Sunday, October 19, 2008

Nur Dari Timur


Oleh: Gede Prama
Kompas, Sabtu, 18 Oktober 2008

Ia yang pernah hidup di Barat tahu kalau berbicara itu amat penting. Dibandingkan kehidupan di Timur, lebih banyak hal di Barat yang diekspresikan dengan kata-kata.

Fight, argue, dan complain, itulah ciri-ciri manusia yang disebut ”hidup” di Barat. Tanpa perlawanan, tanpa adu argumentasi, orang dianggap ”tidak hidup” di Barat. Intinya, melawan itu kuat, diam itu lemah, melawan itu cerdas, dan pasrah itu tolol.

Dengan latar belakang berbeda, pola hidup ala Barat ini menyebar cepat melalui televisi, internet, radio, media, dan lainnya. Dengan bungkus seksi demokrasi, hak asasi manusia, semua dibawa ke Timur sehingga dalam banyak keadaan (angka bunuh diri naik di Jepang, Thailand mengalami guncangan politik, Pakistan ditandai pembunuhan politik), banyak manusia di Timur mengalami kebingungan roh Timur dengan baju Barat.

Perhatikan kehidupan desa sebagai barometer. Tanpa banyak berdebat siapa yang akan menjadi presiden, ke mana arah masa depan, partai apa yang akan menang. Di desa yang banyak burungnya, tetapi manusianya banyak menonton televisi (sebagai catatan, realita di desa amat sederhana, tontonan di televisi amat menggoda), tema hidup setiap pagi adalah ”burung menyanyi, manusia mencaci”.

Berhenti melawan

Bayangkan seseorang yang tidak bisa berenang lalu tercemplung ke sungai yang dalam. Pertama-tama ia melawan. Setelah itu tubuhnya tenggelam. Karena tidak bisa bernapas, meninggallah ia. Anehnya, setelah meninggal tubuhnya mengapung di permukaan air. Dan alasan utama mengapa tubuh manusia meninggal kemudian mengapung karena ia berhenti melawan.

Ini memberi inspirasi, mengapa banyak manusia tenggelam (baca: stres, depresi, banyak penyakit, konflik, perang) karena terus melawan. Yang menjadi guru mau jadi kepala sekolah. Orang biasa mau jadi presiden. Pegawai mau cepat kaya seperti pengusaha. Intinya, menolak kehidupan hari ini agar diganti kehidupan yang lebih ideal kemudian. Tidak ada yang melarang seseorang jadi presiden atau pengusaha, hanya alam mengajarkan, semua ada sifat alaminya Seperti burung sifat alaminya terbang, serigala berlari, dan ikan berenang.

Suatu hari konon binatang iri dengan manusia karena memiliki sekolah. Tak mau kalah, lalu didirikan sekolah berenang dengan gurunya ikan, sekolah terbang gurunya burung, sekolah berlari gurunya serigala. Setelah mencoba bertahun-tahun semua binatang kelelahan. Di puncak kelelahan, baru sadar kalau masing-masing memiliki sifat alami. Dalam bahasa tetua di Jawa, puncak pencaharian bertemu saat seseorang mulai tahu diri.


Meditasi tanpa perlawanan


Nyaris semua manusia begitu berhadapan dengan persoalan, penderitaan langsung bereaksi mau menyingkirkannya. Bosan lalu cari makan. Jenuh kemudian cari hiburan. Sakit lalu buru-buru mau melenyapkannya dengan obat. Inilah bentuk nyata dari hidup yang melawan sehingga berlaku rumus sejumlah psikolog what you resist persist. Apa saja yang dilawan akan bertahan. Ini yang menerangkan mengapa sejumlah kehidupan tidak pernah keluar dari terowongan kegelapan karena terus melawan.

Berbeda dengan hidup kebanyakan orang yang penuh perlawanan, di jalan meditasi manusia diajari agar tidak melawan. Mengenali tanpa mengadili. Melihat tanpa mengotak-ngotakkan. Mendengar tanpa menghakimi. Bosan, sakit, sehat, senang, dan sedih semua dicoba dikenali tanpa diadili. Ia yang rajin berlatih mengenali tanpa mengadili, suatu hari akan mengerti.

Dalam bahasa Inggris, mengerti berarti understanding, bila dibalik menjadi standing under. Seperti kaki meja, kendati berat menahan, ia akan berdiri tegak menahan meja. Demikian juga dengan meditator. Persoalan tidak buru-buru dienyahkan, penderitaan tidak cepat disebut sebagai hukuman, tetapi dengan tekun ditahan, dikenali, dan dipelajari. Setelah itu terbuka rahasianya, ternyata keakuan adalah akar semua penderitaan. Semakin besar keakuan semakin besar penderitaan, semakin kecil keakuan semakin kecil persoalan. Keakuan ini yang suka melawan.

Indahnya, sebagaimana dialami banyak meditation master, saat permasalahan, penderitaan sering dimengerti dalam-dalam sampai ke akar-akarnya, diterangi dengan cahaya kesadaran melalui praktik meditasi, ia lalu lenyap. Ini mungkin penyebab mengapa Charlotte JokoBeck dalam Nothing Special menulis, ”Sitting is not about being blissful or happy. It’s about finally seeing that there is no real difference between listening to a dove and listening to somebody criticizing us”. Inilah berkah spiritual meditasi. Tidak ada perbedaan antara mendengar merpati bernyanyi dan mendengar orang mencaci. Keduanya hanya didengar. Yang bagus tak menimbulkan kesombongan. Yang jelek tak menjadi bahan kemarahan. Pujian berhenti menjadi hulunya kecongkakan. Makian berhenti menjadi ibunya permusuhan.

Saat melihat hanya melihat. Ketika mendengar hanya mendengar. Perasaan suka-tidak suka berhenti menyabotase kejernihan dan kedamaian. Meminjam lirik lagu Bob Marley dalam Three little birds: don’t worry about the things, every single thing would be allright. Tidak usah khawatir, semua sudah, sedang, dan akan berjalan baik. Burung tak sekolah, tak mengenal kecerdasan, tetapi terhidupi rapi oleh alam, apalagi manusia. Inilah meditasi tanpa perlawanan. Paham melalui praktik (bukan dengan intelek) jika keakuan akar kesengsaraan. Begitu kegelapan keakuan diterangi kesadaran, ia lenyap. Tidak ada yang perlu dilawan.

Seorang guru yang telah sampai di sini berbisik: the opposite of injustice is not justice, but compassion. Selama ketidakadilan bertempur dengan keadilan, selama itu juga kehidupan mengalami keruntuhan. Hanya saling mengasihi yang bisa mengakhiri keruntuhan. Sejumlah sahabat di Barat yang sudah membadankan kesempurnaan meditasi seperti ini kerap menyebut ini dengan Nur dari Timur. Cahaya penerang dari Timur di tengah pekatnya kegelapan kemarahan, kebencian, ketidakpuasan, dan kebodohan. Seperti listrik bercahaya karena memadukan positif-negatif, meditasi hanya perpaduan kesadaran-kelembutan, membuat batin bisa menerangi diri sendiri.

More Gede Prama Articles