Friday, September 4, 2009

Bunga Cinta untuk Teroris


Ada yang serupa dalam cara manusia berespons di muka bumi, yakni mencampakkan hal-hal yang menjengkelkan, berebut hal- hal yang menyenangkan.

Jangankan dalam perang dan perceraian, dalam spiritualitas juga serupa. Tuhan dipuja setan dicerca, orang suci dipuji orang jahat dimaki. Hasilnya dicatat rapi oleh sejarah, berbagai guncangan tidak kian menjauh, malah kian dekat dengan kadar yang semakin menakutkan. Bom teroris, nuklir Korea Utara hanya sebagian bukti.

Bahan pertumbuhan


Amerika Serikat dan George W Bush adalah salah satu guru. Kedigdayaan AS mau menghentikan teroris dengan kekerasan. Dalam usaha ini, terang-terangan menyebut segelintir negara sebagai ”poros setan”. Setelah sekian tahun berlalu, tidak saja teroris kian menyeramkan, Afganistan dan Irak menyedihkan, AS pun mengalami penurunan menakutkan.

Ini memberi pelajaran bermakna. Menyelesaikan kekerasan dengan kekerasan, menghentikan kekejaman dengan kekejaman, serupa dengan menambah bensin pada api membara, makin lama makin berkobar.

Bila boleh jujur, setiap putaran waktu selalu ada penggoda. Yesus digoda Judas, istri Rama dilarikan Rahwana, Shri Krishna terpaksa turun perang karena keserakahan Duryodana, Buddha berkali-kali dicoba dibunuh Devadatta. Rangkaian sejarah ini bercerita, mencoba melenyapkan penggoda tidak saja sia-sia, tetapi juga melanggar hukum alam. Lebih dari itu, tidak ada pertumbuhan tanpa godaan.

Pesan seorang papa kepada putranya, ”Semakin tua umurmu, semakin banyak masalah yang datang. Namun, tolong diingat, persoalan muncul tidak untuk menghancurkan, tetapi untuk membuatmu tambah dewasa.”

Semesta memang semakin tua, akibatnya masalah semakin menumpuk. Namun, hanya tangan kebijaksanaan yang bisa mengolah persoalan menjadi berkah pertumbuhan. When sorrow invades the mind, compassion arises. Saat kegelapan kesedihan mengguncang, ia tidak mengundang kegelapan kemarahan, tetapi memunculkan cahaya kasih sayang.

Di salah satu majelis taklim di Jakarta pernah terdengar pesan indah, ”Sahabat-sahabat yang keras dan ganas itu jangan dijauhi. Harus ada yang mendekati, menyayangi, mencintai mereka. Terutama agar mereka keluar dari lingkaran gelap kekerasan”.

Undangan kebijaksanaan itu sungguh menyejukkan, sekaligus memberi masukan, masih banyak tersisa wajah yang sejuk, teduh, dan memayungi.

Seorang kakek mengelus cucu yang sedang marah dan sedih sambil berucap lembut: ”Sesakit apa pun tubuhmu, seberat apa pun beban jiwamu, ingatlah manusia tidak pernah menjadi musuh kita. Musuh sesungguhnya adalah kesalahpahaman.”


Bermesraan

Coba perhatikan para teroris, mereka dibikin oleh sepasang orangtua yang berpelukan dan bermesraan. Didoakan orangtua agar menjadi manusia berguna. Bertumbuh di sekolah yang mengajarkan kebaikan. Berdoa di tempat ibadah yang mendoakan keselamatan. Namun, karena berbagai hal yang tak sepenuhnya dimengerti, mereka diselimuti sejumlah awan kesalahpahaman. Dan awan ini tak menjadi hasil kerja mereka seorang diri.

Ketidakadilan tatanan dunia, pemberitaan yang penuh kekerasan, pemerintah yang tidak sepenuhnya terkelola, sekolah yang menakutkan, keluarga yang mengalami keruntuhan, miskinnya keteladanan tokoh, iklan yang terus menggoda nafsu, hanyalah sebagian jejaring yang menggiring mereka masuk terowongan gelap kesalahpahaman. Mencaci mereka hanya akan mempertebal kesalahpahaman.

Dalam bingkai pemahaman seperti ini, tidak adil bila menempatkan teroris sebagai terdakwa yang hanya layak disalahkan. Menyadari pendidikan, pergaulan, dan pemahaman agama para teroris yang terbatas, mereka lebih layak disebut ”korban” kesalahpahaman dibandingkan menjadi ”penyebab” kesalahpahaman.

Serupa dengan seseorang yang amat marah kepada lalat yang masuk rumahnya, sementara rumahnya penuh kotoran menjijikkan. Sebenarnya dengan semua kekerasan dan kekisruhan yang ditimbulkan, umat manusialah yang mengundang kekerasan teroris. Padahal, bila rumahnya bersih dan wangi, otomatis lalatnya menghilang.

Untuk itulah, setelah kekerasan tak kunjung pergi dengan jalan memaki-maki teroris, mungkin ini saatnya membersihkan rumah keseharian. Meminjam bahasa tetua, orang baik terlihat baik, orang jahat pun terlihat baik, bila kita di dalamnya cukup baik.

Seorang pertapa berkali-kali menggigil menangis saat bom teroris meledak, mendengar suara guru di dalam, ”Bawa orang-orang pulang. Kebencian, kemarahan, apalagi kekejaman bukan rumah sebenarnya. Rumah jiwa adalah cinta dan keikhlasan”. Ini mengingatkan kisah Nabi Nuh. Kendati tempat tinggalnya padang pasir tak berair, ia ikuti suara saat diminta membuat perahu.

Diterangi cahaya spiritual seperti ini, mungkin layak dipertimbangkan mengirim bunga cinta bagi teroris. Bagi pemimpin dan tokoh, hati-hatilah karena menjadi teladan yang ditiru. Bagi para guru (terutama guru agama), ajarkan wajah agama yang indah di awal, di tengah, dan di akhir. Bagi orangtua, sayangi putra-putri di rumah. Bagi sahabat media, wartakan kelembutan. Pengelola televisi, tayangkan gambar-gambar yang bisa membangunkan energi kasih dalam diri manusia. Itulah sebagian contoh mengirim rangkaian bunga cinta untuk mereka yang berpotensi menjadi teroris pada masa depan.

Mengirim bunga cinta kepada pihak-pihak yang berpotensi menyakiti adalah bukti rumah batin sudah bersih sekaligus jernih. Dengan batin seperti inilah kita songsong masa depan yang lebih membahagiakan. Mistikus sufi Jalaludin Rumi menulis, hidup seperti tinggal di losmen, tiap hari ganti tamu. Siapa pun tamunya (senang-sedih, suka-duka), jangan lupa tersenyum.

Kompas, 05 September 2009
Gede Prama, Penulis Buku Sadness, Happiness, Blissfulness: Transforming Suffering Into The Ultimate Healing