Monday, February 2, 2009

Menyingkap Keindahan Bencana


Lihat kebunku penuh dengan bunga. Ada yang putih dan ada yang merah. Setiap hari kusiram semua. Mawar melati semuanya indah.

Bencana, bencana, bencana, bencana, mungkin itu kabut-kabut kehidupan yang berganti menyelimuti Indonesia beberapa tahun terakhir. Belum sepenuhnya pulih dari banjir dahsyat Jakarta, tiba-tiba tanah longsor menggelegar, gempa bumi memakan nyawa, pesawat Garuda terbakar. Bencana seperti tidak bosan-bosannya menggoda jiwa Indonesia. Seorang sahabat asli Jawa, berulang-ulang menyebut kata miris. Seorang psikiater mengutip sebutan tua tentang zaman edan, tatkala menyaksikan seorang Ibu membakar diri dan sejumlah putera-puterinya karena terhimpit kesulitan kehidupan. Salah seorang penulis luar, bahkan memberi judul menyentuh di International Herald Tribune, Indonesia: Mass murder or natural disaster, terutama setelah menghitung ratusan ribu nyawa yang melayang akibat bencana.

Berduka, bersedih, tersentuh oleh penderitaan sesama tentu salah satu tanda pertumbuhan jiwa. Di Timur telah lama diajarkan, untuk memasuki wilayah-wilayah kesucian bahkan menginjak rumput pun dilarang. Terutama karena setiap rasa sakit yang kita timpakan ke ciptaan lain, akan kembali menyakiti diri ini. Sehingga sungguh layak disyukuri kalau Indonesia masih memiliki demikian banyak hati yang punya empati.

Cahaya bencana

Dengan tetap menghormati banyak hati yang punya empati, banyak guru setuju kalau jalan-jalan keindahan apa lagi kesucian tidak ada yang sepenuhnya lurus dan mulus. Semakin indah sebuah tujuan, semakin berat jalan-jalan yang harus dilalui. Bila ini cara memandangnya, mungkin Indonesia bisa menarik nafas dalam-dalam sebentar. Menghimpun energi untuk melewati banyak tanjakan serta kelokan di depan yang masih banyak menghadang.

Dalam jeda jiwa seperti ini, bisa jadi berguna kalau merenung sebentar tentang cahaya-cahaya bencana. Bagi banyak jiwa, bencana identik dengan kematian, perpisahan, kesedihan, duka cita. Dan tentu saja ini teramat manusiawi.


Sedikit jiwa yang mau menggali lebih dalam kalau di balik bencana, ada sejumlah langit kehidupan yang tersingkap rahasianya. Ketakutan, kesedihan adalah masukan berguna tentang keinginan yang demikian mencengkeram. Semakin mencengkeram keinginan, semakin menakutkan wajah bencana. Ada keinginan agar kehidupan hanya berwajah damai, keluarga yang hanya boleh bahagia, perpisahan yang identik dengan hukuman, kemiskinan sama dengan kutukan.
Dan melalui hentakan-kentakan bencana, manusia sedang diingatkan, seberapa kuat pun keinginan mencengkeram, kehidupan tetap harus berputar. Bila saatnya matahari tenggelam, tenggelamlah ia. Ketika putaran bumi harus ditandai oleh gempa, gempalah yang menjadi sahabat kehidupan. Bila kematian sudah waktunya berkunjung, berkunjunglah ia menjadi sahabat kehidupan. Makanya, seorang ayah berpesan kepada putera-puterinya, kematian datang bukan karena penyakit, bukan karena dikerjain orang, bukan juga akibat bencana, kematian datang memang karena putaran waktunya sudah tiba. Penyakit, bencana hanyalah pintu-pintu pembuka.

Bila ini cara meneropongnya, tidak saja keinginan mulai longgar cengkeramannya, namun cahaya-cahaya bencana juga terbuka. Ternyata bencana lebih dari sekedar hulunya kesedihan, ketakutan dan kutukan, ia juga membukakan pengertian tentang wajah kehidupan yang lebih utuh.

Serupa dengan lagu anak-anak yang dikutip di awal tulisan ini, hidup serupa dengan mengurus taman. Kendati yang ditanam rumput Jepang, ada rumput liar yang ikut tumbuh. Kendati sudah banyak berbuat baik, banyak berdoa, sering ke tempat ibadah, bila saatnya bencana menggoda, ia tetap menggoda. Bila rumput Jepang yang ditanam seratus meter, rumput liar hanya mengambil porsi sedikit sekali. Demikian juga dengan kehidupan, sehat berumur bertahun-tahun tapi kerap lupa disyukuri. Sakit hanya segelintir hari sudah penuh dengan caci maki. Indonesia sebentar lagi mau berumur 62 tahun, hanya seglintir hari yang digoda bencana.

Taman jadi indah karena penuh bunga dan warna. Kehidupan juga serupa. Kebahagiaan jadi lebih indah kalau pernah melewati kesedihan. Kehidupan bermakna amat dalam karena ada kematian. Kesuksesan berakarkan rasa syukur yang mendalam, kalau pernah dibanting kegagalan.

Taman bertumbuh terus bila disirami. Pertumbuhan jiwa juga sama. Tidak saja kebahagiaan yang menyirami kehidupan, kesedihan juga menyirami, terutama karena kesedihan adalah gurunya sikap rendah hati dan mawas diri. Tidak saja kedamaian yang memperkuat kehidupan, bencana juga memperkuat kemudian. Kedamaian memperkuat seperti air yang bertemu kerongkongan dahaga, bencana memperkuat seperti amplas keras dan kasar yang membuat berlian tambah bersinar. Sebagai catatan kontemplasi, Jepang dan Jerman yang kini menjadi salah satu pemimpin dunia, kalah perang secara amat menyedihkan puluhan tahun lalu.

Di puncak semua perjalanan ini, tersisa bait indah kehidupan: ”mawar melati semuanya indah!”. Mawar yang berduri indah, melati yang wangi juga indah. Siapa saja yang bisa melihat keindahan dalam setiap unsur dualitas (bahagia-bencana, untung-rugi, suci-kotor, dipuji-dicaci) dia berada di depan gerbang pencerahan, kemudian hatinya bernyanyi: ”semuanya indah!”.

Dalam bahasa indah sejumlah sahabat penyair, keuntungan adalah hasil pelajaran dari banyak kerugian, kekotoran adalah kesucian yang sedang siap-siap menunjukkan rahasianya, kekayaan adalah sisi lain dari kemiskinan dalam mata uang kehidupan. Pada jiwa yang sedang bertumbuh, dualitas terus bergerak dari satu ujung bandul ke ujung bandul lain. Habis bahagia derita, setelah untung rugi dan seterusnya. Dan lagu anak-anak ini mengajarkan, setelah semua segi kehidupan dicintai, disirami, diterima, kemudian dari dalam sini ada yang bernyanyi: ”semuanya indah!”.

Ini mungkin yang menyebabkan Robert Fulghum pernah menulis “Apa yang perlu dipelajari tentang kehidupan, sudah selengkapnya diajarkan di taman kanak-kanak“. Sebuah masa di mana semuanya terasa indah. Guru dzogchen Chogyal Namkai Norbu menyebutnya primordial state (titik awal sekaligus titik akhir perjalanan ke dalam). Cirinya sederhana, tidak ada hal positif yang perlu diterima, tidak ada hal negatif yang perlu ditolak.

Tahan terhadap Guncangan


Problematic society, itu sebutan sahabat yang memenuhi kepalanya dengan kejengkelan tentang Indonesia.

Lebih-lebih menjelang Pemilu 2009, di mana ruang publik dibikin riuh oleh banyak sekali iklan politik. Ada yang menyebutnya sebagai sampah virtual. Jujur harus diakui, setiap orang punya cara bertumbuh. Hanya ego yang buru-buru menyebutnya buruk.

Pepohonan bertumbuh secara tenang, tulus, ikhlas. Sedangkan anjing kampung berkelahi baik saat ada makanan maupun saat tidak ada makanan. Yang satu lembut, sejuk, teduh, apa pun godaannya, yang lain keras ganas di segala cuaca. Namun, keduanya sedang bertumbuh.

”The gift of listening”

Kerangka baik-buruk, suci-kotor, sukses-gagal, tinggi-rendah dan dualitas lainnya adalah cara pikiran manusia membuka pintu pengertian. Sayang, begitu pintunya terbuka, dualitasnya tidak ditinggalkan di belakang, bahkan digendong ke mana-mana. Ini serupa dengan cerita tentang seseorang yang hampir mati kelaparan di seberang sungai, kemudian diselamatkan oleh sebuah perahu.

Demikian tingginya utang budi dan kemelekatan orang ini pada perahu, kemudian ia menggendongnya ke mana-mana. Belakangan, orang ini mati karena kelelahan menggendong perahu.

Dalam wajah yang berbeda, mereka yang menggunakan pengetahuan, pengalamannya, tradisinya, dan agamanya untuk menghakimi dan menyakiti orang, sejujurnya bernasib serupa dengan penggendong perahu itu: berjalan kelelahan menggendong perahu keyakinan.

Untuk itulah, orang-orang bijaksana selalu menyediakan diri untuk belajar dan mendengar. Dengan belajar, manusia berhenti menjadi kura-kura yang menganggap rumah kecilnya adalah satu-satunya rumah yang layak huni. Dengan mendengar, manusia menyatu bersama samudra pengertian yang mahaluas.

Bila ada sesuatu yang terlihat aneh dan susah untuk dimengerti, kemungkinan terlalu tinggi atau terlalu rendah dibandingkan tingkat kemampuan pemahaman sekarang.

Mungkin itu sebabnya, kepala manusia memberikan pertanda bahwa telinga, mata, lubang hidung semuanya serba dua, tetapi mulut hanya ada satu.

Dengan kata lain, pemahaman lebih mungkin terbuka bila lebih banyak mendengar, melihat, dan merasakan segarnya kehidupan, sekaligus lebih sedikit berbicara.

Bagi yang sudah menyentuh batas-batas rasionalitas dan mengerti jika pengetahuan bisa menjadi penghalang pemahaman, akan tersenyum sambil berbisik: ternyata bisa mendengar adalah sebuah berkah!

Seorang guru di Perancis menulis: to say you don’t know is the beginning of knowing. Menyadari diri tidak tahu adalah awal pengetahuan sekaligus keagungan.


”The gift of understanding”


Dengan modal mendengar dan belajar inilah, para bijaksana menelusuri sisi-sisi kehidupan. Sesuatu yang awalnya terlihat baik, belakangan menjadi buruk. Hal lain yang semula terlihat suci menjadi sumber belenggu yang menakutkan kemudian.

Ujung-ujungnya satu, tidak ada yang kekal. Semua seperti air sungai: mengalir dan mengalir. Sehingga tidak saja sungai yang baru setiap detiknya (karena airnya berganti terus), pengertian juga senantiasa baru dan segar. Maka, di Timur tidak sedikit manusia yang terbebaskan dan tercerahkan hanya dengan memahami dalam-dalam makna ketidakkekalan.

Pengetahuan, filsafat, agama (terutama yang sangat mencengkeram sehingga membuat orang jadi fanatik) ibarat batu besar di sungai, mandek tidak bergerak. Kesediaan untuk belajar dan mendengar ibarat air mengalir di sungai, pada waktunya ia akan sampai di samudra.

Bila boleh berterus terang, kehidupan menyimpan tidak sedikit tokoh yang sudah menemukan indahnya belajar dan mendengar.

Ahmad Syafii Ma’arif (mantan Ketua Umum PP Muhamadiyah) mengakhiri renungannya tentang hari raya Idul Fitri tahun 2008 dengan mengutip pendapat Mahatma Gandhi yang beragama Hindu. Yudi Latief (salah satu murid almarhum Nurcholis Madjid) menutup refleksinya tentang hari raya Idul Fitri pada tahun 2008 dengan meminjam argumen pendeta Buddha Thich Nhat Hanh. Seorang pastor Katolik yang memimpin gereja di Puja Mandala Bali menghabiskan waktu tahunan di Mesir belajar filsafat Islam. Dari penuturannya mengalir wajah-wajah Islam yang indah.

HH Dalai Lama berkali-kali mengemukakan tidak tertarik untuk mengubah keyakinan orang menjadi pengikut Buddha. Satu-satunya ketertarikannya adalah bagaimana membangun hubungan harmonis di antara sesama manusia. Itu sebabnya banyak pihak menyebut beliau memiliki universal appeal.

Inilah ciri-ciri manusia yang di dalamnya kaya karena belajar dan mendengar. Tatkala ada pengertian yang berbeda (mengenai filsafat, agama, ideologi, tradisi) tidak buru-buru diberi judul salah. Mereka mulai dengan mendengar, kemudian belajar. Kesediaan untuk mengerti itu sebuah berkah (the gift of understanding), karena melalui pengertian terbuka pintu-pintu persahabatan, persaudaraan yang menjadi modal kebahagiaan kemudian.

Tahan guncangan

Ia yang sampai di puncak pemahaman akan berbisik, ”The best theologian is the one who never speaks about God”. Berbicara menunjukkan seseorang masih dua (subyek-obyek, Tuhan-manusia). Dalam pemahaman yang dibimbing persahabatan ini, ada yang menyebutkan bahwa yang dua sudah menjadi satu. Ada yang hanya senyum-senyum lembut tanpa suara. Raut mukanya memberi tanda tidak ada lagi yang perlu dibicarakan.

Dari sini muncul pertanyaan, bila demikian bingkai pengertiannya, lantas apa pedoman bertindak? Seorang guru yang amat menyentuh memberi pedoman sederhana. Membantu meringankan beban penderitaan para makhluk adalah yang paling baik. Bila tidak bisa, cukup jangan menyakiti. Inilah prinsip survival of the kindest. Kehidupan menjadi tahan guncangan karena kebajikan.

Semua kehidupan dimulai dengan kebaikan pihak lain. Tatkala lahir kita berutang pada kebaikan orangtua dan lain-lain. Nanti ketika meninggal lagi-lagi harus bergantung pada kebaikan orang lain. Kita didoakan, dibikinkan upacara oleh orang lain.

Dan, bila di antara kelahiran dan kematian lupa mengisinya dengan kebaikan, itu berarti gagal membayar utang kebaikan. Maka, ada yang menulis: compassion is the best protection. Welas asihlah penjaga kehidupan yang sesungguhnya. Tidak saja menjaga sekarang, tetapi juga menjaga sampai setelah kematian.

Perhatikan kehidupan Mohammad Yunus, Nelson Mandela, dan Dalai Lama yang tanpa senjata, tanpa agen rahasia, tetapi bercahaya ke mana-mana.

Boleh saja ada orang hidup penuh penghakiman (baik untuk diri, buruk untuk orang), di jalan kebajikan semuanya menghadirkan pelajaran.

Sebagai hasilnya, tidak saja orang baik terlihat indah. Iklan- iklan politik juga indah. Semuanya sedang bertumbuh, semuanya hanya cara guru membimbing.

Gede Prama Bekerja di Jakarta, Tinggal di Bali Utara
Kompas, 31 Januaru 2009