hati.<br /><br />Ada sahabat yang berfantasi seperti ini. Andaikan kita tersesat di luar angkasa, mimpi terindah yang ingin segera terealisasi adalah melangkahkan kaki di planet indah bumi ini. Pakistan boleh bergelora dengan politiknya, Timur-Tengah dengan Israel boleh masih berseteru, namun di sini di bumi ini masih tersedia berlimpah hal yang layak disyukuri.<br /><br /><b>
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
Pernafasan adalah keindahan</b><br /><br />Ada yang bertanya, kalau demikian kenapa begitu susah menikmati masa kini? Bila diibaratkan rumah, tubuh manusia berisi demikian banyak jendela terbuka. Mata, telinga, mulut, hidung, pikiran, keinginan, perasaan terbuka setiap hari tanpa dijaga. Sudah terbuka tanpa penjaga, kita membiarkannya menonton acara-acara menakutkan di televisi, mendengarkan dialog penuh kekerasan di radio. Dan jadilah kehidupan seperti rumah berantakan.<br /><br />Dengan pemahaman mendalam akan hal inilah kemudian banyak orang menjaga jendela-jendela kehidupannya dengan penjaga yang bernama kesadaran dan kewaspadaan. Dan mengaktifkan penjaga ini amat dan teramat sederhana, murah meriah. Hanya dengan memperhatikan nafas. Bagi siapa saja yang perjalanan meditasinya sudah jauh, akan tahu ketika manusia rajin memperhatikan nafas, tidak saja penjaga bernama kesadaran dan kewaspadaan mulai bekerja, namun juga menemukan ada yang indah dalam bernafas penuh kesadaran: berpelukan dengan masa kini yang abadi!.<br /><br />Masa lalu telah berlalu, masa depan belum datang, kedua-duanya tidak dalam genggaman. Satu-satunya waktu kehidupan yang menyediakan dirinya untuk bisa dipeluk adalah masa kini. Dan untuk memeluknya, ia sesederhana tersenyum, lihat, nikmati, syukuri udara masuk dan keluar melalui lubang hidung.<br /><br />Akan lebih mudah lagi melakukannya kalau seseorang sudah bisa semengagumkan Jalalludin Rumi: all are sent as guides from the beyond. Semua yang terjadi membawa bimbingan-bimbingan dan tuntunan-tuntunan.<br />Sukses indah, gagal juga indah. Bukankah kegagalan memberi tahu batas-batas kemampuan diri? Disebut suci baik, disebut munafik juga baik. Bukankah sebutan munafik membuat kita jadi rendah hati? Semuanya menyediakan tuntunan-tuntunan.<br /><br />Bila begini cara memandangnya, maka menyatu dengan masa kini yang abadi, bisa dilakukan dengan lebih mudah sekaligus indah. Ketenangan membuat semuanya lebih menawan.<br /><br />Dan ini tidak hanya bisa dilakukan di ruang meditasi. Dari membuka mata di pagi hari, menyatu dengan air yang mengucur dari wastafel, tersenyum pada kemacetan, memimpin rapat, pulang memeluk pipi orang rumah. Inilah yang disebut damai dalam setiap langkah.<br /><br />Dalam bahasa Dalai Lama, transformasi kedamaian dunia melalui kedamaian diri memang sulit tapi itu satu-satunya cara. Untuk itulah perlu melengkapi keindahan pernafasan dengan kesadaran dalam setiap kontak. Tatkala mata mengalami kontak (misalnya melihat orang menjengkelkan), ia menimbulkan perasaan tertentu. Latihannya kemudian, perasaan ini bersahabat dengan kewaspadaan atau bersahabat dengan kebodohan.<br /><br />Diterangi kesadaran dan kewaspadaan, setiap langkah menjadi langkah kedamaian sekaligus langkah kesucian. Thich Nhat Hanh tidak memiliki saingan dalam hal ini. Dalam sejumlah karyanya (dari Present moment wonderful moment sampai Peace is every step), ia senantiasa menggaris bawahi pentingnya kedamaian saat ini. Di mana pun penulis ini akan terdiam sebentar, menarik nafas, terhubung dengan kekinian setiap mendengar bunyi bel. Di ruangan meditasinya di desa Plum Perancis ia menulis: bernafaslah, engkau masih hidup!</span>
<br>
<br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Sky -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-slot="5590796064" style="display: inline-block; height: 600px; width: 300px;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
.:: me ::.http://www.blogger.com/profile/09404175544344878135noreply@blogger.com8tag:blogger.com,1999:blog-3078077179646555643.post-91942843666056007362009-07-16T06:12:00.000-07:002019-11-08T18:35:00.508-08:00Berjumpa Cinta Di Mana-Mana<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
Cerita manusia adalah cerita derita, demikian bisik seorang kawan. Di Pakistan, belum lama Bhenazir Bhutto menginjakkan kaki di tanah kelahirannya, lehernya sudah ditembus peluru sampai tewas. Di Kamboja, pendeta Buddha berkelahi dengan polisi. Amerika Serikat yang menjadi tauladan dunia menjadi penghalang kesepakatan untuk mengurangi dampak pemanasan global. Gempa, tsunami, kelaparan, mengunjungi semua pojokan bumi.<br /><br />Di negeri ini serupa. Banyak pemilihan kepala daerah berakhir rusuh. Kekerasan di kalangan remaja amat mengkhawatirkan. Di Bali, kadang kekerasan muncul bahkan ketika upacara dilaksanakan.<br /><span class="fullpost"><br />Membaca tanda-tanda seperti ini, ada yang mengeluh, bila demikian bukankah hidup manusia sama dengan neraka? Entahlah, yang jelas wajah kehidupan yang terlihat tergantung pada siapa diri kita di dalam. Bila di dalamnya cinta, manusia berjumpa cinta di mana-mana. Jika di dalamnya kebencian, manusia menemukan kebencian di mana-mana.<br /><br /><b>Membangun rumah cinta</b><br /><br />Dilihat dari segi bahan, manusia berbahankan cinta. 0rang tua berpelukan penuh cinta ketika manusia dibikin. Disusui Ibu penuh dengan pelukan cinta. Banyak ayah yang tidak jadi memasukkan makanan ke mulut, hanya karena mau berbagi cinta dengan anak. Makanan dan minuman manusia datang dari alam yang berlimpah cinta. Ada yang mengandaikan kehidupan sebagai hujan cinta yang tidak pernah berhenti. Cuman sebagian memayungi dirinya dengan keangkuhan, sehingga badannya kering dari hujan cinta. Dengah bahan seperti itu, bila outputnya kebencian, mungkin kita perlu merenungkan prosesnya.<br /><br />Perilaku kehidupan serupa matahari. Bila sudah waktunya terbit, ia terbit. Jika saatnya terbenam, ia terbenam. Dan di dalam pikiran yang dipenuhi rasa cinta, matahari akan disebut menerangi, memberi energi. Dalam pikiran yang penuh keluhan, ia diberi judul panas, sumber kekeringan, awal paceklik.<br /><br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
Berdiri di atas kesadaran seperti inilah kemudian banyak guru sepakat, fondasi awal membangun rumah cinta adalah pikiran yang terawasi secara rapi. Ketika senang diawasi, tatkala sedih juga diawasi. Persoalan dengan banyak manusia, terlalu melekat dengan hal-hal yang menyenangkan, menolak yang menjengkelkan, bosan dengan hal-hal biasa. Karena yang menyenangkan berpasangan dengan hal-hal yang menjengkelkan (seperti malam berpasangan dengan siang), maka berputarlah kehidupan dalam siklus tanpa akhir: senang, sedih, bosan dan seterusnya. Inilah awal dari banyak kelelahan emosi.<br /><br />Sadar dengan akibat kelelahan inilah, kemudian sejumlah orang mengakhiri siklus terakhir hanya dengan mengamatinya. Being a compassionate witness, demikian saran seorang penulis meditasi. Lihat emosi dan pikiran yang naik turun seperti seorang nenek penuh cinta sedang melihat cucu-cucunya berlari ke sana ke mari. Semuanya sudah, sedang dan akan baik-baik saja. Atau lihat keseharian yang digerakkan senang, sedih, bosan seperti melihat aliran air di sungai. Kesenangan mengalir berlalu, kesedihan mengalir berlalu.<br /><br />Di atas siklus yang terawasi rapi ini, kemudian dibangun tiang-tiang keseharian yang banyak membantu. ‘Bila tidak bisa membantu cukup jangan menyakiti’, demikian pesan sejuk seorang Lama. Atap rumah cinta kemudian bernama kaya karena rasa berkecukupan. Dalam bahasa seorang bapak yang amat mencintai anaknya: ‘dalam rasa berkecukupanlah letak kekayaan teragung’. Sebagai hasilnya, terbangunlah rumah-rumah cinta yang sejuk dan teduh.<br /><br />Agar rumahnya tidak pengap, ia memerlukan pintu dan jendela. Pintunya bernama deep listening. Jendelanya berupa loving speech. Sebagaimana sudah menjadi rahasia banyak terapis, kesediaan untuk mendengarkan adalah sebuah penyegar banyak kepengapan jiwa di zaman ini. Tidak sedikit pasien yang sudah mendapatkan sebagian penyembuhan hanya dengan didengarkan. Dan bila harus berbicara, berbicaralah dengan bahasa-bahasa cinta.<br /><br />Seorang sahabat dengan kata-kata yang berkarisma, pernah ditanya kenapa kata-katanya demikian berkarisma. Dengan tangkas ia menjawab, gunakan kata-kata hanya untuk membantu bukan untuk menyakiti. Kombinasi antara kesediaan mendengar dengan kata-kata yang penuh cinta inilah yang membuat rumah cinta dipenuhi udara segar.<br /><br />Meminjam hasil kontemplasi orang suci, bila ada waktu merenung renungkanlah kekurangan-kekurangan Anda. Jika ada waktu berbicara bicarakanlah kelebihan-kelebihan orang lain. Mendengar penjelasan seperti ini, ada yang bertanya, kalau demikian apa itu cinta?. The Book of Mirdad menulis: ‘cintamu adalah dirimu yang sesungguhnya’. Dengan kata lain, di luar cinta adalah kepalsuan-kepalsuan. Laksanakan cinta, kemudian lihat bagaimana ia membuka keindahan dirinya. Kata-kata hanya penghalang pemahaman.<br /><br />Rumah cinta berjalan<br /><br />Di pulau Okinawa Jepang, pernah ada guru karate yang disegani. Di suatu latihan, muridnya bertanya apakah karate itu?. Dengan tersenyum ia menjawab: ‘karate means keep smiling in all situations‘. Karate berarti tersenyum di semua keadaan. Dan tentu muridnya bingung. Hanya karena segan, kemudian ia diam.<br /><br />Sepulang latihan, murid ini menemui tentara Amerika mabuk yang mau membuat keributan di jalan. Murid karate ini panas. Begitu siap berkelahi, tiba-tiba gurunya muncul dengan penuh senyuman menyambut tentara-tentara tadi: ’selamat datang di Okinawa, Anda pasti sudah menikmati keindahan Okinawa’. Dan selanjutnya tidak saja perkelahian bisa dihindarkan, persahabatan dengan tentara Amerika juga berjalan baik-baik saja.<br /><br />Ini mungkin yang disebut dengan rumah cinta berjalan. Ia menjadi contoh nyata cerita di awal: ‘bila di dalamnya cinta, maka manusia berjumpa cinta di mana-mana’. Berkaitan dengan momentum pergantian tahun, kebanyakan orang bertanya seberapa tua umur sekarang. Jarang yang mau bertanya, seberapa indah rumah cinta sekarang.<br /><br />Melalui tatapan mata suami, kesetiaan isteri, rasa hormat putera/puteri, perlakuan atasan, senyuman tetangga, jabat tangan bawahan, bantuan teman atau keluarga, senyuman orang-orang yang pernah menyakiti, kita sedang melihat rumah cinta kita. Adakah ia lebih baik atau lebih buruk dari tahun lalu?. Perhatikan apa yang ditulis Thich Nhat Hanh dalam The diamond that cuts through illusion: ‘If you die with compassion in mind, you are a torch lightening our path‘. Ia yang meninggal dengan cinta kasih, menjadi lilin penerang banyak perjalanan. Mungkin ini yang membuat Yesus Kristus tidak pernah berhenti menerangi banyak sekali perjalanan.<br /></span>
<br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Sky -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-slot="5590796064" style="display: inline-block; height: 600px; width: 300px;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
.:: me ::.http://www.blogger.com/profile/09404175544344878135noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3078077179646555643.post-77623025481402208962009-06-21T21:15:00.000-07:002019-11-08T18:33:44.631-08:00Nyoman Mimpi Jadi Presiden<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
<b>Oleh Gede Prama</b><br />
<br />
Pada zaman Orde Baru pernah ada rencana membuat film Nyoman Jadi Presiden, ternyata tidak lolos sensor. Ketika itu, jangankan manusia beneran, judul film pun tidak boleh ada kata ”menjadi presiden”. Kini berubah terbalik. Siapa saja boleh jadi presiden.<br />
<br />
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiK6a4fm9SpruGX9cNTac_q4QUAIOOp402hyLsWHZwXItBIGGxCyOh1Zf4mOS0r1VWbAk4u17PPTMF5xFNDBq8Y4uwvRgDGmlhKZ-6GLuTcAK3HvhUaPzSUSw-9jMpoHZM5_ugWSrrrn7c/s1600-h/mimpi+jadi+pres.jpg" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img alt="" border="0" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5350001647599565906" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiK6a4fm9SpruGX9cNTac_q4QUAIOOp402hyLsWHZwXItBIGGxCyOh1Zf4mOS0r1VWbAk4u17PPTMF5xFNDBq8Y4uwvRgDGmlhKZ-6GLuTcAK3HvhUaPzSUSw-9jMpoHZM5_ugWSrrrn7c/s200/mimpi+jadi+pres.jpg" style="cursor: hand; cursor: pointer; float: left; height: 200px; margin: 0 10px 10px 0; width: 150px;" /></a>Ini membawa implikasi ke mana-mana, termasuk membuat anak kecil di Bali bernama Nyoman berfantasi menjadi presiden. Begitu kuat fantasinya, sampai-sampai semua kegiatan dilakukan sambil membayangkan dirinya jadi presiden.<br />
<br />
Hubungan antara fantasi dan mimpi memang belum seluruhnya terang. Namun, suatu malam, Nyoman bermimpi jadi presiden, dilantik dan berpidato. Sebagaimana tradisi Timur umumnya, Nyoman juga diajari tetua untuk berdoa pada saat-saat penting. Untuk itu, dalam mimpi menjadi presiden, Nyoman berdoa, ”Kapan saja berjumpa orang, akan kupandang diriku yang paling hina. Dan jauh di kedalaman batin, akan kutempatkan orang lain di tempat paling mulia”.<br />
<span class="fullpost"><br />Setelah melantunkan doa ini, Nyoman merenung sejenak, heran, tak mengerti dari mana inspirasi doa datang. Rasanya ia muncul spontan, bukan hafalan. Dan, seperti doanya belum lengkap, lagi-lagi bibirnya bergerak di luar kesadaran, ”Bila ada yang datang dengan sikap bermusuhan, membawa pedang amarah, api dendam, biarlah ia hadir seperti permata yang sulit ditemukan. Karena hanya melalui bara api dendam dan pedang amarah, bisa lahir bayi-bayi kesabaran dan kebijaksanaan”.<br /><br />Seusai berdoa, Nyoman teringat guru yoga. Melalui sujud dan bakti kepada guru, segala kegelapan keraguan berubah menjadi cahaya terang pengertian dan bimbingan. Ia pun melakukan guru yoga dalam mimpi.<br /><br /><b>Merendah itu indah</b><br />Di Barat, lengkap dengan sejarah budayanya yang panjang, manusia diajarkan untuk percaya diri. Kualitas seseorang amat ditentukan seberapa tinggi percaya dirinya. Perhatikan mereka yang berhasil menjadi presiden AS. Jangankan saat benar, saat kalah pun berbicara penuh percaya diri. Ini layak dihormati sebagai salah satu cara bertumbuh.<br /><br />Di Timur lain lagi. Meski sudah mulai ditinggalkan, bahkan dicurigai menjadi biang banyak keterbelakangan, tetua mengajarkan, ”Merendahlah, dan engkau akan diagungkan”. Perlambang yang kerap dikutip adalah padi di sawah, semakin berisi ia semakin merunduk. Simbol lain adalah bambu. Saat muda bambu bertumbuh ke atas, begitu dewasa ia merunduk rendah hati.<br /><br />Inilah junjungan tetua di Timur. Seorang siswa pernah masuk ke pedalaman Dieng, Jawa Tengah. Di tengah penelitian, tiba-tiba ia dipanggil seorang tetua di tempat itu yang berjanggut panjang, mengenakan peci. Tetua itu berpesan, ”0rang bijaksana seyogianya berada di atas dualitas. Bukan dipermainkan dualitas (bersahabat dengan yang memuji, bermusuhan dengan yang mencaci), namun dengan sabar merangkul semuanya”.<br /><br />Dan tugas merangkul lebih mudah dilakukan bila merendah. Bagi sebagian anak muda, merendah itu musibah. Namun, bagi tetua yang kaya rasa dan kaya makna, merendah itu indah. Persahabatan, kebahagiaan, ketenangan, keheningan, itulah buah kehidupan yang suka merendah.<br /><br />Selain itu, dalam batin yang sudah bertumbuh dewasa, ia melihat jika kita sebenarnya adalah daun-daun di pohon yang sama, bintang-bintang di langit yang sama. Setiap pelayanan yang diberikan kepada pihak lain akan balik ke diri ini sebagai pelayanan. Inilah yang melampaui dualitas.<br /><br />Itu sebabnya semua manusia di jalan ini mengabdikan hidup untuk pelayanan. Ada yang melayani orang sekarat, seperti Ibu Theresa. Ada yang menyelamatkan korban perang, seperti Thich Nhat Hanh. Ada yang menghabiskan waktu dengan memerangi kemiskinan, seperti Mohammad Yunus. Tentu lebih indah lagi bila tugas-tugas pelayanan ini dilakukan saat seseorang masih duduk di kursi kekuasaan. Dalam bahasa tetua, kekuasaan adalah terbukanya gerbang pelayanan, bukan kesempatan untuk melakukan pembalasan.<br /><br /><b>
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
Bayi kebijaksanaan</b><br /><br />Tetua berpesan, kesulitan itu ada tidak untuk membuat kita tumbang, tetapi kesempatan untuk menunjukkan kekokohan. Seperti pepatah tua, bad weather makes good timber. Cuaca buruk menyisakan kayu-kayu kokoh. Begitulah pohon-pohon kebijaksanaan memperlihatkan dirinya. Dengan demikian memberi pelajaran, api amarah, pedang dendam lawan, memang bisa mematikan. Namun, dalam kelenturan air, api maupun pedang sama- sama tidak berdaya. Api tidak bisa membakar air, pedang tidak berdaya memotong air.<br /><br />Kelenturan air kerap digunakan sebagai simbol kebijaksanaan. Air berjalan dari hulu yang jauh, tetapi sampai ke samudra. Dan, satu-satunya kekuatan yang membuat air bisa melewati semua penghalang karena sifatnya yang lentur. Berbicara kelenturan, lagi-lagi harus kembali ke ladang pelayanan. Karena itulah hakikat kepemimpinan.<br /><br />Kesehatan, pendidikan, kemiskinan, dan keterbelakangan adalah ruang publik yang lapar pelayanan. Kesehatan bermakna lebih luas dari sekadar berobat gratis, tetapi juga melibatkan pendidikan. Dulu, sebagian penyakit disebabkan salah makan. Kini (sebagaimana dikemukakan banyak peneliti), sebagian besar penyakit bersumber pada salah pikiran.<br /><br />Pikiran inilah yang lebih layak disehatkan. Menambah daftar larangan untuk menyehatkan pikiran masyarakat hanya akan memperpanjang guncangan. Namun, memulai langkah keteladanan yang lurus, jujur, bersih, dan jernih lebih membantu dalam hal ini. Lee Kuan Yew adalah seorang guru. Tahun pertama diteriaki, tahun kedua dimaki, tahun ketiga dilempari api, tetapi karena lurus, jujur, dan konsisten, semua teriakan kemudian berhenti.<br /><br />Maka, ada yang menulis, the inner science of transformation: aspiration, habituation, commitment, consistency. Niat itu langkah awal. Membiasakan diri agar niat menjadi kenyataan, itu langkah kedua. Membuat komitmen agar tetap berjalan lurus tanpa bisa ditawar, itu hal berikut. Namun, konsistensi kemudian mengibarkan bendera perubahan.<br /><br />Ah, maafkanlah mimpi. Meminjam istilah Sigmund Freud dalam The Interpretation of Dream, mimpi bagi kebanyakan orang memang bunga tidur. Namun, tidak sedikit para Sufi dan Yogi yang menggunakan mimpi sebagai medium penting untuk terhubung ke alam lebih tinggi. Maka, di Timur dikenal praktik dream yoga.<br /><br /><b>Sumber: Kompas, 20 Juni 2009</b></span>
<br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Sky -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-slot="5590796064" style="display: inline-block; height: 600px; width: 300px;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
.:: me ::.http://www.blogger.com/profile/09404175544344878135noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3078077179646555643.post-18608311792838088062009-04-27T03:54:00.000-07:002019-11-08T18:29:03.895-08:00Kekalahan, Kemenangan, Keindahan<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
<span style="font-weight: bold;">Oleh: Gede Prama</span><br /><span style="font-weight: bold;">Kompas, Sabtu, 25 April 2009 </span><br /><br />Entah sejak kapan, sudah lama manusia hidup hanya dengan sebuah tema: memburu kemenangan, mencampakkan kekalahan.<br /><br />Di Jepang dan berbagai belahan dunia, banyak orang mengakhiri hidupnya hanya karena kalah. Hal-hal yang melekat pada kekalahan dinilai serba negatif: jelek, hina.<br /><br />Sekolah sebagai tempat untuk menyiapkan masa depan juga ikut-ikutan. Melalui program serba juara, sekolah menguatkan keyakinan ”kalah itu musibah”. Tempat kerja juga serupa, tak ada yang absen dari kegiatan sikut-sikutan. Semua mau naik pangkat, tak ada yang ingin turun. Terutama dunia politik, kekalahan hanyalah kesialan. Dan aroma seperti inilah yang mewarnai Indonesia pada awal April 2009, menjelang pemilu dan pilpres.<br /><span class="fullpost"><br /><span style="font-weight: bold;">Kalah juga indah</span><br /><br />Tidak ada yang melarang manusia mengejar kemenangan. Ia pembangkit energi yang membuat kehidupan berputar, pemberi semangat agar manusia tidak kelelahan. Tapi, seberapa besar energi dan semangat manusia, bila putaran waktunya kalah, tidak ada yang bisa menolaknya.<br /><br />Karena itu, orang bijaksana melatih diri untuk tersenyum di depan kemenangan maupun kekalahan. Berjuang, berusaha, bekerja, berdoa tetap dilakukan. Namun, bila kalah, hanya senyuman yang memuliakan perjalanan.<br /><br />Dihormati karena menang itu indah. Namun, tersenyum di depan kekalahan, hanya orang yang mendalam pandangannya yang bisa melakukan. Sebagian orang bijaksana malah bergumam, kekalahan lebih memuliakan perjalanan dibandingkan kemenangan. Di depan kekalahan, manusia sedang dilatih, dicoba, dihaluskan. Kekalahan di jalan ini berfungsi menghaluskan.<br /><br />Kesabaran, kerendahhatian, ketulusan, keikhlasan, itulah kualitas-kualitas yang sedang dibuka oleh kekalahan. Ia yang sudah membuka pintu ini akan berbisik, kalah juga indah!<br /><br />Jarang terjadi ada manusia mengukir makna mendalam di tengah gelimang kemenangan. Terutama karena kemenangan mudah membuat manusia lupa diri. Para pengukir makna yang mengagumkan, seperti Kahlil Gibran, Jalalludin Rumi, Rabindranath Tagore, Thich Nhat Hanh, semuanya melakukannya di tengah kesedihan. HH Dalai Lama bahkan menerima Hadiah Nobel Perdamaian sekaligus penghargaan sebagai warga negara kelas satu oleh Senat AS setelah melewati kesedihan dan kekalahan puluhan tahun di pengasingan.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
Memaknai kekalahan</span><br /><br />Mengukir makna memang berbeda dengan mengukir kayu. Dalam setiap konstruksi makna terjadi interaksi dinamis antara realitas sebagaimana apa adanya dan kebiasaan seseorang mengerti (habit of undestanding). Ia yang biasa mengerti dalam perspektif tidak puas, serba kurang, selalu menuntut lebih, akan melihat kehidupan tak menyenangkan ada di mana-mana. Sebaliknya, ia yang berhasil melatih diri untuk selalu bersyukur, ikhlas, tulus lebih banyak melihat wajah indah kehidupan.<br /><br />Belajar dari sini, titik awal memaknai kekalahan adalah melihat kebiasaan dalam mengerti, the blueprint is found within our mind. Membiarkan kemarahan dan ketidakpuasan mendikte pengertian akan memperpanjang penderitaan yang sudah panjang.<br /><br />Seorang guru mengambil gelas yang berisi air, meminta muridnya memasukkan sesendok garam dan diaduk. Saat dicicipi, asin rasanya. Setelah itu, guru ini membawa murid itu ke kolam luas dengan sesendok garam yang dicampurkan ke air kolam dan rasanya tidak lagi asin.<br /><br />Itulah batin manusia. Bila batinnya sempit dan rumit (fanatik, picik, mudah menghakimi), kehidupan pun menjadi mudah asin rasanya (marah, tersinggung, sakit hati). Saat batinnya luas, tak satu hal pun bisa membuat kehidupan menjadi mudah asin.<br /><br />Dengan modal ini, lebih mudah memaknai kekalahan bila manusia berhasil mendidik diri berpandangan luas sekaligus bebas. Berusaha, bekerja, belajar, berdoa adalah tugas kehidupan. Namun, seberapa pun kehidupan menghadiahkan hasil dari sini, peluklah hasilnya seperti kolam luas memeluk sesendok garam.<br /><br />Apa yang kerap disebut menang-kalah, sukses-gagal, dan hidup-mati hanyalah wajah putaran waktu. Persis saat jam menunjukkan pukul 06.00, saat Matahari terbit. Pukul 18.00, putaran waktu Matahari tenggelam. Memaksa agar pukul 06.00 Matahari tenggelam tidak saja akan ditertawakan, tetapi juga korban karena kecewa.<br /><br />Memang terdengar aneh. Pejalan kaki yang sudah jauh ke dalam diri bila ditanya mau kaya atau miskin, akan memilih miskin. Atas menang atau kalah, ia akan memilih kalah. Kaya adalah berkah, namun sedikit ruang latihan di sana. Meski ditakuti banyak orang, kemiskinan menghadirkan daya paksa tinggi untuk senantiasa rendah hati. Menang memang membanggakan, namun godaan ego dan kecongkakan besar sekali. Nyaris semua orang tak ingin kalah, tetapi kekalahan adalah ibu kesabaran.<br /><br />Seorang guru meditasi yang sudah sampai di sini pernah berbisik, finally I realize there is no difference between mind and sky. Inilah buah meditasi. Batin menjadi seluas langit. Tidak ada satu awan (awan hitam kesedihan, awan putih kebahagiaan) pun yang bisa mengubah langit. Dan ini lebih mungkin terjadi dalam manusia yang sudah berhasil memaknai kekalahan.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Gede Prama Bekerja di Jakarta; Tinggal di Bali Utara</span><br /></span>
<br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Sky -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-slot="5590796064" style="display: inline-block; height: 600px; width: 300px;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
.:: me ::.http://www.blogger.com/profile/09404175544344878135noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-3078077179646555643.post-14223732322284309982009-02-02T23:05:00.000-08:002019-11-08T18:26:26.587-08:00Menyingkap Keindahan Bencana<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
<span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Lihat kebunku penuh dengan bunga. Ada yang putih dan ada yang merah. Setiap hari kusiram semua. Mawar melati semuanya indah.</span><br /><br />Bencana, bencana, bencana, bencana, mungkin itu kabut-kabut kehidupan yang berganti menyelimuti Indonesia beberapa tahun terakhir. Belum sepenuhnya pulih dari banjir dahsyat Jakarta, tiba-tiba tanah longsor menggelegar, gempa bumi memakan nyawa, pesawat Garuda terbakar. Bencana seperti tidak bosan-bosannya menggoda jiwa Indonesia. Seorang sahabat asli Jawa, berulang-ulang menyebut kata miris. Seorang psikiater mengutip sebutan tua tentang zaman edan, tatkala menyaksikan seorang Ibu membakar diri dan sejumlah putera-puterinya karena terhimpit kesulitan kehidupan. Salah seorang penulis luar, bahkan memberi judul menyentuh di International Herald Tribune, Indonesia: Mass murder or natural disaster, terutama setelah menghitung ratusan ribu nyawa yang melayang akibat bencana.<br /><span class="fullpost"><br />Berduka, bersedih, tersentuh oleh penderitaan sesama tentu salah satu tanda pertumbuhan jiwa. Di Timur telah lama diajarkan, untuk memasuki wilayah-wilayah kesucian bahkan menginjak rumput pun dilarang. Terutama karena setiap rasa sakit yang kita timpakan ke ciptaan lain, akan kembali menyakiti diri ini. Sehingga sungguh layak disyukuri kalau Indonesia masih memiliki demikian banyak hati yang punya empati.<br /><br />Cahaya bencana<br /><br />Dengan tetap menghormati banyak hati yang punya empati, banyak guru setuju kalau jalan-jalan keindahan apa lagi kesucian tidak ada yang sepenuhnya lurus dan mulus. Semakin indah sebuah tujuan, semakin berat jalan-jalan yang harus dilalui. Bila ini cara memandangnya, mungkin Indonesia bisa menarik nafas dalam-dalam sebentar. Menghimpun energi untuk melewati banyak tanjakan serta kelokan di depan yang masih banyak menghadang.<br /><br />Dalam jeda jiwa seperti ini, bisa jadi berguna kalau merenung sebentar tentang cahaya-cahaya bencana. Bagi banyak jiwa, bencana identik dengan kematian, perpisahan, kesedihan, duka cita. Dan tentu saja ini teramat manusiawi.<br /><br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
Sedikit jiwa yang mau menggali lebih dalam kalau di balik bencana, ada sejumlah langit kehidupan yang tersingkap rahasianya. Ketakutan, kesedihan adalah masukan berguna tentang keinginan yang demikian mencengkeram. Semakin mencengkeram keinginan, semakin menakutkan wajah bencana. Ada keinginan agar kehidupan hanya berwajah damai, keluarga yang hanya boleh bahagia, perpisahan yang identik dengan hukuman, kemiskinan sama dengan kutukan.<br />Dan melalui hentakan-kentakan bencana, manusia sedang diingatkan, seberapa kuat pun keinginan mencengkeram, kehidupan tetap harus berputar. Bila saatnya matahari tenggelam, tenggelamlah ia. Ketika putaran bumi harus ditandai oleh gempa, gempalah yang menjadi sahabat kehidupan. Bila kematian sudah waktunya berkunjung, berkunjunglah ia menjadi sahabat kehidupan. Makanya, seorang ayah berpesan kepada putera-puterinya, kematian datang bukan karena penyakit, bukan karena dikerjain orang, bukan juga akibat bencana, kematian datang memang karena putaran waktunya sudah tiba. Penyakit, bencana hanyalah pintu-pintu pembuka.<br /><br />Bila ini cara meneropongnya, tidak saja keinginan mulai longgar cengkeramannya, namun cahaya-cahaya bencana juga terbuka. Ternyata bencana lebih dari sekedar hulunya kesedihan, ketakutan dan kutukan, ia juga membukakan pengertian tentang wajah kehidupan yang lebih utuh.<br /><br />Serupa dengan lagu anak-anak yang dikutip di awal tulisan ini, hidup serupa dengan mengurus taman. Kendati yang ditanam rumput Jepang, ada rumput liar yang ikut tumbuh. Kendati sudah banyak berbuat baik, banyak berdoa, sering ke tempat ibadah, bila saatnya bencana menggoda, ia tetap menggoda. Bila rumput Jepang yang ditanam seratus meter, rumput liar hanya mengambil porsi sedikit sekali. Demikian juga dengan kehidupan, sehat berumur bertahun-tahun tapi kerap lupa disyukuri. Sakit hanya segelintir hari sudah penuh dengan caci maki. Indonesia sebentar lagi mau berumur 62 tahun, hanya seglintir hari yang digoda bencana.<br /><br />Taman jadi indah karena penuh bunga dan warna. Kehidupan juga serupa. Kebahagiaan jadi lebih indah kalau pernah melewati kesedihan. Kehidupan bermakna amat dalam karena ada kematian. Kesuksesan berakarkan rasa syukur yang mendalam, kalau pernah dibanting kegagalan.<br /><br />Taman bertumbuh terus bila disirami. Pertumbuhan jiwa juga sama. Tidak saja kebahagiaan yang menyirami kehidupan, kesedihan juga menyirami, terutama karena kesedihan adalah gurunya sikap rendah hati dan mawas diri. Tidak saja kedamaian yang memperkuat kehidupan, bencana juga memperkuat kemudian. Kedamaian memperkuat seperti air yang bertemu kerongkongan dahaga, bencana memperkuat seperti amplas keras dan kasar yang membuat berlian tambah bersinar. Sebagai catatan kontemplasi, Jepang dan Jerman yang kini menjadi salah satu pemimpin dunia, kalah perang secara amat menyedihkan puluhan tahun lalu.<br /><br />Di puncak semua perjalanan ini, tersisa bait indah kehidupan: ”mawar melati semuanya indah!”. Mawar yang berduri indah, melati yang wangi juga indah. Siapa saja yang bisa melihat keindahan dalam setiap unsur dualitas (bahagia-bencana, untung-rugi, suci-kotor, dipuji-dicaci) dia berada di depan gerbang pencerahan, kemudian hatinya bernyanyi: ”semuanya indah!”.<br /><br />Dalam bahasa indah sejumlah sahabat penyair, keuntungan adalah hasil pelajaran dari banyak kerugian, kekotoran adalah kesucian yang sedang siap-siap menunjukkan rahasianya, kekayaan adalah sisi lain dari kemiskinan dalam mata uang kehidupan. Pada jiwa yang sedang bertumbuh, dualitas terus bergerak dari satu ujung bandul ke ujung bandul lain. Habis bahagia derita, setelah untung rugi dan seterusnya. Dan lagu anak-anak ini mengajarkan, setelah semua segi kehidupan dicintai, disirami, diterima, kemudian dari dalam sini ada yang bernyanyi: ”semuanya indah!”.<br /><br />Ini mungkin yang menyebabkan Robert Fulghum pernah menulis “Apa yang perlu dipelajari tentang kehidupan, sudah selengkapnya diajarkan di taman kanak-kanak“. Sebuah masa di mana semuanya terasa indah. Guru dzogchen Chogyal Namkai Norbu menyebutnya primordial state (titik awal sekaligus titik akhir perjalanan ke dalam). Cirinya sederhana, tidak ada hal positif yang perlu diterima, tidak ada hal negatif yang perlu ditolak.<br /></span>
<br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Sky -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-slot="5590796064" style="display: inline-block; height: 600px; width: 300px;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
.:: me ::.http://www.blogger.com/profile/09404175544344878135noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-3078077179646555643.post-91883971496921191102009-02-02T22:38:00.000-08:002019-11-08T18:24:44.841-08:00Tahan terhadap Guncangan<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
<span style="font-weight: bold;"></span><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Problematic society, itu sebutan sahabat yang memenuhi kepalanya dengan kejengkelan tentang Indonesia.</span><br /><br />Lebih-lebih menjelang Pemilu 2009, di mana ruang publik dibikin riuh oleh banyak sekali iklan politik. Ada yang menyebutnya sebagai sampah virtual. Jujur harus diakui, setiap orang punya cara bertumbuh. Hanya ego yang buru-buru menyebutnya buruk.<br /><br />Pepohonan bertumbuh secara tenang, tulus, ikhlas. Sedangkan anjing kampung berkelahi baik saat ada makanan maupun saat tidak ada makanan. Yang satu lembut, sejuk, teduh, apa pun godaannya, yang lain keras ganas di segala cuaca. Namun, keduanya sedang bertumbuh.<br /><span class="fullpost"><br /><span style="font-weight: bold;">”The gift of listening”</span><br /><br />Kerangka baik-buruk, suci-kotor, sukses-gagal, tinggi-rendah dan dualitas lainnya adalah cara pikiran manusia membuka pintu pengertian. Sayang, begitu pintunya terbuka, dualitasnya tidak ditinggalkan di belakang, bahkan digendong ke mana-mana. Ini serupa dengan cerita tentang seseorang yang hampir mati kelaparan di seberang sungai, kemudian diselamatkan oleh sebuah perahu.<br /><br />Demikian tingginya utang budi dan kemelekatan orang ini pada perahu, kemudian ia menggendongnya ke mana-mana. Belakangan, orang ini mati karena kelelahan menggendong perahu.<br /><br />Dalam wajah yang berbeda, mereka yang menggunakan pengetahuan, pengalamannya, tradisinya, dan agamanya untuk menghakimi dan menyakiti orang, sejujurnya bernasib serupa dengan penggendong perahu itu: berjalan kelelahan menggendong perahu keyakinan.<br /><br />Untuk itulah, orang-orang bijaksana selalu menyediakan diri untuk belajar dan mendengar. Dengan belajar, manusia berhenti menjadi kura-kura yang menganggap rumah kecilnya adalah satu-satunya rumah yang layak huni. Dengan mendengar, manusia menyatu bersama samudra pengertian yang mahaluas.<br /><br />Bila ada sesuatu yang terlihat aneh dan susah untuk dimengerti, kemungkinan terlalu tinggi atau terlalu rendah dibandingkan tingkat kemampuan pemahaman sekarang.<br /><br />Mungkin itu sebabnya, kepala manusia memberikan pertanda bahwa telinga, mata, lubang hidung semuanya serba dua, tetapi mulut hanya ada satu.<br /><br />Dengan kata lain, pemahaman lebih mungkin terbuka bila lebih banyak mendengar, melihat, dan merasakan segarnya kehidupan, sekaligus lebih sedikit berbicara.<br /><br />Bagi yang sudah menyentuh batas-batas rasionalitas dan mengerti jika pengetahuan bisa menjadi penghalang pemahaman, akan tersenyum sambil berbisik: ternyata bisa mendengar adalah sebuah berkah!<br /><br />Seorang guru di Perancis menulis: to say you don’t know is the beginning of knowing. Menyadari diri tidak tahu adalah awal pengetahuan sekaligus keagungan.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
”The gift of understanding”</span><br /><br />Dengan modal mendengar dan belajar inilah, para bijaksana menelusuri sisi-sisi kehidupan. Sesuatu yang awalnya terlihat baik, belakangan menjadi buruk. Hal lain yang semula terlihat suci menjadi sumber belenggu yang menakutkan kemudian.<br /><br />Ujung-ujungnya satu, tidak ada yang kekal. Semua seperti air sungai: mengalir dan mengalir. Sehingga tidak saja sungai yang baru setiap detiknya (karena airnya berganti terus), pengertian juga senantiasa baru dan segar. Maka, di Timur tidak sedikit manusia yang terbebaskan dan tercerahkan hanya dengan memahami dalam-dalam makna ketidakkekalan.<br /><br />Pengetahuan, filsafat, agama (terutama yang sangat mencengkeram sehingga membuat orang jadi fanatik) ibarat batu besar di sungai, mandek tidak bergerak. Kesediaan untuk belajar dan mendengar ibarat air mengalir di sungai, pada waktunya ia akan sampai di samudra.<br /><br />Bila boleh berterus terang, kehidupan menyimpan tidak sedikit tokoh yang sudah menemukan indahnya belajar dan mendengar.<br /><br />Ahmad Syafii Ma’arif (mantan Ketua Umum PP Muhamadiyah) mengakhiri renungannya tentang hari raya Idul Fitri tahun 2008 dengan mengutip pendapat Mahatma Gandhi yang beragama Hindu. Yudi Latief (salah satu murid almarhum Nurcholis Madjid) menutup refleksinya tentang hari raya Idul Fitri pada tahun 2008 dengan meminjam argumen pendeta Buddha Thich Nhat Hanh. Seorang pastor Katolik yang memimpin gereja di Puja Mandala Bali menghabiskan waktu tahunan di Mesir belajar filsafat Islam. Dari penuturannya mengalir wajah-wajah Islam yang indah.<br /><br />HH Dalai Lama berkali-kali mengemukakan tidak tertarik untuk mengubah keyakinan orang menjadi pengikut Buddha. Satu-satunya ketertarikannya adalah bagaimana membangun hubungan harmonis di antara sesama manusia. Itu sebabnya banyak pihak menyebut beliau memiliki universal appeal.<br /><br />Inilah ciri-ciri manusia yang di dalamnya kaya karena belajar dan mendengar. Tatkala ada pengertian yang berbeda (mengenai filsafat, agama, ideologi, tradisi) tidak buru-buru diberi judul salah. Mereka mulai dengan mendengar, kemudian belajar. Kesediaan untuk mengerti itu sebuah berkah (the gift of understanding), karena melalui pengertian terbuka pintu-pintu persahabatan, persaudaraan yang menjadi modal kebahagiaan kemudian.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Tahan guncangan</span><br /><br />Ia yang sampai di puncak pemahaman akan berbisik, ”The best theologian is the one who never speaks about God”. Berbicara menunjukkan seseorang masih dua (subyek-obyek, Tuhan-manusia). Dalam pemahaman yang dibimbing persahabatan ini, ada yang menyebutkan bahwa yang dua sudah menjadi satu. Ada yang hanya senyum-senyum lembut tanpa suara. Raut mukanya memberi tanda tidak ada lagi yang perlu dibicarakan.<br /><br />Dari sini muncul pertanyaan, bila demikian bingkai pengertiannya, lantas apa pedoman bertindak? Seorang guru yang amat menyentuh memberi pedoman sederhana. Membantu meringankan beban penderitaan para makhluk adalah yang paling baik. Bila tidak bisa, cukup jangan menyakiti. Inilah prinsip survival of the kindest. Kehidupan menjadi tahan guncangan karena kebajikan.<br /><br />Semua kehidupan dimulai dengan kebaikan pihak lain. Tatkala lahir kita berutang pada kebaikan orangtua dan lain-lain. Nanti ketika meninggal lagi-lagi harus bergantung pada kebaikan orang lain. Kita didoakan, dibikinkan upacara oleh orang lain.<br /><br />Dan, bila di antara kelahiran dan kematian lupa mengisinya dengan kebaikan, itu berarti gagal membayar utang kebaikan. Maka, ada yang menulis: compassion is the best protection. Welas asihlah penjaga kehidupan yang sesungguhnya. Tidak saja menjaga sekarang, tetapi juga menjaga sampai setelah kematian.<br /><br />Perhatikan kehidupan Mohammad Yunus, Nelson Mandela, dan Dalai Lama yang tanpa senjata, tanpa agen rahasia, tetapi bercahaya ke mana-mana.<br /><br />Boleh saja ada orang hidup penuh penghakiman (baik untuk diri, buruk untuk orang), di jalan kebajikan semuanya menghadirkan pelajaran.<br /><br />Sebagai hasilnya, tidak saja orang baik terlihat indah. Iklan- iklan politik juga indah. Semuanya sedang bertumbuh, semuanya hanya cara guru membimbing.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Gede Prama Bekerja di Jakarta, Tinggal di Bali Utara<br />Kompas, 31 Januaru 2009<br /></span><br /></span>
<br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Sky -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-slot="5590796064" style="display: inline-block; height: 600px; width: 300px;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>.:: me ::.http://www.blogger.com/profile/09404175544344878135noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3078077179646555643.post-53421458137412977812008-12-19T17:36:00.000-08:002019-11-08T18:23:31.187-08:00Penyembuhan, Perdamaian, Pencerahan<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
<span style="font-weight: bold;">Oleh: Gede Prama</span><br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Kasih Ibu kepada beta/Tak terhingga sepanjang masa/Hanya memberi tak akan kembali/ Bagai sang surya menyinari dunia</span><br /><br />Langkah PBB mengadakan dialog antaragama (13/11/2008) patut dihargai. Membuat 70 kepala negara menandatangani deklarasi perdamaian tentu sebuah prestasi. Namun, membuat deklarasi menjadi aksi, itu lain lagi sebab deklarasi dan aksi tidak selalu sejalan.<br /><br />Hanya dua pekan seusai penandatanganan deklarasi perdamaian (27/11/2008), senjata teroris mencabut nyawa manusia di Mumbai, India. Kemarahan bak mesin kekerasan yang mengalahkan segalanya. Pada titik ini, mungkin bijaksana belajar mengonstruksi perdamaian dengan fondasi penyembuhan.<br /><span class="fullpost"><br /><span style="font-weight: bold;">Penyembuhan holistik</span><br /><br />Banyak guru sepakat, kekotoran batin (keserakahan, kemarahan, dan ketidaktahuan) itulah penyakit sesungguhnya. Maka, dalam tataran rendah, seseorang disebut sembuh secara spiritual bila sadar bahayanya kekotoran batin. Kesadaran, itulah penjaganya. Pada tingkatan sedang, seseorang mulai lapar berbuat baik. Pada tingkat tinggi, dualitas kebaikan kejahatan terlampaui. Semua datang dan pulang ke tempat yang sama sehingga tidak ada lagi hal luar yang membuat batin mudah membakar.<br /><br />Maka, mudah dimengerti bila Martin Luther King Jr mengemukakan, ”Happiness depended on healing the whole situation.” Atau Pema Chodron: To be healed, everyone has to be healed. Dengan kata lain, penyembuhan holistik lebih mungkin terjadi saat manusia sadar dirinya tidak terpisah dengan yang lain.<br /><br />Di Timur, kata yang banyak dikagumi adalah bodhi (bangun). Bangun dari ilusi jika ada diri yang terpisah. Karena batin belum bangun, lalu ada orang bertindak jahat.<br /><br />Selain kesadaran dan kesabaran, penting mengajarkan pemahaman jika semuanya serba terhubung. Matinya kupu-kupu di Bali memengaruhi suasana hati manusia di Vancouver. Fisikawan Fritjof Capra menyebutnya the hidden connections. Antropolog sosial Gregory Bateson merumuskan sebagai the pattern that connects. Ia yang paham akan hal ini, jangankan membunuh manusia, menginjak rumput pun harus minta maaf.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
Penggembala domba</span><br /><br />Dalam peta dunia yang ditandai berlimpahnya kekerasan, kehidupan memerlukan banyak penyembuh. Ada tiga tipe penyembuh: raja, kapten kapal, dan penggembala domba.<br /><br />Dalam tipe raja, seseorang bisa menyembuhkan jika sudah tersembuhkan. Dalam pola kapten kapal, kita berlayar bersama, sampai di tanah penyembuhan bersama. Dalam kehidupan penggembala domba, ia harus yakin kalau semua domba bisa makan, baru kemudian gembala makan bagi dirinya.<br /><br />Pola penggembala domba adalah yang paling mulia, sekaligus paling mungkin dilakukan banyak orang. Tidak perlu tersembuhkan dulu hanya untuk melakukan apa yang ditugaskan kehidupan sebaik-baiknya.<br /><br />Yang punya taman menata tamannya sehijau dan seindah mungkin, ada sejumlah kupu, semut, cacing, kodok, dan tidak terhitung makhluk yang hidup di sana. Yang punya media (surat kabar, radio, dan televisi) menggunakannya untuk menyejukkan hati banyak orang. Yang punya jabatan (presiden, gubernur, bupati, dan lainnya) menggunakan jabatan untuk mengurangi kemiskinan. Yang punya anak menyayangi anaknya. Inilah sebagian contoh nyata bagaimana menjadi penggembala domba.<br /><br />Ia yang menyediakan hidupnya untuk penyembuhan pihak lain suatu saat tidak saja ikut sembuh dan damai, tetapi juga mengalami ultimate healing (pencerahan). Meminjam bahasa orang bijaksana: ”dalam memberi, manusia tersembuhkan”. Dengan demikian, orang biasa juga bisa membuat sesuatu yang berbeda dengan membuat dirinya terhubung melalui pemberian dan perhatian.<br /><br />Seorang kawan di Barat berpesan, ”The most significant step one can make toward global peace is to soften our heart”. Membuat hati menjadi lembut, itulah peran terbesar yang bisa diberikan pada perdamaian global. Hasilnya, manusia bisa terhubung dengan bagian kehidupan yang teduh sekaligus menyentuh.<br /><br />Mirip kepompong yang keluar dari rumahnya, lalu terbang menjadi kupu-kupu seperti sudah memiliki semua yang ada di alam, demikian juga manusia yang tekun menjadi penggembala domba. Keberaniannya keluar dari rumah kecil keakuan (diri yang terpisah), lalu membuatnya keluar terbang memasuki alam pencerahan. Tidak saja sembuh, damai, dan tercerahkan, tetapi seperti kupu-kupu, semua yang ada di alam menjadi ”miliknya”.<br /><br />Mirip lagu anak-anak di awal. Ia yang tercerahkan menjadi ibu bagi semua. Serta sadar makhluk hidup penyebab pencerahan. Saat mereka mengganggu, sebenarnya sedang mengajarkan kesabaran. Saat mereka menderita, sebenarnya sedang membangkitkan welas asih kita. Duka mereka duka kita. Ikut berduka atas tragedi kemanusiaan di Mumbai, India.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Gede Prama Bekerja di Jakarta, Tinggal di Bali Utara</span><br /><span style="font-weight: bold;">Kompas, Sabtu, 20 Desember 2008 </span><br /></span>
<br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Sky -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-slot="5590796064" style="display: inline-block; height: 600px; width: 300px;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>.:: me ::.http://www.blogger.com/profile/09404175544344878135noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3078077179646555643.post-47653346577756030402008-11-14T16:22:00.000-08:002019-11-08T18:21:48.837-08:00Lukisan Indah Kebijaksanaan<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
<span class="Apple-style-span" style="font-weight: bold;">Kompas, Sabtu, 15 November 2008<br />Oleh: Gede Prama</span><br /><br />Terowongan gelap tidak berujung, mungkin itu metafora kehidupan zaman ini. Kekayaan kehidupan anak-anak biasanya harapannya akan masa depan. Dan, saat tua tidak sedikit yang membanggakan masa lalu.<br /><br />Keadaannya mirip kucing yang mengejar bayangannya sendiri. Pada pagi hari (masa muda) bayangannya ada di barat dikejar dan tidak ketemu. Pada sore hari (umur tua) bayangannya ada di timur, lagi-lagi dikejar juga tidak ketemu. Sadar bahaya ini, ada yang memotong lingkaran kegelapan dengan meyakini kehidupan berawal pada masa sekarang dan berakhir pada masa sekarang.<br /><span class="fullpost"><br />Masa lalu telah berlalu, masa depan belum datang. Namun, melalui tindakan pada masa kini, keduanya bisa dibuat kian terang atau gelap. Sebutlah Ibu yang sudah meninggal, tetapi belum sempat dibahagiakan. Masa lalu membuat kehidupan kian suram jika masa kini diisi penyesalan, rasa bersalah, tidak bisa memaafkan diri sendiri. Sebaliknya ini bisa menjadi awal terang jika pengalaman tidak mengenakkan ini dijadikan titik awal untuk banyak membahagiakan orang.<br /><br />Di Tibet, makhluk hidup diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi mother being. Terutama karena diyakini jika semua makhluk pernah menjadi Ibu kita pada masa lalu. Dengan demikian, bila rajin membahagiakan orang atau makhluk lain, kita juga sudah membahagiakan ibu. Selain itu, membahagiakan orang adalah salah satu persiapan terbaik menyongsong masa depan. Inilah transformasi spiritual, rasa bersalah akan masa lalu dan takut akan masa depan, diolah sekaligus dinikmati hari ini.<br /><br /><span class="Apple-style-span" style="font-weight: bold;">Guru sebagai cahaya<br /></span><br />Inilah tanda-tanda manusia yang mulai terbimbing. Dalam setiap kejadian (menyenangkan maupun menjengkelkan) ada cahaya bimbingan. Di Timur, ia disebut munculnya guru simbolik. Tidak ada kebetulan, semua hanya bimbingan. Cuma, sebagian bisa dimengerti kini, sebagian dimengerti nanti.<br /><br />Sayang, amat sedikit manusia yang lahir di zaman ini memiliki berkah spiritual berjumpa guru. Untuk itu, bagi orang-orang mengagumkan, seperti Jalalludin Rumi, perjumpaan dengan guru adalah berkah spiritual yang amat disyukuri. Segelintir sahabat yang berjumpa guru menyebutkan, hanya dengan mendengar namanya sebagian ketakutan akan neraka langsung sirna.<br /><br />Karena itu, tidak sedikit pencari yang menghabiskan waktu, tenaga, dan dana untuk mencari guru. Idealnya, pencarian dimulai dengan berjumpa guru hidup. Lalu perintah-perintah guru hidup ini diperkaya guru dalam bentuk buku suci. Ia yang sudah memadukan guru hidup dengan buku suci lalu berjumpa guru simbolik dalam keseharian. Puncaknya tercapai saat ketiga guru ini menjelma menjadi guru dalam diri. Orang jenis ini seperti membawa lentera ke mana-mana. Tidak ada lagi kegelapan yang tersisa.<br /><br /><span class="Apple-style-span" style="font-weight: bold;">Kematian</span><br /><br />Bagi mereka yang belum diberkahi perjumpaan dengan guru hidup, disarankan menjaga diri dengan etika. Praktik serius etika ini mungkin membimbing seseorang menjumpai guru simbolik. Di antara banyak guru simbolik, kematian adalah guru simbolik paling agung.<br /><br />Perhatikan pendapat Dzogchen Ponlop dalam Mind beyond death: ”in order to die well, one must live well”. Agar matinya indah, belajarlah hidup secara indah (baca: hidup penuh cinta).<br /><br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
Maka, tidak sedikit guru meditasi yang menggunakan kematian sebagai sumber air perenungan yang tidak habis-habis. Pertama-tama meditator membayangkan tubuhnya mati. Badan kaku, membiru, orang-orang dekat menangis dan seterusnya.<br /><br />Diterangi cahaya keikhlasan, kematian terlihat sebagai kembalinya unsur badan ke rumah aslinya. Unsur tanah kembali ke tanah, unsur air kembali ke air, unsur api kembali ke api, unsur udara kembali ke udara, unsur ruang kembali ke ruang. Dalam bahasa tetua Bali, kematian disebut mulih ke desa wayah (pulang ke rumah sesungguhnya).<br /><br />Ia yang merenungkan kematian menjadi lebih tenang, santun, baik, dan rendah hati. Bukankah ketenangan dan kebajikan adalah teman paling berguna dalam kematian? Selain itu, kematian juga berubah wajah menjadi guru simbolik yang membimbing menapaki tangga kemuliaan. Mungkin ini sebabnya Santo Paulus mengemukakan l die every day.<br /><br />Bila boleh jujur, tiap hari kita mengalami kematian. Seusai sarapan, kita berpisah dengan rasa enak (matinya rasa enak di mulut). Berangkat ke kantor, manusia berpisah dengan rasa nyaman di rumah (matinya rasa nyaman tinggal di rumah). Mengakhiri meditasi, meditator berpisah dengan keindahan konsentrasi (matinya kedamaian meditasi). Dalam wajahnya yang mendasar, kematian menakutkan karena ada perpisahan. Bila terbiasa dengan perpisahan sehari-hari, perpisahan melalui kematian akan menjadi suatu yang biasa.<br /><br />Meminjam ajaran Tibetan book of the dead, wajah kematian terindah bertemu saat semua tahapan antara kematian dan kehidupan berikutnya (bardo) terlewati secara tenang-seimbang. Maka, disarankan untuk memperlakukan semua kejadian dalam hidup (dipuji-dicaci, sukses-gagal, meditasi sampai mimpi) sebagai bardo. Tidak ada apa- apa, yang menyenangkan maupun menakutkan hanya pancaran kesadaran murni. Sebagaimana dinyanyikan berulang-ulang oleh pertapa Milarepa: ”death is not a death for a yogi; it is a little enlightenment”. Dalam kehidupan pertapa, kematian muncul tanpa ditemani ketakutan, ia hanya sebuah pengalaman kecil pencerahan.<br /><br />Inilah ujung terowongan kegelapan. Lalu muncul cahaya bimbingan. Kegagalan, ketakutan, bahkan kematian pun memancarkan sinar terang pengertian. Karena ketakutan akan kematian adalah ibu semua ketakutan, maka begitu ia lenyap, ketakutan lain pun sirna. Sebagai hasilnya, batin menjadi bersih dan jernih sempurna. Cirinya cara memandang, niat, kata-kata, perbuatan, sumber penghasilan, daya upaya, perhatian dan konsentrasi semua menjadi serba bijaksana. Kehidupan lalu berubah wajah menjadi lukisan indah kebijaksanaan. Gambarnya cinta, bingkainya keikhlasan.<br /><br />Di Ubud Bali ada wanita bule yang tidak lagi muda tekun memelihara anjing-anjing liar tak bertuan. Kendati pengertiannya akan cinta tidak mendalam, dengan tekun ia melakukannya dalam waktu lama. Pengertian yang disertai keraguan kadang menjadi penghalang keikhlasan. Kehidupan wanita bule ini sedang menggoreskan tinta keindahan: cinta dan keikhlasan melukis kebijaksanaan.<br /><br /><span class="Apple-style-span" style="font-weight: bold;">Gede Prama Bekerja di Jakarta, tinggal di Desa Tajun Bali Utara</span><div><span class="Apple-style-span" style="font-weight: bold;"><br /></span></div><br /></span>
<br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Sky -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-slot="5590796064" style="display: inline-block; height: 600px; width: 300px;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>.:: me ::.http://www.blogger.com/profile/09404175544344878135noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3078077179646555643.post-11748534411854422212008-10-19T06:51:00.000-07:002019-11-08T18:19:09.391-08:00Nur Dari Timur<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
<span style="font-weight: bold;">Oleh: Gede Prama</span><br /><span class="fullpost"><span style="font-weight: bold;">Kompas, Sabtu, 18 Oktober 2008<br /><br /></span></span>Ia yang pernah hidup di Barat tahu kalau berbicara itu amat penting. Dibandingkan kehidupan di Timur, lebih banyak hal di Barat yang diekspresikan dengan kata-kata.<br /><br />Fight, argue, dan complain, itulah ciri-ciri manusia yang disebut ”hidup” di Barat. Tanpa perlawanan, tanpa adu argumentasi, orang dianggap ”tidak hidup” di Barat. Intinya, melawan itu kuat, diam itu lemah, melawan itu cerdas, dan pasrah itu tolol.<br /><br />Dengan latar belakang berbeda, pola hidup ala Barat ini menyebar cepat melalui televisi, internet, radio, media, dan lainnya. Dengan bungkus seksi demokrasi, hak asasi manusia, semua dibawa ke Timur sehingga dalam banyak keadaan (angka bunuh diri naik di Jepang, Thailand mengalami guncangan politik, Pakistan ditandai pembunuhan politik), banyak manusia di Timur mengalami kebingungan roh Timur dengan baju Barat.<br /><span class="fullpost"><br />Perhatikan kehidupan desa sebagai barometer. Tanpa banyak berdebat siapa yang akan menjadi presiden, ke mana arah masa depan, partai apa yang akan menang. Di desa yang banyak burungnya, tetapi manusianya banyak menonton televisi (sebagai catatan, realita di desa amat sederhana, tontonan di televisi amat menggoda), tema hidup setiap pagi adalah ”burung menyanyi, manusia mencaci”.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Berhenti melawan</span><br /><br />Bayangkan seseorang yang tidak bisa berenang lalu tercemplung ke sungai yang dalam. Pertama-tama ia melawan. Setelah itu tubuhnya tenggelam. Karena tidak bisa bernapas, meninggallah ia. Anehnya, setelah meninggal tubuhnya mengapung di permukaan air. Dan alasan utama mengapa tubuh manusia meninggal kemudian mengapung karena ia berhenti melawan.<br /><br />Ini memberi inspirasi, mengapa banyak manusia tenggelam (baca: stres, depresi, banyak penyakit, konflik, perang) karena terus melawan. Yang menjadi guru mau jadi kepala sekolah. Orang biasa mau jadi presiden. Pegawai mau cepat kaya seperti pengusaha. Intinya, menolak kehidupan hari ini agar diganti kehidupan yang lebih ideal kemudian. Tidak ada yang melarang seseorang jadi presiden atau pengusaha, hanya alam mengajarkan, semua ada sifat alaminya Seperti burung sifat alaminya terbang, serigala berlari, dan ikan berenang.<br /><br />Suatu hari konon binatang iri dengan manusia karena memiliki sekolah. Tak mau kalah, lalu didirikan sekolah berenang dengan gurunya ikan, sekolah terbang gurunya burung, sekolah berlari gurunya serigala. Setelah mencoba bertahun-tahun semua binatang kelelahan. Di puncak kelelahan, baru sadar kalau masing-masing memiliki sifat alami. Dalam bahasa tetua di Jawa, puncak pencaharian bertemu saat seseorang mulai tahu diri.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
Meditasi tanpa perlawanan</span><br /><br />Nyaris semua manusia begitu berhadapan dengan persoalan, penderitaan langsung bereaksi mau menyingkirkannya. Bosan lalu cari makan. Jenuh kemudian cari hiburan. Sakit lalu buru-buru mau melenyapkannya dengan obat. Inilah bentuk nyata dari hidup yang melawan sehingga berlaku rumus sejumlah psikolog what you resist persist. Apa saja yang dilawan akan bertahan. Ini yang menerangkan mengapa sejumlah kehidupan tidak pernah keluar dari terowongan kegelapan karena terus melawan.<br /><br />Berbeda dengan hidup kebanyakan orang yang penuh perlawanan, di jalan meditasi manusia diajari agar tidak melawan. Mengenali tanpa mengadili. Melihat tanpa mengotak-ngotakkan. Mendengar tanpa menghakimi. Bosan, sakit, sehat, senang, dan sedih semua dicoba dikenali tanpa diadili. Ia yang rajin berlatih mengenali tanpa mengadili, suatu hari akan mengerti.<br /><br />Dalam bahasa Inggris, mengerti berarti understanding, bila dibalik menjadi standing under. Seperti kaki meja, kendati berat menahan, ia akan berdiri tegak menahan meja. Demikian juga dengan meditator. Persoalan tidak buru-buru dienyahkan, penderitaan tidak cepat disebut sebagai hukuman, tetapi dengan tekun ditahan, dikenali, dan dipelajari. Setelah itu terbuka rahasianya, ternyata keakuan adalah akar semua penderitaan. Semakin besar keakuan semakin besar penderitaan, semakin kecil keakuan semakin kecil persoalan. Keakuan ini yang suka melawan.<br /><br />Indahnya, sebagaimana dialami banyak meditation master, saat permasalahan, penderitaan sering dimengerti dalam-dalam sampai ke akar-akarnya, diterangi dengan cahaya kesadaran melalui praktik meditasi, ia lalu lenyap. Ini mungkin penyebab mengapa Charlotte JokoBeck dalam Nothing Special menulis, ”Sitting is not about being blissful or happy. It’s about finally seeing that there is no real difference between listening to a dove and listening to somebody criticizing us”. Inilah berkah spiritual meditasi. Tidak ada perbedaan antara mendengar merpati bernyanyi dan mendengar orang mencaci. Keduanya hanya didengar. Yang bagus tak menimbulkan kesombongan. Yang jelek tak menjadi bahan kemarahan. Pujian berhenti menjadi hulunya kecongkakan. Makian berhenti menjadi ibunya permusuhan.<br /><br />Saat melihat hanya melihat. Ketika mendengar hanya mendengar. Perasaan suka-tidak suka berhenti menyabotase kejernihan dan kedamaian. Meminjam lirik lagu Bob Marley dalam Three little birds: don’t worry about the things, every single thing would be allright. Tidak usah khawatir, semua sudah, sedang, dan akan berjalan baik. Burung tak sekolah, tak mengenal kecerdasan, tetapi terhidupi rapi oleh alam, apalagi manusia. Inilah meditasi tanpa perlawanan. Paham melalui praktik (bukan dengan intelek) jika keakuan akar kesengsaraan. Begitu kegelapan keakuan diterangi kesadaran, ia lenyap. Tidak ada yang perlu dilawan.<br /><br />Seorang guru yang telah sampai di sini berbisik: the opposite of injustice is not justice, but compassion. Selama ketidakadilan bertempur dengan keadilan, selama itu juga kehidupan mengalami keruntuhan. Hanya saling mengasihi yang bisa mengakhiri keruntuhan. Sejumlah sahabat di Barat yang sudah membadankan kesempurnaan meditasi seperti ini kerap menyebut ini dengan Nur dari Timur. Cahaya penerang dari Timur di tengah pekatnya kegelapan kemarahan, kebencian, ketidakpuasan, dan kebodohan. Seperti listrik bercahaya karena memadukan positif-negatif, meditasi hanya perpaduan kesadaran-kelembutan, membuat batin bisa menerangi diri sendiri.<br /><br /><span style="font-weight: bold;"><a href="http://gede-prama.blogspot.com/">More Gede Prama Articles</a><br /></span><br /></span>
<br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Sky -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-slot="5590796064" style="display: inline-block; height: 600px; width: 300px;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>.:: me ::.http://www.blogger.com/profile/09404175544344878135noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-3078077179646555643.post-52951570581919815162008-09-12T17:38:00.000-07:002019-11-08T18:17:46.243-08:00Mengolah Kebakaran Menjadi Keteduhan<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
<span style="font-weight: bold;">Oleh: Gede Prama</span><br /><span style="font-weight: bold;">Kompas, Sabtu, 13 September 2008 </span><br /><br />Teriakan ”kebakaran, kebakaran” merupakan ekspresi panik tiap manusia yang rumahnya terbakar.<br /><br />Hal serupa juga terjadi dalam peradaban manusia. Di mana- mana terjadi kebakaran. Jangankan pengusaha dan politisi yang dari asalnya sudah dibakar uang dan kekuasaan, para intelektual, seniman, bahkan dalam beragama pun banyak manusia terbakar. Jangankan negara berkembang yang baru mengenal pendidikan dan demokrasi, AS yang duduk lama sebagai guru dunia mengalami ribuan kasus pelecehan agama setiap tahun.<br /><br />Akibatnya, sejarah seperti bergerak dari satu kebakaran ke kebakaran lain. Bunda Theresa punya pendapat menarik, The problem of the world is that we draw too narrow line on our concept of family. Tidak saja dalam konsep keluarga manusia mengalami penyempitan dan kepicikan, nyaris dalam segala hal terjadi penyempitan dan kepicikan. Dulu, hubungan sepupu itu dekat. Kini, banyak orang yang bersaudara kandung pun menjadi jauh. Dulu, begitu mudah membuat keputusan untuk kepentingan bersama. Kini, yang sederhana pun dibikin rumit. Akibatnya, terlalu banyak titik api dalam kehidupan manusia.<br /><span class="fullpost"><br /><span style="font-weight: bold;">Api menjadi air</span><br /><br />Salah satu perlambang alam yang membawa kesejukan adalah air yang secara kimiawi dirumuskan, H20. Hidrogen adalah bahan yang mudah terbakar. 0ksigen adalah yang memungkinkan kebakaran terjadi. Uniknya, ketika dua bahan sama-sama dekat api ini tepat diramu, ia menjadi air yang sejuk, teduh, dan lembut.<br /><br />Ini memberi inspirasi, lingkungan boleh penuh kebakaran, zaman boleh berputar putaran yang banyak apinya, tetapi bila semua diolah secara tepat, manusia bisa mengalami hidup penuh keteduhan, kesejukan. Perhatikan banyak manusia yang tekun berlatih di jalan spiritual (zikir, kontemplasi, yoga, meditasi, dan lain-lain) sebelum berlatih banyak yang hidupnya terbakar. Namun, bahan-bahan kehidupan yang membakar itu diolah dengan latihan spiritual, banyak yang hidupnya menjadi teduh, sejuk, dan lembut.<br /><br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
Pema Chodron dalam When Things Fall Apart adalah contoh indah. Setelah 20 tahun lebih sebagai ibu rumah tangga, tiba-tiba hidupnya terbakar perceraian. Kebakaran ini membawanya berkenalan dengan meditasi. Di pusat-pusat meditasi umumnya, tangga pertama adalah etika dan tata susila. Ketekunan latihan yang dibimbing etika menghantar seseorang mengalami konsentrasi (semadi). Ia yang sering mengalami konsentrasi, suatu saat dibukakan pintu sejuk kebijaksanaan. Dalam pengalaman Pema Chodron, tak saja hidupnya menjadi sejuk dan lembut, bahkan diakui sebagai salah satu meditation master.<br /><br />Thich Nhat Hanh dalam retretnya pernah cerita sampah dan bunga. Manusia yang terbakar punya ciri sama: serakah mau bunga, mencampakkan sampah. Menerima teman membuang musuh. Teman ibarat bunga, musuh ibarat sampah. Bunga yang tidak terawat baik besok jadi sampah. Sampah (asal bisa merawatnya) akan menjadi bunga.<br /><br />Cara terbaik mengolah sampah kehidupan menjadi bunga indah kehidupan adalah dengan menerapkan etika dan tata susila. Hentikan kejahatan, perbanyak kebajikan, murnikan pikiran. Tidak kebetulan jika kemudian kata sila dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang membuat seseorang menjadi sejuk dan lembut.<br /><br />Tidak sedikit guru yang menyebut ini sebagai jantung spiritualitas: bersihkan batin dari segala kekotoran (keserakahan, kemarahan, kebencian), lalu lihat dan rasakan sendiri bagaimana pintu keteduhan terbuka.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Memberi itu menyejukkan</span><br /><br />Menyusul berita perampokan disertai pembunuhan di Jawa Tengah, seorang guru di Mendut ditanya muridnya apakah beliau mengenal korban perampokan. Guru ini menjawab dengan lembut, ”Sakit fisik (sebagaimana dialami korban perampokan) menimbulkan rasa kasihan. Sakit mental (sebagai sebab seseorang merampok) menimbulkan kebencian. Rasa kasihan maupun kebencian, keduanya kekotoran batin. Pancarkan sinar kasih pada keduanya.” Inilah ciri manusia yang sudah bisa mengolah kebakaran menjadi keteduhan: tidak serakah memilih baik di atas buruk, lalu memancarkan sinar kasih kepada siapa saja.<br /><br />Dalam pemahaman seperti ini, masalah akan datang, godaan juga berkunjung, tetapi yang penting adalah bagaimana mengolahnya. Thich Nhat Hanh mengajarkan, saat hidup penuh bunga (baca: kaya, dipuja), jangan lupa semua bunga akan jadi sampah. Bila hidup penuh sampah (baca: cacian, hujatan), ingatlah untuk mengolahnya menjadi bunga.<br /><br />Di tangan manusia yang cermat, sampah diolah menjadi bunga. Tak setitik debu pun tidak berguna. Larry Rosenberg memberi judul karyanya Living in the light of death. Dalam batin jenis ini, kematian pun menjadi cahaya penerang perjalanan. Perhatikan kesimpulan Larry Rosenberg: ”The awakened mind is the mind that is intimate with all things”. Batin tercerahkan adalah batin yang bersahabat dengan semua, termasuk dengan kematian.<br /><br />Seorang wartawati AS yang bertugas ke Israel berjumpa dengan orang yang berdoa menghadap tembok pada pagi-sore tanpa henti setiap hari. Saat ditanya sudah berapa lama berdoa seperti ini, ia menjawab lebih dari 25 tahun. Saat ditanya hasilnya, ia bergumam: ”ada yang berdoa saja dunia seperti ini, tidak terbayang wajah kehidupan bila tidak ada yang berdoa”. Inilah wajah lain batin yang sejuk: berdoa untuk keselamatan semua.<br /><br />Sejumlah sahabat bertanya, ada apa di Bali sehingga mudah menimbulkan kedamaian. Sebagaimana diajarkan tetua di Bali, hidup adalah persembahan. Untuk itu, mengerti tidak mengerti, berbuah tidak berbuah, ribuan orang Bali melakukan persembahan setiap hari. Tidak hanya sesajen sebagai persembahan, bertani, menari, memukul gamelan, semua adalah persembahan.<br /><br />Dalam klasifikasi sederhana, persembahan luar (outer offering) adalah sesajen. Persembahan dalam (inner offering) adalah pikiran, kata-kata, dan tindakan yang teduh. Persembahan terdalam (innermost offering) hanya boleh diceritakan di antara para guru. Yang boleh dibuka hanya batin jadi teduh. Charlotte Joko Beck dalam Nothing Special menyimpulkan: practice is giving. Memberikan itu menyejukkan. Itu sebabnya manusia berlatih berbahagia dalam memberikan.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Gede Prama Bekerja di Jakarta, Tinggal di Desa Tajun Bali Utara</span><br /></span>
<br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Sky -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-slot="5590796064" style="display: inline-block; height: 600px; width: 300px;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>.:: me ::.http://www.blogger.com/profile/09404175544344878135noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3078077179646555643.post-16510286149371537032008-08-31T16:22:00.001-07:002019-11-08T18:16:32.220-08:00Pertanyaan Yang Merubah Dunia<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
Bayangkan seorang pemuda bujangan yang bertemu gadis cantik nan menawan. Bila pemuda ini ingin tahu status gadis terakhir, pertanyaan apa yang harus diajukan, agar dua tujuan - tahu statusnya, dan ada simpati yang muncul - bisa dicapai melalui satu pertanyaan saja?<br /><br />Saya sering mengajukan pertanyaan ini di depan ribuan pemimpin. Terutama, untuk mengetahui, seberapa cermat orang menggunakan pertanyaan sebagai sarana ampuh kepemimpinan.<br /><span class="fullpost"><br />Pemimpin yang belum terlalu biasa menggunakan pertanyaan sebagai sarana kepemimpinan, sering memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang bisa mengudang rasa tersinggung orang lain. Misalnya, ‘mbak, apa sudah punya pacar?’. Atau, ‘mbak, sudah menikah belum?’.<br /><br />Kualitas pertanyaan, akan lain sekali jika seorang pemimpin sudah teramat cerdik menggunakan pertanyaan. Saya pernah bertemu seorang pemimpin yang pandai sekali menyiasati situasi di atas. Lengkap dengan ekspresi senyumnya yang bersahabat, ia melempar pertanyaan : ‘maaf mbak, suaminya lagi sibuk ya, koq jalan sendiri?’.<br /><br />Apa yang mau saya ceritakan melalui ilustrasi di atas, melalui kecermatan bertanya, seseorang bisa memimpin, dan pada saat yang sama, pihak yang dipimpin tidak merasa dirinya sedang dipimpin. Lebih dari itu, sering terjadi, orang bahkan melaksanakan kehendak pemimpin dengan sepenunya, semata-mata karena sang pemimpin cermat sekali bertanya.<br /><br />Lebih-lebih di zaman yang sudah sangat jenuh dengan segala bentuk pernyataan seperti pidato, pengarahan, petunjuk, dan perintah. Jangankan mereka yang berpendidikan tinggi. Kalangan bawahpun, tidak sedikit yang alergi terhadap pidato. Buktinya, begitu ada pidato di televisi, tidak sedikit yang langsung mematikan tv-nya.<br /><br />Dunia penjualan pada umumnya, juga memiliki tuntutan yang tinggi akan kecermatan bertanya. Hampir tidak ada calon konsumen yang mau digurui. Namun, yang mau didengarkan ceritanya ada banyak sekali.<br /><br />Untuk itulah, keberhasilan penjual sangat ditentukan oleh pertanyaan yang diajukan. Saya sering kali menilai kualitas calon pelamar dari pertanyaan yang ia ajukan. Pelamar yang bertanya ‘ceritakan ke saya, bagaimana prospek karir di tempat ini?’, akan lain sekali penilaiannya dengan mereka yang bertanya ‘kalau sudah diterima, mungkin tidak saya dipecat?’.<br /><br />Seorang penjual polis asuransi jiwa, akan lain sekali ceritanya bila ia mengawali percakapan dengan pertanyaan : ‘pernahkah terfikir sebelumnya, tentang nasib sebuah keluarga yang ditinggal mati orang tuanya?’.<br /><br />Digabung menjadi satu, pertanyaan, bagi saya, tidak sekadar alat pengumpul informasi. Jauh lebih penting dari itu, ia adalah cermin kualitas kepemimpinan seseorang. Dari segi tertentu, kepribadian seseorang bisa terlihat dari pertanyaan yang diajukan. Dan yang lebih penting lagi, peradaban dunia dirubah oleh kumpulan manusia yang berani bertanya.<br /><br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
Makanya, saya tidak heran bila Drucker pernah menulis : asking the right question is far more important than giving the dumb answer.<br /><br />Sayangnya, saya tidak pernah bertemu satu sekolahpun, atau satu kursuspun yang khusus mendalami pertanyaan. Hampir semuanya sangat fasih menghafal pernyataan yang diberi judul teori, kiat, siasat, rumus, formula dan mahluk sejenis.<br /><br />Belajar dari ini semua, saya mendidik diri untuk cermat bertanya. Dan sering diselamatkan oleh kecermatan terakhir.<br /><br />Meminjam kerangka William Bethel dalam Questions That Make The Sales, ada beberapa jenis pertanyaan. Dari pertanyaan yang berakhir terbuka, pertanyaan reflektif, pertanyaan direktif, pertanyaan pilihan ganda dan pertanyaan tertutup. Masing-masing ada gunanya di tempat dan waktu yang berbeda.<br /><br />Di tahap-tahap pengenalan persoalan, atau tahap memperkenalkan produk - menurut saya, pertanyaan terbuka akan sangat membantu. Coba bayangkan seorang calon pembeli yang menolak Anda. Pertanyaan dalam bentuk ‘bila uang bukan masalah bagi Anda, berminatkah Anda terhadap produk ini?’, tentu saja akan sangat membantu. Secara lebih khusus, untuk mengetahui secara lebih tajam alasan yang ada di balik penolakan pembelian.<br /><br />Pertanyaan reflektif, sering saya gunakan untuk merubah orang lain. Atau, menginternalisasikan sejumlah ide. Sebagai konsultan manajemen SDM, saya sering bertanya begini. Berapa banyak uang yang dibuang percuma melalui manusia yang tidak tertata rapi?<br /><br />Pertanyaan pilihan ganda lain lagi. Saya sering menggunakannya untuk kepentingan pembandingan yang kontras. Tatkala menemui orang yang enggan berubah, saya sering bertanya : ‘berubah sekarang, atau dipaksa berubah setelah keadaan sudah menyedihkan?’.<br /><br />Pertanyaan tertutup yang membutuhkan jawaban ya atau tidak, digunakan untuk mempersempit pilihan. Yang paling menakutkan adalah jawaban tidak. Bethel memiliki sebuah contoh menarik berhadapan dengan pelanggan yang hanya menjawab tidak.<br /><br />Di suatu kesempatan, seorang Ibu kaya yang biasa dengan jawaban tidak dipengaruhi dengan pertanyaan cermat seperti ini. Apakah kapal pesiar terlalu mahal bagi Anda? Apakah suami Anda keberatan jika Anda membeli satu? Apakah Anda ingin membayar melalui kartu kredit? Keberatankah Anda jika saya kirim hari ini? Jika semua jawabannya adalah ‘tidak’, tentu saja sukses sudah ada di tangan Anda.<br /><br />Tentu saja semua ini harus dibungkus dengan bahasa tubuh yang memadai. Dan menyangkut bahasa terakhir, jam terbang sangat menentukan. Saya banyak belajar dari ribuan teriakan ‘goblok’ yang diarahkan ke saya.<br /></span>
<br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Sky -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-slot="5590796064" style="display: inline-block; height: 600px; width: 300px;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>.:: me ::.http://www.blogger.com/profile/09404175544344878135noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-3078077179646555643.post-295896342488697162008-08-31T16:21:00.000-07:002019-11-08T18:15:09.444-08:00Mata Rantai Kepuasan<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
Bagi penulis manapun, adalah sebuah kebahagiaan tersendiri jika mengetahui, bahwa tulisannya dibaca orang. Kebahagiaan ini juga yang menghinggapi saya, ketika Direktur Agensi BDNI Life - ketika mengundang saya sebagai nara sumber bagi para agennya -mengemukakan bahwa kumpulan tulisan saya di media ini, menjadi menu ‘wajib’ para agen di perusahaan asuransi ini.<br /><br />Dengan tetap waspada akan bahayanya pujian, ketika mengawali presentasi di depan agen asuransi ini, saya sempat terpesona oleh sebuah kegiatan yang selalu dilakukan mengawali pertemuan.<br /><span class="fullpost"><br />Pembawa acara, ketika pertemuan baru dimulai, meminta seluruh peserta menyalami semua orang di dekat mereka, dan mengatakan ‘Andalah orang paling ganteng/cantik di dunia‘.<br /><br />Sebagai sebuah pujian, ini sebenarnya biasa-biasa saja. Namun, ia mengingatkan saya pada sebuah buku menarik dengan judul The Ten Commandements of Business and How to Break Them. Salah satu hukum bisnis yang mesti dilanggar adalah hukum ‘pelanggan adalah raja’. Sebagai gantinya, sebelum meminta karyawan memperlakukan pelanggan sebagai raja, jauh lebih penting memperlakukan karyawan sebagai raja terlebih dahulu.<br /><br />Nah, kegiatan menyalami karyawan dan menyebut mereka paling ganteng/cantik, mendatangkan mereka dari jauh untuk diberi pencerahan, dipersenjatai pengetahuan tentang produk dan cara menjualnya, diberi semangat dan motivasi, diperhatikan kesejahteraan dan masa depannya, adalah serangkaian kegiatan yang menempatkan karyawan sebagai raja.<br /><br />Terus terang, di masa yang lebih parah dari sekadar krisis ini, saya terkejut mendengar ada perusahaan asuransi yang omsetnya meningkat melebihi angka tiga puluh persen. Masih bisa menyewa hotel berbintang sebagai tempat pertemuan dan menginap. Mampu membayar pembicara publik sebagai bahan pencerahan. Dan yang paling penting, di tengah maraknya gelombang PHK, masih bisa menciptakan ‘bintang-bintang’ pencetak penghasilan dengan delapan angka perbulannya !.<br /><br />Dalam perspektif pengembangan organisasi, hanya organisasi perusahaan yang memiliki mata rantai kepuasan yang amat kuatlah yang bisa mencapai kinerja tinggi di zaman krisis.<br /><br />Apa yang saya sebut dengan mata rantai kepuasan, adalah kepuasan karyawan sebagai syarat kepuasan pelanggan.<br /><br />Sebagai konsultan manajemen yang pernah masuk ke berbagai perusahaan, banyak sekali perusahaan yang amat dan teramat lemah pada mata rantai kepuasan. Mau bukti? Masuklah ke kantor-kantor bank, perhatikan pelayanan publik dari telepon, air sampai dengan taksi, lihat bagaimana rakyat (baca : pelanggan) diperlakukan oleh penguasa. Semua ini memberi satu warna organisai yang sama : meminta karyawan memperlakukan pelanggan sebagai raja, tanpa pernah dihargai sedikit sekalipun.<br /><br />Sebagai bagian dari upaya penataan SDM, saya pernah melakukan penghitungan terhadap indeks kepuasan karyawan. Hampir semuanya menunjukkan indeks angka yang memprihatinkan. Lebih-lebih di bagian belakang seperti operasi, keuangan, akuntansi, gudang, perpustakaan, dan sejenis.<br /><br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
Bila benar keyakinan sejumlah pakar di negara maju, bahwa modal intelektual - bukan modal uang, teknologi dan alam - yang menentukan kemajuan organisasi kini dan nanti, bisa dibayangkan bagaimana daya saing kita sebagai bangsa bila mata rantai kepuasannya masih hancur lebur.<br /><br />Sebagaimana pernah ditulis Dennis G. McCarthy dalam The Loyalty Link, Xerox pernah meneliti 500.000 pelanggan di tahun 1991. Pada skala satu hingga lima, Xerox menemukan bahwa pelanggan yang benar-benar puas (skala lima), kemungkinan untuk membeli kembali enam kali lebih besar dibandingkan dengan pelanggan yang puas (skala empat). Sedangkan untuk pelanggan dengan skala empat, hanya sedikit lebih besar kemungkinan membelinya dibandingkan dengan pelanggan puas (skala tiga).<br /><br />Anda bisa bayangkan, bagaimana perilaku pelanggan yang tidak puas, atau yang ditipu.<br /><br />Sayang kita tidak memiliki angka indeks kepuasan konsumen sebagaimana di Amerika. Namun yang jelas, kalau Anda rajin membaca keluhan di surat pembaca media cetak, yang namanya konsumen di negeri ini masih menjadi mahluk mainan yang sering menderita.<br /><br />Daftar konsumen yang kena tipu, kecewa, dikadalin, ditodong, atau malah ditelantarkan masih demikian panjang.<br /><br />Kembali ke cerita awal tentang mata rantai kepuasan, sebab dari parahnya sektor pelayanan kita memang cukup banyak. Namun, bagaimana karyawan diperlakukan, memberi warna yang sangat dominan terhadap persoalan besar yang tidak selesai-selesai ini.<br /><br />Anda bisa bayangkan, bagaimana pegawai negeri bisa memberikan pelayanan yang memadai jika gajinya di bawah UMR. Lebih-lebih menyaksikan gaya hidup pimpinannya yang jauh dari kapasitas gaji formalnya. Bagaimana seorang satpam bisa menghormati tamu, jika bossnya setiap lewat sangat pelit tersenyum dan mengucapkan selamat pagi. Bagaimana bagian customer service bisa memberikan pelayanan prima, jika belum apa-apa sudah dijegal bagian pendukung yang sarat akan kebutuhan untuk diperhatikan.<br /><br />Dirangkum menjadi satu, kita memang memerlukan perbaikan mendasar dalam mata rantai kepuasan.<br /><br />Mengingat kepuasan pelanggan bersifat eksternal, dan merupakan hasil ikutan dari kepuasan karyawan, tidak ada salahnya memulai perbaikan mendasar di sektor kepuasan karyawan.<br /><br />Saya melakukannya dengan menghitung employee satisfaction index secara rutin. Membandingkannya antarbagian. Malakukan rotasi dalam rangka menjaga keseimbangan antara pusat kepuasan dan pusat ketidakpuasan. Bagaimana dengan Anda?<br /></span>
<br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Sky -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-slot="5590796064" style="display: inline-block; height: 600px; width: 300px;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>.:: me ::.http://www.blogger.com/profile/09404175544344878135noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3078077179646555643.post-73235025543865745292008-08-31T16:20:00.000-07:002019-11-08T18:14:19.600-08:00Organisasi Berbasiskan Pengetahuan<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
Membaca argumen Brian Arthur dari Institut Santa Fe - sebagaimana dikutip Thomas A Stewart dalam buku Intelectual Capital - yang dibangun di atas tumpukan data yang meyakinkan, mengingatkan saya kembali akan pentingnya organisasi dan juga ekonomi berbasiskan pengetahuan.<br /><br />Coba cermati kesimpulan Arthur : ‘Economy that are resources based are still subject to diminishing return. The parts of the economy that are knowledge based are largely subject to increasing returns‘.<br /><span class="fullpost"><br />Kesimpulan terakhir ini sebenarnya tidak hanya berlaku di Amerika sana. Namun juga membumi di sini. Indikatornya sederhana saja. Coba perhatikan kecenderungan nilai tukar barang-barang hasil pertanian dari pedesaan, dibandingkan barang berbasiskan pengetahuan dari perkotaan. Angkanya semakin menyedihkan dan menyedihkan. Ketika saya masih remaja dulu, sebuah mobil Chevrolet Luv bisa dibeli hanya dengan beberapa karung cengkeh. Sekarang, berapa karung cengkeh yang dibutuhkan untuk membeli mobil yang sama?<br /><br />Di dunia korporasi juga sama. Lihat perusahaan-perusahaan yang prestasinya menjulang. Sebut saja Microsoft, General Electric, IBM atau perusahaan sejenis. Hampir semuanya maju pesat bertumpu pada intensitas penggunaan pengetahuan.<br /><br />Dalam persaingan antarnegara juga setali tiga uang. Amerika Serikat yang dikenal sebagai pelopor pembentuk masa depan, menghabiskan uang yang sangat besar untuk mendalami teknologi dan pengetahuan masa depan. Anggaran litbangnya melimpah. Sektor-sektor yang dijadikan konsentrasi hampir semuanya bersifat knowledge intensive.<br /><br />Dalam persaingan antar pekerja juga tidak banyak berbeda. Semakin intensif sebuah profesi menggunakan pengetahuan, semakin besar kemungkinan diberi kompensasi yang lebih tinggi. Sebagai contoh, sebuah tabloid pernah membuka rahasia gaji konsultan asing yang membantu BPPN (badan penyehatan perbankan nasional). Awalnya, saya tidak hanya terkejut. Malah, tidak pernah membayangkan sebuah negara yang dililit krisis total bisa menggaji konsultan dengan gaji yang demikian besar.<br /><br />Lebih dari itu, coba cermati lagi beberapa fenomena kehidupan. Perhatikan knowledge content dari barang dan jasa yang kita konsumsi. Bukankah knowledge content- nya semakin besar dari hari ke hari?. James Brian Quinn pernah menyebutkan, tiga perempat dari seluruh nilai tambah masyarakat bersumber dari pengetahuan.<br /><br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
Saya memang tidak sepenuhnya setuju dengan klasifikasi ala Alvin Toffler. Seolah-olah setelah pertanian, hanya ada industri. Setelah industri hanya ada informasi. Sejauh perut masih mau makan, pertanian akan tetap ada. Semasih kita hidup didukung peralatan, industrialisasi akan senantiasa eksis. Demikian juga dengan informasi dan pengetahuan yang semakin perlu di abad jaringan ini.<br /><br />Akan tetapi, di bidang manapun, tuntutan akan penerapan pengetahuan tidak bisa ditunda. Dalam pasar buah-buahan, kita sudah lama tertinggal oleh tetangga kita yang kekayaan alamnya tidak senilai dengan sebuah pulau kita sekalipun. Dengan tanah persawahan yang demikian melimpah, telah lama kita mengimport beras. Di dunia industri, telah menjadi rahasia umum kalau Indonesia dijadikan ‘tong sampah’-nya Singapura. Banyak hal yang tidak laku di negeri pulau kecil ini, dibawa lari ke sini dan laku. Di sektor informasi dan pengetahuan apa lagi.<br /><br />Digabung menjadi satu, menyongsong masa depan bagi siapapun - bangsa, perusahaan dan juga pekerja - tidak ada tawar menawar dalam intensitas penerapan pengetahuan.<br /><br />Oleh karena itulah, membangun organisasi berbasiskan pengetahuan, menjadi kebutuhan semua pihak. Sayangnya, Thomas A. Stewart yang menjadi pionir di bidang intellectual capital tidak memberikan jawaban memuaskan dalam hal ini.<br /><br />Klasifikasi Stewart tentang human capital, structural capital dan customer capital memang sedikit membantu, tetapi misteri organisasi berbasiskan pengetahuan tetap masih tersembunyi.<br /><br />Dengan halaman yang terbatas, saya mencoba membuka sebagian kecil saja dari misteri di atas. Fundamennya sebenarnya sederhana saja. Mulailah mengklasifikasikan manusia dengan cara yang bisa memperlihatkan intensitas pengetahuannya.<br /><br />Sebagai konsultan, saya mengembangkan klasifikasi dengan lima tingkatan : tidak tahu, tahu, trampil, sistimatis dan kreatif.<br /><br />Bermodalkan lima tingkatan ini, kita perlu melakukan evaluasi ulang terhadap seluruh manusia yang ada, sekaligus memagari pintu depan recruitment dengan cara yang sama. Demikian juga dengan pengembangan, penggajian dan pemeliharaan manusia. Pengembangan sebagai contoh, difokuskan untuk mentransformasikan manusia dari sekadar trampil menuju kreatif. Siapa yang dipelihara, hanyalah manusia sistimatis dan kreatif. Atau mereka yang berpotensi ke arah itu. Demikian juga dengan penggajian.<br /><br />Kriteria dan alat ukurnya memang teramat panjang untuk diungkapkan di sini. Namun, inilah saatnya untuk mulai meletakkan pilar-pilar organisasi hanya ke orang-orang yang sistimatis dan kreatif. Mereka yang sekadar trampil, apalagi hanya tahu, lebih-lebih tidak tahu, tidak punya pilihan lain selain segera merubah diri secepatnya. Kecuali, siap dibuat minggir oleh kecenderungan dan perkembangan.<br /><br />Dalam setting organisasi seperti ini, organisasi tidak hanya menjadi a place of production, tetapi juga a place of thinking. Bila Anda setuju dengan saya akan faedah fantastis kreativitas, organisasi juga a place for fun.<br /></span>
<br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Sky -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-slot="5590796064" style="display: inline-block; height: 600px; width: 300px;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>.:: me ::.http://www.blogger.com/profile/09404175544344878135noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3078077179646555643.post-46409148147580163212008-08-31T16:05:00.001-07:002019-11-08T18:13:20.239-08:00Manusia Paling Beruntung<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
Di sebuah seminar yang diadakan Asosiasi Manajer Indonesia cabang Bandung akhir Januari 1999, seorang peserta bertanya ke saya tentang feng Shui. ‘Adakah keyakinan ini benar, atau hanya sugesti belaka?’, demikianlah kira-kira bunyi pertanyaannya.<br /><br />Terus terang, ini memang bukan bidang kajian saya. Namun, setelah mendengar dan membaca sejumlah cerita tentang feng shui, saya menemukan dua jenis penjelasan. Pertama, sebagian teori feng Shui memiliki akar rasionalitas. Contohnya, rumah tidak boleh tusuk sate tentu saja bisa dimaklumi. Sebab, kalau ada mobil yang remnya blong, maka celakalah akibatnya. Kedua, kendati sebagian teori feng Shui kelihatannya tidak masuk akal, namun karena dipercayai dan diyakini banyak orang maka ia menjadi collective beliefs. Apapun yang diyakini - apalagi secara berlebihan - bisa menjadi magnet yang bisa membuat wajah kehidupan persis seperti yang diyakini.<br /><span class="fullpost"><br />Digabung menjadi satu, berguna tidaknya feng shui bagi seseorang, amat tergantung pada kemampuan melihat rasionalitas yang ada di baliknya, serta sudah tentu keyakinan yang menyertainya.<br /><br />Lepas dari soal feng shui, keberuntungan adalah sebuah bidang kajian yang menarik minat banyak sekali orang. Dari orang terkenal sampai orang biasa ingin mengetahui keberuntungan dirinya.<br /><br />Lebih-lebih di zaman krisis yang super langka akan kemajuan. Bila saja ada orang yang bisa merubah keberuntungan - dengan garansi uang kembali - pasti akan laris manis dicari orang.<br /><br />Di forum seminar, dalam proses konsultasi, maupun di lapangan golf, saya termasuk orang yang sering ditanya urusan seperti ini. Kendatipun sampai sekarang masih bingung, kenapa mereka bertanya ke saya. Mereka tahu, saya hanya seorang pembicara publik dan konsultan manajemen. Seorang pengusaha yang baru saja kenal beberapa menit, pernah mengajak saya berbisnis, hanya karena bentuk hidung dan telinga - yang menurut dia penuh keberuntungan.<br /><br />Anda boleh percaya, boleh juga tidak. Namun, kalau ada ramalan positif tentang diri saya, saya akan mempercayainya. Sebaliknya, kalau negatif saya akan melupakannya. Sebab, saya tidak mau mensugesti diri dengan hal-hal negatif. Sebagai hasilnya, saya memang bukan orang kaya secara materi, tetapi saya yakin sudah mengucapkan terimakasih ke Tuhan dalam frekuensi yang lebih besar dibandingkan kebanyakan orang.<br /><br />Memakan makanan apa saja, melihat ikan koi di depan rumah, mendengar suara gemercik air sungai di belakang rumah, melihat mimik putera-puteri saya ketika mengucapkan thanks a lot daddy, mendengar suara isteri di telepon kala di luar kota, luput dari kecelakaan, apa lagi diberi rezeki, lebih dari cukup bagi saya untuk berucap secara otomatis : thanks God !.<br /><br />Sahabat saya Ignas G. Sidik dari Prasetiya Mulya pernah bertutur : ‘Tuhan hanya bisa mengangguk !’. Bila Anda bilang uang masih kurang, mobilnya kurang mewah, isteri terlalu cerewet, atau rumah sudah cukup layak, Tuhan-pun mengiyakannya.<br /><br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Auto -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-format="auto" data-ad-slot="4114062862" style="display: block;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
<br />
Dibandingkan diiyakan untuk urusan yang bikin susah, saya memilih diiyakan untuk persoalan yang menimbulkan rasa senang. Makanya, ke banyak rekan saya sering berucap : the only certain thing in life is only fun. Dan, kita bisa merekayasa fun tadi dalam kehidupan. Persoalannya hanya satu : di mana kita meletakkan sudut pandang kita. Itu saja, tidak lebih tidak kurang.<br /><br />Saya pernah bertemu dengan seorang yang berumur 70 tahun lebih. Namun, masih tampak sehat, awet muda dan mukanya sering berseri-seri. Di suatu pagi menjelang sarapan, saya tanya resep hidupnya. Ternyata amat sederhana : katakan cukup pada Tuhan !. ‘Lihat saja‘, demikian tuturnya sambil mengambil makanan, ’setiap pagi saya hanya butuh semangkok bubur dan segelas air putih, menjelang tidur malam makan dua buah pisang serta segelas jus, untuk itu tidak diperlukan uang dalam jumlah yang teramat banyak’. Luar biasa !<br /><br />Di kesempatan lain, saya pernah bertemu seorang ibu dengan umur menjelang 70, yang menurut ukuran saya, hidupnya banyak kalah dan dikalahkan suaminya. Ketika saya tanya, kenapa justru suaminya yang lebih banyak ke dokter dan masuk rumah sakit, ia hanya berucap sederhana : ‘saat kita memberi, kita justru menerima dalam jumlah yang jauh lebih banyak‘. Mengagumkan sekali !<br /><br />Apa yang mau saya ceritakan melalui pengalaman dua tokoh pujaan ini, ditambah dengan cerita awal tentang feng shui, beserta teori Tuhan yang hanya bisa mengangguk, rupanya rekayasa tidak menjadi monopoli kaum insinyur. Pakar-pakar kehidupan seperti Andapun bisa melakukan rekayasa keberuntungan hidup.<br /><br />Feng shui merekayasa keberuntungan melaui peningkatan keyakinan dengan cara penataan rumah. Ignas G. Sidik sahabat saya merekayasa keberuntungannya dengan meyakini Tuhan selalu mengangguk. Bapak Tua tadi merekayasanya dengan mengatakan cukup kepada Tuhan. Ibu berbahagia di atas merekayasanya dengan kegiatan memberi.<br /><br />Seorang rekan secara bercanda pernah menyebutkan bahwa wanita yang memiliki tahi lalat di mukanya pasti beruntung. Ketika saya tanya balik kenapa, ia menjawab sambil tertawa : ‘untung tahi lalat, kalau tahi kebo habis mukanya tertutup‘.<br /><br />Terlepas dari semua ini, saya menghormati teori feng shui, keyakinan cukup, Tuhan mengangguk dan teori memberi. Melengkapi perbendaharaan Anda akan ilmu rekayasa keberuntungan hidup, sebuah pepatah Zen pernah mengatakan : ‘berhasil mengatasi baik dan buruk, kalah dan menang, adalah keberuntungan sejati‘.<br /></span>
<br />
<center>
<script async="" src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<!-- GedePrama_Sky -->
<ins class="adsbygoogle" data-ad-client="ca-pub-1490382089461992" data-ad-slot="5590796064" style="display: inline-block; height: 600px; width: 300px;"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
</center>
.:: me ::.http://www.blogger.com/profile/09404175544344878135noreply@blogger.com0